Politik Luar Negeri Jerman
Politik Luar Negeri Jerman
dalam-negeri sedunia. Negara-negara, masyarakat dan kawasan perekonomian membentuk jaringan. Dengan berakhirnya konflik Timur-Barat, politik luar negeri Jerman memperoleh peluang baru, baik di Eropa maupun di seluruh dunia. Sejalan dengan perubahan yang terjadi di gelanggang politik dunia, tanggung jawab internasional Jerman meningkat. Jerman menerima tanggung jawab itu dan dengan bekerja sama dengan mitranya di seluruh dunia berupaya sungguh-sungguh demi penegakan demokrasi, hak asasi manusia dan dialog antarbudaya. Tujuan utama politik luar negeri Jerman ialah pelestarian perdamaian dan keamanan di dunia. Abad ke-20 membawa perombakan yang tiada tara. Bekas yang dalam ditinggalkan oleh tiga konflik global kedua perang dunia dan Perang Dingin dalam kehidupan negara-negara dan bangsa-bangsa. Hal itu khususnya berlaku untuk Jerman yang letaknya di jantung Eropa. Di satu pihak, karena Jerman sendiri bertanggung jawab atas peristiwa, seperti pecahnya kedua perang dunia. Di pihak lain, karena Jerman dipengaruhi dengan sangat kuat oleh dampak perkembangan yang berlangsung, seperti Perang Dingin dan awal keruntuhan tata dunia bipolar pada akhir tahun 1980-an. Pada saat hancurnya tata dunia pascaperang, orang Jerman menghadapi situasi yang sama sekali baru di bidang politik dalam dan luar negeri. Dalam hal ini bangsa Jerman mendapat keuntungan dari dinamika politik yang berakhir dengan peleburan Uni Sovyet pada tahun 1991. Sebab perkembangan tersebut membawa penyatuan kembali kedua negara parsial Jerman pada tahun 1990, dan dengan demikian juga kedaulatan sepenuhnya yang telah kehilangan sejak hampir setengah abad. Dengan memberi persetujuan terhadap persatuan Jerman, negara-negara bekas korban dan musuh tidak hanya menghargai proses penjernihan yang telah dilalui Jerman selama empat dasawarsa, mereka pun mengungkapkan harapan agar karya pembangunan dan integrasi rakyat Jerman dalam kurun waktu tersebut merupakan jembatan yang kokoh menuju masa depan. Berhasilnya reorientasi itu disebabkan juga oleh politik luar negeri Jerman yang telah berkembang dan dimantapkan sejak pendirian Republik Federal Jerman tahun 1949. Usaha mencari konsensus luas di bidang politik luar negeri sambil mempertahankan kontinuitas dalam pokok tertentu merupakan ciri menonjol dari budaya politik. Sejak masa jabatan Konrad
Adenauer, Kanselir Federal pertama (1949-1963), di antara pokok tersebut termasuk kemitraan trans-Atlantik dan integrasi Eropa, keinginan memelihara hubungan baik dengan negara tetangga, khususnya dengan Perancis, hal yang sudah diupayakan oleh politik luar negeri Jerman sejak awal dasawarsa lima puluhan begitu juga proses rekonsiliasi dengan Israel yang sukar itu, proses yang sudah dimulai sejak dini. Hal-hal tersebut kedengaran sangat biasa, akan tetapi mengingat kebijakan politik Jerman dan perang yang dilancarkannya pada paruh pertama abad ke-20, lagi pula dengan adanya konstelasi beku dalam Perang Dingin, tantangannya memang besar. Menjelang akhir tahun 60-an, khususnya sejak jabatan kanselir dipegang oleh Willy Brandt (tahun 1969-1974), prinsip dasar politik luar negeri tersebut dilengkapi dan dikembangkan terus melalui politik peredaan ketegangan dengan Polandia dan dengan negaranegara lain di kawasan Eropa Timur dan bagian timur Eropa Tengah. Namun dasar politik luar negeri Jerman