0% found this document useful (0 votes)
51 views27 pages

Konsep Diri Remaja Korban Bullying

This document provides an overview of the concept of self-identity in teenagers experiencing verbal bullying in junior high school. It discusses definitions of bullying, types of bullying (physical, verbal, relational), signs of bullying, factors influencing bullying, characteristics of bullies and victims. Specifically, it defines verbal bullying as hurting someone with words, and discusses how victims of verbal bullying may have low self-esteem and feel isolated from peers.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
51 views27 pages

Konsep Diri Remaja Korban Bullying

This document provides an overview of the concept of self-identity in teenagers experiencing verbal bullying in junior high school. It discusses definitions of bullying, types of bullying (physical, verbal, relational), signs of bullying, factors influencing bullying, characteristics of bullies and victims. Specifically, it defines verbal bullying as hurting someone with words, and discusses how victims of verbal bullying may have low self-esteem and feel isolated from peers.
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA REMAJA YANG

MENGALAMI BULLYING VERBAL DI SMPN 4


PURWADADI

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Menyelesaikan Pendidikan

Program Studi S1 Keperawatan

Oleh

ENDAH RAHAYU MULYANI

043315141012

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
PPNI JAWA BARAT
BANDUNG
2018
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bullying

1. Definisi

Bullying adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang

dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seorang yang tidak mampu

mempertahankan diri dan dilakukan dalam situasi dimana ada hasrat untuk

melukai, menakuti, atau membuat orang lain merasa tertekan, trauma, depresi,

dan tak berdaya (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dalam (Wiyani,2013).

Sedangkan menurut Monks & Smith, 2006 dalam (Roberts,2013) bullying

didefinisikan sebagai perilaku berulang, disengaja, tanpa alasan, perilaku

agresif yang ditunjukan untuk menyakiti atau merugikan orang baik secara fisik

maupun psikologis.

2. Klasifikasi Bullying

Menurut Chakrawati (2015) & Prater (2013) bentuk bullying secara garis

besar dibedakan menjadi tiga, yaitu :

a. Bullying secara fisik bertujuan menyakiti tubuh seseorang.

Misalnya, memukul, mendorong, menampar, mengeroyok, menendang,

menjegal, menjahili, mengigit, mencubit, merusak dan sebagainya.

b. Bullying secara verbal artinya menyakiti dengan ucapan.


Misalnya, mencaci, memaki, menggosip, mengejek, membentak,

mengancam, menggoda, meneror (secara langsung/tidak) dan

sebagainya.

c. Bullying secara rasional artinya menyakiti korban secara psikis.

Misalnya, mengucilkan, menekan, mengabaikan, mendiskriminasi,

menolak, bercerita untuk merusak hubungan seseorang, menyebarkan

desas-desus dan sebagainya.

Bullying secara fisik dan verbal merupakan bentuk bullying secara

langsung, sedangkan bullying relasional merupakan bentuk bullying

tidak langsung karena memiliki dampak social, seperti pengucilan.

3. Tanda-tanda Bullying

Menurut Chakrawati (2015 taanda-tanda bullying sering kali terkait

dengan hal-hal :

a. Terdapat ketidakseimabangan antara pelaku dan target

Seseorang yang merasa kuat, berkuasa, yang merasa terancam

dengan keberadaan seseorang biasanya berpotensi menjadi pelaku

bullying. Sementara, seseorang yang lemah, kurang percaya diri,

sedang sendiri, berbeda dari teman-teman lainnya, tak berdaya, sering

kali menjadi target sasaran bullying.

b. Terdapat keinginan untuk melukai


Suatu tindakan dapat disebut bullying jika diniatkan untuk

melukai atau mencederai target. Tidak hanya melukai secara fisik,

tetapi psikis. Saat target terluka, pelaku akan merasa senang melihat

penderitaan targetnya.

c. Perilaku cenderung berulang

Bullying akan cenderung berlangsung berulang kali. Maka

sekali korban membiarkan bullying terjadi padanya, bukan tidak

mungkin bullying itu akan terus terjadi.

d. Ancaman dan teror

Bullying biasanya berhubungan dengan terror. Seseorang yang

di bully akan merasa terancam hidupnya sehingga ia bias saja merasa

putus asa. Terror dan ancaman bias juga membuatnya ketakutan.

