Lompat ke isi

Suriansyah dari Banjar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Sultan Suriansyah)
Suriansyah
سوريان شاه
Pangeran Jaya Sutera[1][2][3]
Makam Suriansyah dan istrinya, di Komplek Makam Sultan Suriansyah.
Sultan Banjar ke-1
Berkuasa1526 – 1540[4]
Penobatan24 September 1526
Pendahulujabatan dibentuk
(Pangeran Tumenggung sebagai penguasa Negara Daha)
PenerusRahmatullah dari Banjar
Putra Mahkota dari Negara Daha
Berkuasa1525 – 1526
KelahiranRaden Raga Samudera[5][6]
Tidak diketahui
Kerajaan Negara Daha
Kematian1540
Kesultanan Banjar
Pemakaman
Pasangan
Ratoe Sa'adah
Keturunan
Nama lengkap
توان كبوه دولي يڠ مها مليا ڤدوك سري سلطان سوريان الله شاه
Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Suryanullah Syah
Nama anumerta
ڤانمبهان باتو هبنڬ
Panembahan Batu Habang[7]
سوسوهونن مات هبنڬ
Susuhunan Mata Habang
WangsaWangsa Banjarmasin
AyahRaden Mantri Alu[5]
IbuRatu Intan Sari Galuh Baranakan[5]
AgamaIslam Sunni

Suriansyah,[8] juga disebut sebagai Suryanullah[5][9][10][11][12][13][14] atau Sultan Suria Angsa[15][16][17] dan Pangeran Jaya Sutera, adalah pendiri sekaligus sultan pertama dari Kesultanan Banjar yang memerintah sejak penobatannya pada tahun 1526 hingga kematiannya pada tahun 1540.[5][18][19][20][21][4] Ia merupakan penguasa Banjar pertama yang memeluk agama Islam.[22][23]

Kehidupan awal

[sunting | sunting sumber]
Balai Pertemuan yang dinamakan Gedung Sultan Suriansyah di Banjarmasin.

Raden Samudera adalah putera dari Puteri Galuh Beranakan (Ratu Intan Sari) yaitu puteri dari Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Dan nama bapaknya adalah Raden Mantri Alu, keponakan Maharaja Sukarama. Nama "Suriansyah" sering dipakai sebagai nama anak laki-laki suku Banjar.

Menurut naskah Cerita Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin alias Hikayat Banjar resensi I, Suriansyah merupakan keturunan ke-6 dari Lambung Mangkurat dan juga keturunan ke-6 dari pasangan Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata. Maharaja Suryanata dijemput dari Majapahit sebagai jodoh Puteri Junjung Buih, saudara angkat Lambung Mangkurat. Suriansyah juga merupakan keturunan ke-3 dari Raden Sekar Sungsang.

Putra mahkota Negara Daha

[sunting | sunting sumber]

Legitimasi politik yang muncul bagi masyarakat Banjar bahwa seorang raja atau calon pengganti raja haruslah putra tertua raja yang lahir dari ibu yang juga berdarah raja (putera gahara). Hal ini mengacu pada pasangan Suryanata dan Junjung Buih sebagai idealisasinya. Para tutus raja atau garis lurus keturunan raja-raja (dalam konsepsi Hinduistik) yang juga berarti tutus naga (dalam konsepsi religi asli), diyakini sebagai wakil dewa di dunia. Tradisi ini dengan sendirinya menjadi sumber legitimasi politik bagi setiap penguasa yang silih berganti bertahta. Meskipun Kesultanan Banjar yang muncul pada abad ke-16 adalah Kerajaan Islam, namun tradisi politik yang diwariskan dari masa Negara Dipa itu ternyata tetap kuat mewarnai proses suksesinya. Aturan ini rupanya sangat dipahami oleh Maharaja Sukarama, raja kedua Negara Daha (kelanjutan Negara Dipa). Diceritakan dalam Hikayat Banjar, Maharaka Sukarama mempunyai empat orang istri dan empat orang putra dan satu orang putri. Mereka masing-masing adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumanggung, Pangeran Bagalung, Pangeran Jayadewa, dan si bungsu perempuan bernama Putri Galuh Baranakan. Keempat istri raja tersebut rupanya tidak berdarah bangsawan, sehingga sang raja mengawinkan Putri Galuh Baranakan dengan putra saudaranya sendiri, Raden Bagawan, yang bernama Raden Mantri. Pasangan ini, Galuh dan Mantri kemudian melahirkan Raden Samudera. Karena berdarah murni, oleh Sukarama, Raden Samudera dianggap lebih berhak mewarisi takhta Daha daripada yang lainnya.[24] Meskipun anak-anaknya keberatan atas keputusan itu, tetapi Sukarama bersikukuh.

