GAMBARAN KONSEP DIRI PADA REMAJA YANG
MENGALAMI BULLYING VERBAL DI SMPN 4
PURWADADI
PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Untuk Menyelesaikan Pendidikan
Program Studi S1 Keperawatan
Oleh
ENDAH RAHAYU MULYANI
043315141012
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
PPNI JAWA BARAT
BANDUNG
2018
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bullying
1. Definisi
Bullying adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang
dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seorang yang tidak mampu
mempertahankan diri dan dilakukan dalam situasi dimana ada hasrat untuk
melukai, menakuti, atau membuat orang lain merasa tertekan, trauma, depresi,
dan tak berdaya (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dalam (Wiyani,2013).
Sedangkan menurut Monks & Smith, 2006 dalam (Roberts,2013) bullying
didefinisikan sebagai perilaku berulang, disengaja, tanpa alasan, perilaku
agresif yang ditunjukan untuk menyakiti atau merugikan orang baik secara fisik
maupun psikologis.
2. Klasifikasi Bullying
Menurut Chakrawati (2015) & Prater (2013) bentuk bullying secara garis
besar dibedakan menjadi tiga, yaitu :
a. Bullying secara fisik bertujuan menyakiti tubuh seseorang.
Misalnya, memukul, mendorong, menampar, mengeroyok, menendang,
menjegal, menjahili, mengigit, mencubit, merusak dan sebagainya.
b. Bullying secara verbal artinya menyakiti dengan ucapan.
Misalnya, mencaci, memaki, menggosip, mengejek, membentak,
mengancam, menggoda, meneror (secara langsung/tidak) dan
sebagainya.
c. Bullying secara rasional artinya menyakiti korban secara psikis.
Misalnya, mengucilkan, menekan, mengabaikan, mendiskriminasi,
menolak, bercerita untuk merusak hubungan seseorang, menyebarkan
desas-desus dan sebagainya.
Bullying secara fisik dan verbal merupakan bentuk bullying secara
langsung, sedangkan bullying relasional merupakan bentuk bullying
tidak langsung karena memiliki dampak social, seperti pengucilan.
3. Tanda-tanda Bullying
Menurut Chakrawati (2015 taanda-tanda bullying sering kali terkait
dengan hal-hal :
a. Terdapat ketidakseimabangan antara pelaku dan target
Seseorang yang merasa kuat, berkuasa, yang merasa terancam
dengan keberadaan seseorang biasanya berpotensi menjadi pelaku
bullying. Sementara, seseorang yang lemah, kurang percaya diri,
sedang sendiri, berbeda dari teman-teman lainnya, tak berdaya, sering
kali menjadi target sasaran bullying.
b. Terdapat keinginan untuk melukai
Suatu tindakan dapat disebut bullying jika diniatkan untuk
melukai atau mencederai target. Tidak hanya melukai secara fisik,
tetapi psikis. Saat target terluka, pelaku akan merasa senang melihat
penderitaan targetnya.
c. Perilaku cenderung berulang
Bullying akan cenderung berlangsung berulang kali. Maka
sekali korban membiarkan bullying terjadi padanya, bukan tidak
mungkin bullying itu akan terus terjadi.
d. Ancaman dan teror
Bullying biasanya berhubungan dengan terror. Seseorang yang
di bully akan merasa terancam hidupnya sehingga ia bias saja merasa
putus asa. Terror dan ancaman bias juga membuatnya ketakutan.
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bullying
Bullying yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi
setiap bagian yang ada di sekitar anak juga turut memberikan kontribusi baik
langsung maupun tidak langsung dalam munculnya perilaku tersebut. Priyatna
(2010) menyebutkan bahwa tidak ada penyebab tunggal dari bullying. Banyak
faktor yang terlibat dalam hal ini, baik itu faktor pribadi anak itu sendiri,
keluarga, lingkungan, bahkan sekolah semua mengambil peran. Semua faktor
tersebut, baik yang bersifat individu maupun kolektif, memberi kontribusi
kepada seorang anak sehingga akhirnya dia melakukan tindakan bullying.
a. Keluarga
Perilaku bullying seringkali berasal dari yang bermasalah,
seperti orangtua yang sering yang menghukum anaknya secara
berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, dan permusuhan.
Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-
konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya
terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari
lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, anak akan belajar
bahwa mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berprilaku
agresif dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan
kekuasaan seseorang. Dari sini anak mengembangkan perilaku bullying
(Mudjijianti,20011).
b. Sekolah
Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying, anak-
anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap
perilaku mereka untuk melakukan bullying terhadap anak lain. Bullying
berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah, missalnya berupa
hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa
menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah
(Mudjijianti, 2011).
c. Kondisi lingkungan sosial
Kondisi lingkungan sosial dapat pula menjadi penyebab
timbulnya perilaku bullying. Salah satu faktor lingkungan sosial yang
menyebabkan tindakan bullying adalah kemiskinan. Mereka yang hidup
dalam kemiskinan akan berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan
hidupnya, sehingga tidak heran jika lingkungan sekolah sering terjadi
pemalakan antar siswanya.
d. Tayangan televisi dan media cetak
Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku bullying dari
segi tayangan yang mereka tampilkan. Berdasrkan survey yang
dilakukan kompas (Saripah, 2006) memperlihatkan bahwa 56,9% anak
meniru adegan-adegan film yang ditontonnya, umumnya mereka
meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).
e. Teman sebaya
Ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar
rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa
anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa
mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri
merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
5. Karakteristik pelaku
Menurut Parson (2009) pelaku terdorong untuk melakukan bullying
karena beberapa alasan, seperti :
a. Gangguan Pengendalian Diri
Anak-anak yang mengalami gangguan pengendalian diri
akan terlihat keras dan bermusuhan, mengalami kegelisahan
emosional, mereka salah menafsirkan dan salah memahami segala
bentuk interaksi dengan orang lain dan tidak mampu mengendalikan
dorongan-dorongan keras yang sering muncul.
Anak-anak seperti ini serring melanggar peraturan, memulai
tindakan yang agresif, dan bahkan merusak milik orang lain, baik
dilakukan sendiri maupun bersama dengan kelompoknya. Tingkah
laku mereka yang tidak pantas itu jelas dan berlangsung terus
menerus, mereka cenderung menyalahkan orang lain untuk apa yang
mereka perbuat.
b. Perilaku bullying yang dipelajari
Anak-anak dapat belajar perilaku bullying dengan berbagai cara,
termasuk dengan mendapat perlakuan yang keras, menyaksikan
perbuatan-perbuatan kejam, atau mendapatkan imbalan atas
perbuatan yang agresif . Ada hubungan antara pola pengasuhan
orang tua yang tidak tepat dengan pembentukan perilaku agresif
terhadap anak-anak. Penggunaan hukuman fisik, hukuman yang
tidak konsisten, pemanjaan yang berlebihan, dan serba
membolehkan, semuanya ini berkaitan erat dengan perilaku agresif
anak.
c. Menunjukan kekuasaan
Ketika sebagian besar anak melakukan bullying, mereka
mempunyai tujuan yang jelas di benak mereka. Mereka sengaja
menggunakan kekerasan untuk memperoleh yang mereka inginkan
dari orang lain, seperti uang jajan, jawaban dalam sebuah tes, atau
hanya sebuah kesenangan untuk mendominasi. Anak-anak ini rela
terlibat dalam kekerasan untuk keuntungan mereka sendiri. Oleh
karena mereka menyaksikan pola-pola kekerasan di dunia sekeliling
mereka, mereka merasa mendapat pembenaran dalam tingkah laku
mereka.
6. Karakteristik Korban
Anak-anak yang menjadi korban bullying sering terjadi pada
anak-anak dengan kebutuhan khusus, anak-anak yang pemalu dan
cemas. Anak yang diganggu biasanya merasa diabakan dan kesepian
karena diinggalkan dan menjadi bahan ledekan oleh kelompoknya
(Sharma,2014).
Sedangkan menurut Hanish & Guerra (2004) anak-anak yang
menjadi korban bullying lebih banyak menyatakan merasa kesepian,
kesulitan berkawan, cemas, secara social menarik diri dan agresif.
Rubin, dkk(2006) menambahkan, anak-anak yang cemas dan menarik
diri cenderung menjadi korban bullying karena mereka tidak
mengancam dan tidak balas dendam, sedangkan anak-anak yang agresif
menjadi sasaran bullying karena tingkah laku mereka menggangu para
pelaku bullying (Ssantrock,2001).