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bullying

Bullying yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi

setiap bagian yang ada di sekitar anak juga turut memberikan kontribusi baik

langsung maupun tidak langsung dalam munculnya perilaku tersebut. Priyatna

(2010) menyebutkan bahwa tidak ada penyebab tunggal dari bullying. Banyak

faktor yang terlibat dalam hal ini, baik itu faktor pribadi anak itu sendiri,

keluarga, lingkungan, bahkan sekolah semua mengambil peran. Semua faktor

tersebut, baik yang bersifat individu maupun kolektif, memberi kontribusi

kepada seorang anak sehingga akhirnya dia melakukan tindakan bullying.


a. Keluarga

Perilaku bullying seringkali berasal dari yang bermasalah,

seperti orangtua yang sering yang menghukum anaknya secara

berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, dan permusuhan.

Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-

konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya

terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari

lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, anak akan belajar

bahwa mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berprilaku

agresif dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan

kekuasaan seseorang. Dari sini anak mengembangkan perilaku bullying

(Mudjijianti,20011).

b. Sekolah

Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying, anak-

anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap

perilaku mereka untuk melakukan bullying terhadap anak lain. Bullying

berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah, missalnya berupa

hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa

menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah

(Mudjijianti, 2011).

c. Kondisi lingkungan sosial


Kondisi lingkungan sosial dapat pula menjadi penyebab

timbulnya perilaku bullying. Salah satu faktor lingkungan sosial yang

menyebabkan tindakan bullying adalah kemiskinan. Mereka yang hidup

dalam kemiskinan akan berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan

hidupnya, sehingga tidak heran jika lingkungan sekolah sering terjadi

pemalakan antar siswanya.

d. Tayangan televisi dan media cetak

Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku bullying dari

segi tayangan yang mereka tampilkan. Berdasrkan survey yang

dilakukan kompas (Saripah, 2006) memperlihatkan bahwa 56,9% anak

meniru adegan-adegan film yang ditontonnya, umumnya mereka

meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).

e. Teman sebaya

Ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar

rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa

anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa

mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri

merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.

5. Karakteristik pelaku

Menurut Parson (2009) pelaku terdorong untuk melakukan bullying

karena beberapa alasan, seperti :

a. Gangguan Pengendalian Diri


Anak-anak yang mengalami gangguan pengendalian diri

akan terlihat keras dan bermusuhan, mengalami kegelisahan

emosional, mereka salah menafsirkan dan salah memahami segala

bentuk interaksi dengan orang lain dan tidak mampu mengendalikan

dorongan-dorongan keras yang sering muncul.

Anak-anak seperti ini serring melanggar peraturan, memulai

tindakan yang agresif, dan bahkan merusak milik orang lain, baik

dilakukan sendiri maupun bersama dengan kelompoknya. Tingkah

laku mereka yang tidak pantas itu jelas dan berlangsung terus

menerus, mereka cenderung menyalahkan orang lain untuk apa yang

mereka perbuat.