Setelah kematian Maharaja Sukarama, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumanggung, yang menginginkan ambisi tahta, berusaha menyingkirkan Pangeran Samudera. Hal ini kemudian memicu perang saudara yang membawa Kerajaan Negara Daha pada keruntuhannya.

Memerintah

[sunting | sunting sumber]

Pangeran Samudera secara perlahan mengumpulkan kekuatan, hingga akhirnya ia diakui oleh sejumlah kepala kampung di Sungai Barito, dan menjadikan sungai tersebut basis kekuasaannya. Oleh para kepala kampung tersebut, ia diangkat menjadi Raja.

Pada 24 September 1526 (6 Zulhijjah 932 H), Pangeran Samudera memeluk Islam dan memilih gelar Sultan Suryanullah Syah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja) yang disesuaikan dengan gelar dari Raden Putra (Rahadyan Putra) yaitu Suryanata, seorang pendiri dinasti pada zaman kerajaan Hindu sebelumnya. Setelah aksesinya, ia berhasil mengalahkan para pesaingnya dan menjadi penguasa Banjar tunggal.

Kebijakan administratif

[sunting | sunting sumber]

Ketika Suriansyah pertama kali mengatur kerajaan, Patih Masih menjabat sebagai Mangkubumi, yang posisinya lebih tinggi daripada Empat Menteri atau dalam bahasa Banjar disebut Mantri Ampat yaitu 4 orang deputi yaitu:[25][26][27][22]

  1. Deputi Pangiwa dijabat Patih Balit
  2. Deputi Panganan dijabat Patih Balitung
  3. Deputi Gampiran dijabat Patih Kuin
  4. Deputi Panumping dijabat Patih Muhur

Dibawah Gampiran dan Panumping terdapat 30 wilayah Mantri. Keempat deputi ini juga berwenang sebagai hakim.

Setelah kejatuhan Negara Daha, patih tertua, Aria Taranggan diangkat sebagai Mangkubumi dengan wewenang untuk menangani masalah administrasi negara dari seluruh wilayah negara, menentukan keputusan terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati, dan menentukan perihal hak penyitaan segala harta benda yang dijatuhi hukuman.

Keempat deputi juga memilik wewenang sebagai jaksa dan hakim, tetapi segala keputusan mereka berdasarkan sebuah kodifikasi hukum yang disebut Kutara yang disusun oleh Aria Taranggana ketika menjabat Mangkubumi Negara Daha.

Selain itu, Suriansyah juga memebentuk sejumlah kementerian:

  • Mantri Bandar (Kiai Palabuhan) yang bertugas menjalankan kegiatan pemungutan bea cukai pelabuhan.
  • Mantri Tuhabun yang bertugas untuk melayani raja, para keluarga raja seperti antara lain sebagai regu pengayuh perahu ketangkasan raja.
  • Singabana, kementerian pertahanan dan keamanan yang dijabat oleh dua fungsi: Singantaka dan Singapati.
  • Mantri Besar yang bertugas sebagai duta kerajaan di daerah ataupun ke luar daerah kerajaan.

Ekspansi militer

[sunting | sunting sumber]

Suriansyah memodifikasi sistem militer untuk kepentingan perluasan wilayah. Sejak penobatannya di tahun 1526, Banjar mengalami perluasan wilayah yang cukup signifikan. Daerah-daerah yang takluk pada masa pemerintahan Suriansyah disebutkan dalam Hikayat Banjar:[28]

Sudah itu maka orang Sebangau, orang Mendawai, orang Sampit, orang Pembuang, orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawai, orang Sambas sekaliannya itu dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat sekaliannya negeri itu datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali itu. Dan orang Takisung, orang Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukan, orang Paser, orang Kutai, orang Berau, orang Karasikan, sekaliannya itu dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur datang sekaliannya negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat kembali.[5]

Bangunan Kompleks Makam Sultan Suriansyah

Sultan Suryanullah diperkirakan mangkat pada tahun 1540[22] atau 1546, hal ini seperti yang tertulis pada nisannya. Setelah mangkat Sultan ini mendapat gelar anumerta Panembahan Batu Habang dan Susuhunan Batu Habang, yang dinamakan berdasarkan warna batu bata merah (habang) yang menutupi kuburannya di Komplek Makam Sultan Suriansyah di Banjar Lama, sekarang Kuin Utara, Kalimantan Selatan.