Peneliatian yang dilakukan oleh Junger Tas dan Van Kestren
(1999) di Belanda, menemukan bahwa mereka yang tidak mempunyai
teman, lebih dari setengahnya (51%) menjadi sasaran tindakan bullying.
Sementara mereka yang mempunyai teman lebih dari lima orang, hanya
11% saja (Wiyani,2013).
Menurut Wiyani (2013) tanda-tanda siswa yang menjadi korban
bullying, diantaranya :
a. Mengalami luka (berdarah, memar, dan goresan)
b. Sakit kepala/ sakit perut
c. Barang miliknya mengalami kerusakan
d. Mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran
e. Takut pergi ke sekolah sehingga sering membolos
f. Mengubah rute pergi ke sekolah
g. Prestasi akademinya menurun
h. Menarik diri dari pergaulan atau merasa malu
i. Tidak mau berpatisipasi lagi dalam kegiatan yang
biasanya disukaianya
j. Gelisah, muram, dan menjadi agresif dengan melakukan
bullying
k. Mengancam atauu mencoba melakukan bunuh diri
7. Tempat-tempat Terjadi Bullying
Menurut Chakrawati (2015) & Sharma (2014) bullying dapat terjadi
dimana saja, termasuk di tempat-tempat berikut ini:
a. Sekolah sebelum masuk waktu pelajaran
b. Lingkungan sekolah setelah pelajaran (istirahat)
c. Bermain di lingkungan sekolah
d. Koridor sekolah
e. Bus sekolah
f. Lapangan olahraga sekolah
8. Dampak Bullying
a. Dampak Bagi Pelaku
Sanders (2003) (dalam Anesty, 2009) mengemukakan pada umumnya,
para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri
yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro
terhadap kekerasan, tipikal orang yang berwatak keras, mudah marah
dan implusif, toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para pelaku
bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan
kurang berempati terhadap targetnya.
Coloroso (2006) (dalam Anesty,2009) menambahkan bahwa
siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat
mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk
memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta
menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat
mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan dating.
b. Dampak Bagi Korban
Menurut Beale, dkk (2001) korban bullying sering absen karena enggan
atau takut untuk pergi kesekolah, ketakutan, kesepian, perasaan di
tinggalkan dan keinginan bunuh diri. Foltz (1996) menambahkan, banyak
juga korban yang mengalami gejala psikosomatik seperti sakit kepala atau
sakit perut di pagi hari.
Ada bukti yang berkembang bahwa bullying memiliki efek mendalam dan
meluas pada lingkungan belajar sekolah. Takut diejek, dilecehkan,
diancam, dan dikucilkan di sekolah mengganggu kemampuan siswa untuk
belajar (US Departement of Education [DOE], 2002). Jika dibiarkan,
bullying dapat menghasilkan bentuk yang lebih berbahaya dan kadang-
kadang perilaku kekerasaan yang berujung kematian Batsche & Knoff,
1994; Olweus, 1993 dalam (whitted, dkk, 2005).
Hampir sama dengan Batsche, dkk, penelitian juga dilakukan oleh Woods,
dkk (2001) dari anak-anak yang di teliti, pelaku bullying atau korban, dan
anak perempuan yang paling mungkin memiliki efek gejala kesehatan fisik,
seperti sakit tenggorokan, pilek dan batuk yang berulang. Pelaku bullying
yang menjadi korban maupun korban, yang paling mungkin memiliki
masalah kesehatan psikosomatik tinggi, seperti nafsu makan yang buruk
dan kekhawatiran untuk pergi ke sekolah.
Chakrawati (2015) menambahkan bahwa dampak bullying bagi korban
yaitu:
1) Depresi
2) Minder
3) Malu dan ingin menyendiri
4) Luka fisik
5) Sering sakit tiba-tiba, misalnya sakit perut atau pusing
6) Merasa terisolasi dari pergaulan
7) Prestasi akademik merosot
8) Kurang bersemangat
9) Ketakutan
10) Keinginan mengakhiri hidup.
B. Remaja
1. Pengertian Remaja
Santrock (2007) mendefisikan masa remaja sebagai suatu
periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa
dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan
sosioemosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri
memasuki masa dewasa.
WHO (dalam Sarwono, 2007:9), mengartikan remaja adalah
suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali ia
menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai
kematangan seksual; individu mengalami perkembangan psikologis dan
pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; terjadi peralihan
dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang
relatif lebih mandiri.