b. Perilaku bullying yang dipelajari

Anak-anak dapat belajar perilaku bullying dengan berbagai cara,

termasuk dengan mendapat perlakuan yang keras, menyaksikan

perbuatan-perbuatan kejam, atau mendapatkan imbalan atas

perbuatan yang agresif . Ada hubungan antara pola pengasuhan

orang tua yang tidak tepat dengan pembentukan perilaku agresif

terhadap anak-anak. Penggunaan hukuman fisik, hukuman yang

tidak konsisten, pemanjaan yang berlebihan, dan serba

membolehkan, semuanya ini berkaitan erat dengan perilaku agresif

anak.
c. Menunjukan kekuasaan

Ketika sebagian besar anak melakukan bullying, mereka

mempunyai tujuan yang jelas di benak mereka. Mereka sengaja

menggunakan kekerasan untuk memperoleh yang mereka inginkan

dari orang lain, seperti uang jajan, jawaban dalam sebuah tes, atau

hanya sebuah kesenangan untuk mendominasi. Anak-anak ini rela

terlibat dalam kekerasan untuk keuntungan mereka sendiri. Oleh

karena mereka menyaksikan pola-pola kekerasan di dunia sekeliling

mereka, mereka merasa mendapat pembenaran dalam tingkah laku

mereka.

6. Karakteristik Korban

Anak-anak yang menjadi korban bullying sering terjadi pada

anak-anak dengan kebutuhan khusus, anak-anak yang pemalu dan

cemas. Anak yang diganggu biasanya merasa diabakan dan kesepian

karena diinggalkan dan menjadi bahan ledekan oleh kelompoknya

(Sharma,2014).

Sedangkan menurut Hanish & Guerra (2004) anak-anak yang

menjadi korban bullying lebih banyak menyatakan merasa kesepian,

kesulitan berkawan, cemas, secara social menarik diri dan agresif.

Rubin, dkk(2006) menambahkan, anak-anak yang cemas dan menarik

diri cenderung menjadi korban bullying karena mereka tidak

mengancam dan tidak balas dendam, sedangkan anak-anak yang agresif


menjadi sasaran bullying karena tingkah laku mereka menggangu para

pelaku bullying (Ssantrock,2001).

Peneliatian yang dilakukan oleh Junger Tas dan Van Kestren

(1999) di Belanda, menemukan bahwa mereka yang tidak mempunyai

teman, lebih dari setengahnya (51%) menjadi sasaran tindakan bullying.

Sementara mereka yang mempunyai teman lebih dari lima orang, hanya

11% saja (Wiyani,2013).

Menurut Wiyani (2013) tanda-tanda siswa yang menjadi korban

bullying, diantaranya :

a. Mengalami luka (berdarah, memar, dan goresan)

b. Sakit kepala/ sakit perut

c. Barang miliknya mengalami kerusakan

d. Mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran

e. Takut pergi ke sekolah sehingga sering membolos

f. Mengubah rute pergi ke sekolah

g. Prestasi akademinya menurun

h. Menarik diri dari pergaulan atau merasa malu

i. Tidak mau berpatisipasi lagi dalam kegiatan yang

biasanya disukaianya

j. Gelisah, muram, dan menjadi agresif dengan melakukan

bullying

k. Mengancam atauu mencoba melakukan bunuh diri


7. Tempat-tempat Terjadi Bullying

Menurut Chakrawati (2015) & Sharma (2014) bullying dapat terjadi

dimana saja, termasuk di tempat-tempat berikut ini:

a. Sekolah sebelum masuk waktu pelajaran

b. Lingkungan sekolah setelah pelajaran (istirahat)

c. Bermain di lingkungan sekolah

d. Koridor sekolah

e. Bus sekolah

f. Lapangan olahraga sekolah

8. Dampak Bullying

a. Dampak Bagi Pelaku

Sanders (2003) (dalam Anesty, 2009) mengemukakan pada umumnya,

para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri

yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro

terhadap kekerasan, tipikal orang yang berwatak keras, mudah marah

dan implusif, toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para pelaku

bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan

kurang berempati terhadap targetnya.

Coloroso (2006) (dalam Anesty,2009) menambahkan bahwa

siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat

mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk

memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta


menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat

mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan dating.

b. Dampak Bagi Korban

Menurut Beale, dkk (2001) korban bullying sering absen karena enggan

atau takut untuk pergi kesekolah, ketakutan, kesepian, perasaan di

tinggalkan dan keinginan bunuh diri. Foltz (1996) menambahkan, banyak

juga korban yang mengalami gejala psikosomatik seperti sakit kepala atau

sakit perut di pagi hari.