Tanggal penobatan Suriansyah, 24 September 1526, diperingati sebagai Hari Jadi Kota Banjarmasin, sekitar 498 tahun yang lalu.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Karl Helbig, Eine Durchquerung der Insel Borneo (Kalimantan): nach den Tagebüchern aus dem Jahre 1937, D. Reimer, 1982 ISBN 3496001542, 9783496001546
  2. ^ (Belanda) (1867)De tijdspiegel. Fuhri. hlm. 165. 
  3. ^ (Indonesia) Putera mahkota jang terbuang. Saiful. 1963. hlm. 4. 
  4. ^ a b Hoëvel, Wolter Robert (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (dalam bahasa Belanda). 52. Ter Lands-drukkerij. hlm. 199. 
  5. ^ a b c d e f Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar (dalam bahasa Melayu). Diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405.  ISBN 983-62-1240-X
  6. ^ (Melayu)Yayasan Perpustakaan Nasional (Indonesia), Yayasan Perpustakaan Nasional (Indonesia) (1976). Bulletin YAPERNA. 14-17. Yayasan Perpustakaan Nasional. 
  7. ^ Basuni, Ahmad (1986). Nur Islam di Kalimantan Selatan: sejarah masuknya Islam di Kalimantan. Penerbit Bina Ilmu. 
  8. ^ Cense, Anton Abraham (1928). De kroniek van Bandjarmasin (dalam bahasa Belanda). C.A. Mees. hlm. 91. 
  9. ^ Balai Pustaka (18 Juni 2008). Sejarah Nasional III, 2008: History Indonesia. Indonesia: Bukupedia. hlm. 10.  [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ Sarkawi B. Husain (1 Januari 2017). Sejarah Masyarakat Islam Indonesia. Indonesia: Airlangga University Press. hlm. 58. 
  11. ^ https://www.scribd.com/doc/190123982/Hikayat-Banjar
  12. ^ (Indonesia) H Purwanta, dkk, Sejarah SMA/MA Kls XI-Bahasa, Grasindo, ISBN 979-759-653-2, 9789797596538
  13. ^ Saleh, Mohamad Idwar (1986). Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin,. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,. hlm. 150. 
  14. ^ Sejarah daerah Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978
  15. ^ (Belanda) Noorlander, Johannes Cornelis (1935). Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw (dalam bahasa Belanda). M. Dubbeldeman. hlm. 189. 
  16. ^ (Inggris) Houtsma, M. Th (1993). First Encyclopaedia of Islam 1913-1936:. E.J.Brill,s,BRILL. hlm. 646. ISBN 9004097961.  ISBN 978-90-04-09796-4
  17. ^ Le Rutte, J. M. C. E. (1863). Episode uit den Banjermasingschen oorlog. A.W. Sythoff. hlm. 12. 
  18. ^ (Belanda) (1867)De tijdspiegel. Fuhri. hlm. 165. 
  19. ^ Karl Helbig, Eine Durchquerung der Insel Borneo (Kalimantan): nach den Tagebüchern aus dem Jahre 1937, D. Reimer, 1982 ISBN 3496001542, 9783496001546
  20. ^ (Belanda) Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. 9. 1860. hlm. 96. 
  21. ^ (Belanda) Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia). (1860). Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde. 9. Lange. hlm. 95. 
  22. ^ a b c Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Geschiedkundige aanteekcningen omtrent zuidelijk Borneo)". 23. Ter Lands-drukkerij: 199. 
  23. ^ "Indisch archief: tijdschrift voor de Indien. Dl. 4. Tweede". 1851: 482. 
  24. ^ Norprikriadi (2014). PERJALANAN KESULTANAN BANJAR: DARI LEGITIMASI POLITIK KE IDENTITAS KULTURAL. hlm. 81. 
  25. ^ (Belanda) Noorlander, Johannes Cornelis (1935). Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede helft der 18de eeuw. M. Dubbeldeman. hlm. 188. 
  26. ^ (Belanda) Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863. D. A. Thieme. hlm. 2. 
  27. ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia. Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. 6. Lange & Co., 1857. hlm. 239. 
  28. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. PT Balai Pustaka. hlm. 86. ISBN 9794074098. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-11. Diakses tanggal 2013-06-16.  ISBN 978-979-407-409-1

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]