2. Karakteristik Perkembangan Remaja
Menurut Desmita (2009), masa remaja (12-21 tahun) merupakan
masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan
orang dewasa. Masa remaja sering dikenal juga dengan masa pencarian
jati diri (ego idenity). Masa remaja ditandai dengan sejumlah
karakteristik penting, yaitu:
a. Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya,
b. Dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita
dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,
c. Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif,
d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya,
e. Memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat
dan kemampuannya,
f. Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga
dan memiliki anak,
g. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang
diperlukan sebagai warga negara,
3. Tugas Perkembangan Remaja
Yusuf, 2010 mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja
sebagai berikut:
a. Menerima keadaan fisiknya dan memanfaatkannya secara efektif.
b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa
lainnya.
c. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.Memilih dan mempersiapkan
suatu pekerjaan.
d. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.
e. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang perlu bagi
kompetensi sebagai warga negara.
C. Konsep Diri
1. Pengertian Diri
Konsep diri yaitu suatu cara pandang atau keyakinan yang membuat
seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya
dengan orang lain (Ibrahim dalam Nurhakim,2008). Konsep diri juga di
artikan sebagai semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, serta yang
diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam
berhubungan dengan orang lain (Yusuf,2015).
Hurlock (dalam Ghufron & Risnawita, 2016) mengatakan bahwa
konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang
merupakan gabusngan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional
aspiratif dan prestasi yang mereka capai. Konsep diri adalah semua
ide,pikiran,kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang
dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang
lain.(Stuart,2016) .
Agustiani (2009) berpendapat konsep diri merupakan gambaran yang
dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui
pengalamanpengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan.
Fitts (Agustiani, 2009) menambahkan konsep diri merupakan aspek penting
dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka
acuan (frame of refrence) dalam berinteraksi dengan lingkungan.
2. Komponen Konsep Diri
Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian konsep diri tersebut
dikemukakan oleh Stuart & Sudeen (1998), yang terdiri dari:
a. Identitas diri
Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat
diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya,
menyadari individu bahwa dirinya berbeda dari orang lain. Individu
dengan rasa identitas yang kuat merasa menyatu dan tidak menyebar,
artinya individu yang memiliki perasaan identitas yang kuat akan
memandang dirinya berbeda dengan orang lain, dan tidak ada
duaanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek pada
diri sendiri), kemampuan dan penguasaan diri. Identitas berkembang
sejak usia kanak-kanak berasamaan dengan perkembangan konsep
diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri,
respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri dan
menerima diri. Ciri individu dengan identitas diri yang positif :
1) Mengenal diri sebagai organisme yang utuh terpisah
dari orang lain
2) Mengakui jenis kelamin sendiri.
3) Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai
suatu keselarasan.
4) Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian
masyarakat.
5) Menyadari hubungan masa lalu , sekarang dan yang
akan dating.
6) Mempunyai tujuan yang bernilai yang dapat dicapai/
direalisasikan (Suliswati dkk,2005).
b. Citra Tubuh
Citra tubuh adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya baik
disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang
mengenai ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dann potensi tubuh.
Citra tubuh sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring
dengan presepsi dan pengalaman-pengalaman baru. Citra tubuh harus
realistis karena seseorang yang merasa lebih aman dan bebas dari
kecemasan akan lebih menyukai dan menerima tubuhnya sendiri.
Seseorang yang menerima tubuhnya apa adanya biasanya memiliki
harga diri tinggi dari pada individu yang tidak menyukai tubuhnya.
Cara seseorang memandang diri mempunyai dampak yang
penting pada aspek psikologisnya. Seseorang yang stabil, realistis dan
konsisten terhadap citra tubuhnya akan memperlihatkan kemampuan
mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses dalam
kehidupan (Suliswati dkk,2005).
Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat
menunjukan tanda dan gejala, seperti :
1) Syok Psikologis
Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap
dampak perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama
tindakan. Syok psikologis di gunakan sebagai reaksi
terhadap ansietas. Informasi yan telah berlalu banyak dan
kenyataan perubahan tubuh membuat klien menggunakan
mekanisme pertahanan diri seperti mengingkari, menolak
dan proyeksi untuk mempertahankan keseimbangan diri.
2) Menarik diri
Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari
kenyataan, tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau
menghindar secara emosional. Klien menjadi pasif,
tergantung, tidak ada motivasi, dan keinginan untuk
berperan dalam perawatannya.