Ada bukti yang berkembang bahwa bullying memiliki efek mendalam dan

meluas pada lingkungan belajar sekolah. Takut diejek, dilecehkan,

diancam, dan dikucilkan di sekolah mengganggu kemampuan siswa untuk

belajar (US Departement of Education [DOE], 2002). Jika dibiarkan,

bullying dapat menghasilkan bentuk yang lebih berbahaya dan kadang-

kadang perilaku kekerasaan yang berujung kematian Batsche & Knoff,

1994; Olweus, 1993 dalam (whitted, dkk, 2005).

Hampir sama dengan Batsche, dkk, penelitian juga dilakukan oleh Woods,

dkk (2001) dari anak-anak yang di teliti, pelaku bullying atau korban, dan

anak perempuan yang paling mungkin memiliki efek gejala kesehatan fisik,

seperti sakit tenggorokan, pilek dan batuk yang berulang. Pelaku bullying

yang menjadi korban maupun korban, yang paling mungkin memiliki

masalah kesehatan psikosomatik tinggi, seperti nafsu makan yang buruk

dan kekhawatiran untuk pergi ke sekolah.


Chakrawati (2015) menambahkan bahwa dampak bullying bagi korban

yaitu:

1) Depresi

2) Minder

3) Malu dan ingin menyendiri

4) Luka fisik

5) Sering sakit tiba-tiba, misalnya sakit perut atau pusing

6) Merasa terisolasi dari pergaulan

7) Prestasi akademik merosot

8) Kurang bersemangat

9) Ketakutan

10) Keinginan mengakhiri hidup.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Santrock (2007) mendefisikan masa remaja sebagai suatu

periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa

dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan

sosioemosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri

memasuki masa dewasa.


WHO (dalam Sarwono, 2007:9), mengartikan remaja adalah

suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali ia

menunjukan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai

kematangan seksual; individu mengalami perkembangan psikologis dan

pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; terjadi peralihan

dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang

relatif lebih mandiri.

2. Karakteristik Perkembangan Remaja

Menurut Desmita (2009), masa remaja (12-21 tahun) merupakan

masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan

orang dewasa. Masa remaja sering dikenal juga dengan masa pencarian

jati diri (ego idenity). Masa remaja ditandai dengan sejumlah

karakteristik penting, yaitu:

a. Mencapai hubungan yang matang dengan teman sebaya,

b. Dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita

dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,

c. Menerima keadaan fisik dan mampu menggunakannya secara efektif,

d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya,

e. Memilih dan mempersiapkan karier di masa depan sesuai dengan minat

dan kemampuannya,
f. Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga

dan memiliki anak,

g. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang

diperlukan sebagai warga negara,

3. Tugas Perkembangan Remaja

Yusuf, 2010 mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja

sebagai berikut:

a. Menerima keadaan fisiknya dan memanfaatkannya secara efektif.

b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau orang dewasa

lainnya.

c. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi.Memilih dan mempersiapkan

suatu pekerjaan.

d. Mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga.

e. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang perlu bagi

kompetensi sebagai warga negara.

C. Konsep Diri

1. Pengertian Diri

Konsep diri yaitu suatu cara pandang atau keyakinan yang membuat

seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya

dengan orang lain (Ibrahim dalam Nurhakim,2008). Konsep diri juga di

artikan sebagai semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, serta yang


diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam

berhubungan dengan orang lain (Yusuf,2015).

Hurlock (dalam Ghufron & Risnawita, 2016) mengatakan bahwa

konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang

merupakan gabusngan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional

aspiratif dan prestasi yang mereka capai. Konsep diri adalah semua

ide,pikiran,kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang

dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang

lain.(Stuart,2016) .

Agustiani (2009) berpendapat konsep diri merupakan gambaran yang

dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui

pengalamanpengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan.

Fitts (Agustiani, 2009) menambahkan konsep diri merupakan aspek penting

dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka

acuan (frame of refrence) dalam berinteraksi dengan lingkungan.