3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap setelah klien
sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka
muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi
dengan gambaran diri yang baru.
Tanda dan gejala dari gangguaan gambaran diri diatas adalah
proses adaptif, jika tampak gejala dan tanda-tanda berikut secara
menetap maka respon klien dianggap maladaptive sehingga
terjadi gangguan gambaran diri yaitu :
1) Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang
berubah.
2) Tidak dapat menerima perubahan sruktur dan fungsi tubuh.
3) Mengurangi kontak social sehingga terjadi menarik diri
4) Perasaan atau pandangan negative terhadap tubuh.
5) Preokupasi dengan bagian tunuh atau fungsi tubuh yang
hilang.
6) Mengungkapkan keputusan.
7) Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh.
(sabiah,2003).
c. Ideal diri
Ideal diri adalah peresepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya
bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar pribadi dapat
berhubungan dengan tipe orang yang di inginkan atau disukainya atau
sejumlah aspirasi, tujuan, nilai yang ingin diraih. Ideal diri akan
mewujudkan cita-cita atau pengharapan diri berdasarkan norma-
norma social di masyarakat tempat individu tersebut melahirkan
penyesuaian diri. Pembentukan ideal diri dimulai pada masa kanak-
kanak dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang
memberikan harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan
berjalannya waktu seseorang menginternalisasikan harapan tersebut
dan akan membentuk dasar dari ideal diri. Pada usia remaja, ideal diri
akan terbentuk memlalui proses identifikasi pada orangtua, guru dan
teman. Pada usia yang lebih tua akan dilakukan penyesuaian yang
merefleksikan berkurangnya kekuatan sisik dan perubahan peran dan
tanggung jawab. Seseorang cenderung menetapkan tujuan yang
sesuai dengan kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan
dan rasa cemas. Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung
respek terhadap diri, tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut,
samar-samar atau kabu. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal
dan membantu individu mempertahanka kemampuannyamenghadapi
konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk
mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental .
Faktor-faktor yang mempengaruhi ideal diri :
1) Menetapkan ideal diri sebatas kemampuan.
2) Faktor kultur dibandingkan dengan standar orang lain.
3) Hasrat melebihi orang lain
4) Hasrat untuk berhasil
5) Hasrat untuk memenuhi kebutuhan realistis menghindari
kegagalan.
6) Adanya perasaan cemas dan rendah diri. (Suliswati dkk, 2005)
d. Peran Diri
Peran diri adalah serangkaian pola sikap prilaku, nilai dan tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat di hubungkan dengan fungsi individu
didalam kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk
berperan serta dalam kehidupan social dan merupakan cara untuk
menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti.
Setiap orang disibukan oleh beberapa peran yang berhubungan
dengan posisi pada tiap waktu sepanjang daur kehidupan. Harga diri
yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan
dan cocok dengan ideal diri (Suliswati dkk,2005).
Faktor faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu terhadap
peran :
1) Kejelasan perilaku dan peengetahuan yang sesuai dengan peran.
2) Tanggapan yang konsisten dari orang-orang yang berarti terhadap
peran nya.
3) Kecocokan dan keseimbangan antar peran yang diembannya.
4) Keselarasan norma budaya dan harapan individu terhadap
perilaku.
5) Pemisahaan situasi yang akan menciptakan penampilan peran
yang tidak sesuai .
e. Harga diri
Harga diri adalah penilain pribadi seseorang tentang harga diri,
berdasarkan seberapa baik perilaku sesuai dengan ideal diri. Harga
diri meningkat seiring usia dan paling terancam selama masa remaja,
ketika konsep diri sedang berubah dan banyak keputusan diri dibuat.
(Stuart & Sudeen, 1998). Harga diri berasal dari dua sumber yaitu
diri sendiri dan orang lain. Harga diri adalah fungsi pertama dari
dicintai dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain. Sehingga
mengartikan harga diri akan turun ketika cinta hilang dan ketika
seseorang gagal menerima pengakuan dari orang lain dan akan
menikan apabila cinta dan pengakuan kembali. (Stuart, 2016).
Karakteristik gangguan harga diri meliputi : tampak atau
tersembunyi, menyatakan kekurangan dirinya, mengekspresikan rasa
malu atau bersalah, menilai diri sebagai individu yang tidak memiliki
kesempatan, ragu-ragu untuk mencoba sesuatu/situasi yang baru,
mengingkari masalah yang nyata pada orang lain, melemparkana
tanggung jawab terhadap masalah, mencari alasan untuk kegagalan
diri, sangat sensitive terhadap kritikan, merasa hebat (Stuart,2007).
Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah meliputi :
mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas
destruktif yang di arahkan pada orang lain, gangguan dalam
berhubungan, rasa diri penting yang berlebihan, perasaan tidak
mampu, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan
negative mengenai tubuhnya sendiri, pandangan hidup yang pesimis,
kecemasan (Stuart,2007).
3. Rentang Respons Konsep Diri
Konsep diri terdiri atas lima komponen yaitu perubahan dalam Citra
Tubuh, Ideal Diri, Harga Diri, Peran dan Identitas. Rentang individu terdapat
konsep diri berfluktuasi sepanjang rentang respons konsep diri yaitu adaptif
sampai maladaptif.
Rentang Respons Konsep Diri
Respon adaptif Respon maladaptif
Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonal
Diri positif rendah identitas lisasi
Gambar : 2.1 Rentang respon konsep diri (Stuart, 2016)
a. Aktualisasi diri : pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat
diterima.
b. Konsep diri positif : apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal –hal positif
maupun yang negative dari dirinya.
c. Harga diri rendah : individu cenderung untuk menilai dirinya negative
dan merasa lebih rendah dari orang lain.
d. Identitas kacau : kegagalan individu mengintegrasikan aspek – aspek
identitas masa kanak – kanak ke dalam kematangan aspek psikososial
kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.
e. Depersonalisasi: perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri
sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak
dapat membedakan dirinya dengan orang lain.
4. Faktor Resiko Gangguan Konsep Diri
Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep Diri adalah (Tarwoto &
Wartonah, 2003) :
a. Tingkat perkembangan dan kematangan
Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa
pertumbuhan seseorang manusia dari kecil hingga dewasa.
Pengalaman, pola asuh serta perlakuan orang tua serta lingkunganya
turut memberikan pengaruh terhadap pembentukan Konsep diri.
Sikap atau respon dari orang tua dan lingkunganya akan menjadi
bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.
b. Budaya
Pada usia anak-anak nilai akan diadopsi dari orang tua,
kelompok dan lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan
membawa anak lebih dekat pada lingkungannya.
c. Sumber eksternal dan internal
Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh
terhadap Konsep Diri. Pada sumber internal misalnya, orang yang
humoris koping individunya lebih efektif. Sumber eksternal
misalnya adanya dukungan dari masyarakat, dan ekonomi yang
kuat.
d. Pengalaman sukses dan gagal
Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan
Konsep Diri, demikian pula sebaliknya.
e. Stresor
Stresor dalam kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru,
ujian dan ketakutan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan
menimbulkan Depresi, menarik diri, dan kecemasan.
f. Usia, dan trauma
Usia tua akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap
dirinya. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi
kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih
mudah percaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya.
Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya.
Makin tua umur seseorang rnakin konstruktif dalam menggunakan
koping terhadap masalah yang dihadapi. Pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan akan merubah perilaku seseorang dalam
menghadapi lingkungan disekitarnya, seseorang akan cenderung
tertutup dan koping terhadap masalah tidak efektif dikarenakan
kurangnya komunikasi dengan orang lain.
g. Pendidikan
Faktor pendidikan seseorang sangat menentukan kecemasan,
klien dengan pendidikan tinggi akan lebih mampu mengatasinya dan
menggunakan koping yang efektif serta konstruktif dari pada
seseorang dengan pendidikan rendah. Pendidikan adalah salah satu
usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam
dan luar sekolah serta berlangsung seumur hidup.
h. Pekerjaan
Seseorang yang mempunyai pekerjaan yang penting dan
memerlukan aktifitas, maka akan merasa sangat terganggu apabila
kehilangan kegiatan pekerjaan, hal ini penyebab timbulnya
kecemasan dan akan mempengaruhi perannya di masyarakat.
i. Status perkawinan
Seseorang yang telah menikah akan lebih mempunyai rasa
percaya diri dan ketenangan dalam melakukan kegiatan, karena
mereka pernah mengalami menjadi bagian dari keluarga, maupun
sebagai anggota masyarakat, sehingga diharapkan dapat memahami
keberadaannya.