2. Komponen Konsep Diri

Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian konsep diri tersebut

dikemukakan oleh Stuart & Sudeen (1998), yang terdiri dari:

a. Identitas diri

Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat

diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya,

menyadari individu bahwa dirinya berbeda dari orang lain. Individu


dengan rasa identitas yang kuat merasa menyatu dan tidak menyebar,

artinya individu yang memiliki perasaan identitas yang kuat akan

memandang dirinya berbeda dengan orang lain, dan tidak ada

duaanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek pada

diri sendiri), kemampuan dan penguasaan diri. Identitas berkembang

sejak usia kanak-kanak berasamaan dengan perkembangan konsep

diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri,

respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri dan

menerima diri. Ciri individu dengan identitas diri yang positif :

1) Mengenal diri sebagai organisme yang utuh terpisah

dari orang lain

2) Mengakui jenis kelamin sendiri.

3) Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai

suatu keselarasan.

4) Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian

masyarakat.

5) Menyadari hubungan masa lalu , sekarang dan yang

akan dating.

6) Mempunyai tujuan yang bernilai yang dapat dicapai/

direalisasikan (Suliswati dkk,2005).


b. Citra Tubuh

Citra tubuh adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya baik

disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang

mengenai ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dann potensi tubuh.

Citra tubuh sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring

dengan presepsi dan pengalaman-pengalaman baru. Citra tubuh harus

realistis karena seseorang yang merasa lebih aman dan bebas dari

kecemasan akan lebih menyukai dan menerima tubuhnya sendiri.

Seseorang yang menerima tubuhnya apa adanya biasanya memiliki

harga diri tinggi dari pada individu yang tidak menyukai tubuhnya.

Cara seseorang memandang diri mempunyai dampak yang

penting pada aspek psikologisnya. Seseorang yang stabil, realistis dan

konsisten terhadap citra tubuhnya akan memperlihatkan kemampuan

mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses dalam

kehidupan (Suliswati dkk,2005).

Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat

menunjukan tanda dan gejala, seperti :

1) Syok Psikologis

Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap

dampak perubahan dan dapat terjadi pada saat pertama

tindakan. Syok psikologis di gunakan sebagai reaksi

terhadap ansietas. Informasi yan telah berlalu banyak dan


kenyataan perubahan tubuh membuat klien menggunakan

mekanisme pertahanan diri seperti mengingkari, menolak

dan proyeksi untuk mempertahankan keseimbangan diri.

2) Menarik diri

Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari

kenyataan, tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau

menghindar secara emosional. Klien menjadi pasif,

tergantung, tidak ada motivasi, dan keinginan untuk

berperan dalam perawatannya.

3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap setelah klien

sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka

muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi

dengan gambaran diri yang baru.

Tanda dan gejala dari gangguaan gambaran diri diatas adalah

proses adaptif, jika tampak gejala dan tanda-tanda berikut secara

menetap maka respon klien dianggap maladaptive sehingga

terjadi gangguan gambaran diri yaitu :

1) Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang

berubah.

2) Tidak dapat menerima perubahan sruktur dan fungsi tubuh.

3) Mengurangi kontak social sehingga terjadi menarik diri

4) Perasaan atau pandangan negative terhadap tubuh.


5) Preokupasi dengan bagian tunuh atau fungsi tubuh yang

hilang.

6) Mengungkapkan keputusan.

7) Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh.

(sabiah,2003).

c. Ideal diri

Ideal diri adalah peresepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya

bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar pribadi dapat

berhubungan dengan tipe orang yang di inginkan atau disukainya atau

sejumlah aspirasi, tujuan, nilai yang ingin diraih. Ideal diri akan

mewujudkan cita-cita atau pengharapan diri berdasarkan norma-

norma social di masyarakat tempat individu tersebut melahirkan

penyesuaian diri. Pembentukan ideal diri dimulai pada masa kanak-

kanak dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang

memberikan harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan

berjalannya waktu seseorang menginternalisasikan harapan tersebut

dan akan membentuk dasar dari ideal diri. Pada usia remaja, ideal diri

akan terbentuk memlalui proses identifikasi pada orangtua, guru dan

teman. Pada usia yang lebih tua akan dilakukan penyesuaian yang

merefleksikan berkurangnya kekuatan sisik dan perubahan peran dan

tanggung jawab. Seseorang cenderung menetapkan tujuan yang

sesuai dengan kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan


dan rasa cemas. Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung

respek terhadap diri, tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut,

samar-samar atau kabu. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal

dan membantu individu mempertahanka kemampuannyamenghadapi

konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting untuk

mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental .

Faktor-faktor yang mempengaruhi ideal diri :

1) Menetapkan ideal diri sebatas kemampuan.

2) Faktor kultur dibandingkan dengan standar orang lain.

3) Hasrat melebihi orang lain

4) Hasrat untuk berhasil

5) Hasrat untuk memenuhi kebutuhan realistis menghindari

kegagalan.

6) Adanya perasaan cemas dan rendah diri. (Suliswati dkk, 2005)

d. Peran Diri

Peran diri adalah serangkaian pola sikap prilaku, nilai dan tujuan yang

diharapkan oleh masyarakat di hubungkan dengan fungsi individu

didalam kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk

berperan serta dalam kehidupan social dan merupakan cara untuk

menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti.

Setiap orang disibukan oleh beberapa peran yang berhubungan

dengan posisi pada tiap waktu sepanjang daur kehidupan. Harga diri
yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan

dan cocok dengan ideal diri (Suliswati dkk,2005).

Faktor faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu terhadap

peran :

1) Kejelasan perilaku dan peengetahuan yang sesuai dengan peran.

2) Tanggapan yang konsisten dari orang-orang yang berarti terhadap

peran nya.

3) Kecocokan dan keseimbangan antar peran yang diembannya.

4) Keselarasan norma budaya dan harapan individu terhadap

perilaku.

5) Pemisahaan situasi yang akan menciptakan penampilan peran

yang tidak sesuai .

e. Harga diri

Harga diri adalah penilain pribadi seseorang tentang harga diri,

berdasarkan seberapa baik perilaku sesuai dengan ideal diri. Harga

diri meningkat seiring usia dan paling terancam selama masa remaja,

ketika konsep diri sedang berubah dan banyak keputusan diri dibuat.

(Stuart & Sudeen, 1998). Harga diri berasal dari dua sumber yaitu

diri sendiri dan orang lain. Harga diri adalah fungsi pertama dari

dicintai dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain. Sehingga

mengartikan harga diri akan turun ketika cinta hilang dan ketika
seseorang gagal menerima pengakuan dari orang lain dan akan

menikan apabila cinta dan pengakuan kembali. (Stuart, 2016).

Karakteristik gangguan harga diri meliputi : tampak atau

tersembunyi, menyatakan kekurangan dirinya, mengekspresikan rasa

malu atau bersalah, menilai diri sebagai individu yang tidak memiliki

kesempatan, ragu-ragu untuk mencoba sesuatu/situasi yang baru,

mengingkari masalah yang nyata pada orang lain, melemparkana

tanggung jawab terhadap masalah, mencari alasan untuk kegagalan

diri, sangat sensitive terhadap kritikan, merasa hebat (Stuart,2007).

Perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah meliputi :

mengkritik diri sendiri atau orang lain, penurunan produktivitas

destruktif yang di arahkan pada orang lain, gangguan dalam

berhubungan, rasa diri penting yang berlebihan, perasaan tidak

mampu, mudah tersinggung atau marah yang berlebihan, perasaan

negative mengenai tubuhnya sendiri, pandangan hidup yang pesimis,

kecemasan (Stuart,2007).

3. Rentang Respons Konsep Diri

Konsep diri terdiri atas lima komponen yaitu perubahan dalam Citra

Tubuh, Ideal Diri, Harga Diri, Peran dan Identitas. Rentang individu terdapat

konsep diri berfluktuasi sepanjang rentang respons konsep diri yaitu adaptif

sampai maladaptif.
Rentang Respons Konsep Diri

Respon adaptif Respon maladaptif

Aktualisasi Konsep diri Harga diri Kerancuan Depersonal

Diri positif rendah identitas lisasi

Gambar : 2.1 Rentang respon konsep diri (Stuart, 2016)

a. Aktualisasi diri : pernyataan diri tentang konsep diri yang positif

dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat

diterima.

b. Konsep diri positif : apabila individu mempunyai pengalaman yang

positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal –hal positif

maupun yang negative dari dirinya.

c. Harga diri rendah : individu cenderung untuk menilai dirinya negative

dan merasa lebih rendah dari orang lain.

d. Identitas kacau : kegagalan individu mengintegrasikan aspek – aspek

identitas masa kanak – kanak ke dalam kematangan aspek psikososial

kepribadian pada masa dewasa yang harmonis.

e. Depersonalisasi: perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri

sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak

dapat membedakan dirinya dengan orang lain.


4. Faktor Resiko Gangguan Konsep Diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep Diri adalah (Tarwoto &

Wartonah, 2003) :

a. Tingkat perkembangan dan kematangan

Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa

pertumbuhan seseorang manusia dari kecil hingga dewasa.

Pengalaman, pola asuh serta perlakuan orang tua serta lingkunganya

turut memberikan pengaruh terhadap pembentukan Konsep diri.

Sikap atau respon dari orang tua dan lingkunganya akan menjadi

bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.

b. Budaya

Pada usia anak-anak nilai akan diadopsi dari orang tua,

kelompok dan lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan

membawa anak lebih dekat pada lingkungannya.

c. Sumber eksternal dan internal

Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh

terhadap Konsep Diri. Pada sumber internal misalnya, orang yang

humoris koping individunya lebih efektif. Sumber eksternal

misalnya adanya dukungan dari masyarakat, dan ekonomi yang

kuat.

d. Pengalaman sukses dan gagal


Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan

Konsep Diri, demikian pula sebaliknya.

e. Stresor

Stresor dalam kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru,

ujian dan ketakutan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan

menimbulkan Depresi, menarik diri, dan kecemasan.

f. Usia, dan trauma

Usia tua akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap

dirinya. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi

kepercayaan masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih

mudah percaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya.

Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya.

Makin tua umur seseorang rnakin konstruktif dalam menggunakan

koping terhadap masalah yang dihadapi. Pengalaman masa lalu yang

tidak menyenangkan akan merubah perilaku seseorang dalam

menghadapi lingkungan disekitarnya, seseorang akan cenderung

tertutup dan koping terhadap masalah tidak efektif dikarenakan

kurangnya komunikasi dengan orang lain.

g. Pendidikan

Faktor pendidikan seseorang sangat menentukan kecemasan,

klien dengan pendidikan tinggi akan lebih mampu mengatasinya dan


menggunakan koping yang efektif serta konstruktif dari pada

seseorang dengan pendidikan rendah. Pendidikan adalah salah satu

usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam

dan luar sekolah serta berlangsung seumur hidup.

h. Pekerjaan

Seseorang yang mempunyai pekerjaan yang penting dan

memerlukan aktifitas, maka akan merasa sangat terganggu apabila

kehilangan kegiatan pekerjaan, hal ini penyebab timbulnya

kecemasan dan akan mempengaruhi perannya di masyarakat.

i. Status perkawinan

Seseorang yang telah menikah akan lebih mempunyai rasa

percaya diri dan ketenangan dalam melakukan kegiatan, karena

mereka pernah mengalami menjadi bagian dari keluarga, maupun

sebagai anggota masyarakat, sehingga diharapkan dapat memahami

keberadaannya.

You might also like