yang telah dikembangkan terus oleh semua pemerintah federal ialah integrasi Jerman ke dalam struktur kerja sama multilateral di segala bidang. Integrasi itu sejalan dengan sikap negara-negara tetangga; setelah pengalaman pahit dua kali perang dunia, mereka berkeinginan keras untuk mengintegrasikan dan mengontrol orang Jerman supaya tidak bertindak sepihak lagi. Aspek lain yang mendukung kebijakan integrasi itu ialah kemauan masyarakat Jerman sendiri yang mendambakan perdamaian, keamanan, kesejahteraan dan demokrasi, dan yang menyadari bahwa integrasi negaranya menjadi prasyarat bagi reunifikasi Jerman. Dasawarsa 1990-an mengawali masa penuh tantangan luar biasa bagi Jerman Bersatu. Di satu pihak perlu ditanggulangi situasi baru di dalam negeri. Pada waktu yang sama Jerman menghadapi peran baru yang belum biasa di bidang politik luar negeri. Itulah satu sisi perkembangan. Ada segi lain: Reunifikasi Jerman jelas berlawanan arah dengan kecenderungan umum di dunia yang berupa peleburan, keruntuhan atau juga penghancuran. Dengan berakhirnya eksistensi Uni Sovyet, Yugoslavia dan Cekoslovakia, begitu juga dengan pembongkaran negara Etiopia, Somalia dan Sudan yang untuk sebagian dilakukan dari dalam, untuk sebagian dari luar, untuk menyebutkan beberapa contoh saja jumlah pemeran aktif meningkat dengan tajam, walaupun tidak semua pemeran tersebut berupa negara yang diakui. Dampak lain, semakin sering terjadi situasi menghangatnya persoalan politik yang sangat rumit.
Oleh situasi seperti itu, kebijakan Jerman di bidang politik luar negeri, keamanan, perekonomian dan keuangan, tetapi juga di bidang kerja sama pembangunan dan lingkungan hidup dihadapkan dengan tantangan yang tiada taranya di masa lalu, karena situasinya ditimbulkan oleh konstelasi konflik yang berbeda-beda: Konflik etnis dan keagamaan, persoalan perbatasan dan sumber daya alam, keadaan darurat di bidang pangan dan higiene sering kali saling terkait sehingga membentuk kompleks yang tidak dapat dipecahkan dengan kekuatan sendiri. Pada a-khir dasawarsa pertama abad ke-21, di Afrika saja terdapat 16 juta pengungsi dan orang yang diusir di dalam negeri sendiri. Dalam penanggulangan problem seperti itu, orang Jerman diharapkan berperan aktif, sebab Jerman tidak hanya tergolong negara yang cukup berada, melainkan juga sejarahnya sebagai negara penjajah relatif singkat dibandingkan dengan beberapa negara Eropa lainnya. Lagi pula sejarah tersebut telah berakhir dalam Perang Dunia I. Dengan demikian Jerman merupakan mitra yang dicari dalam kerja sama ekonomi dan pembangunan. Dengan sumbangan sebesar 14 miliar dolar AS per tahun, Jerman merupakan donor terbesar kedua setelah Amerika Serikat dan sebelum Inggris, Perancis dan Jepang. Dari semula Republik Federal Jerman tergolong kekuatan pendorong integrasi Eropa, integrasi yang jelas merupakan kisah sukses di masa pascaperang. Apa yang dimulai pada tahun 1951 dengan pendirian Masyarakat Eropa untuk Batu Bara dan Baja yang dikenal sebagai Montanunion oleh enam negara, kini menjadi Uni Eropa (UE) dengan 27 negara anggota. Biarpun sejarah UE tidak lepas dari kemunduran, namun perjanjian-perjanjian yang ditandatangani antara tahun 1992 dan 2007 di Maastricht, Amsterdam, Nice dan terutama di Lisboa menggarisbawahi tekad negara anggota untuk menyesuaikan uni itu dengan perubahan cepat yang terjadi dalam kondisi politik di dunia, dan tampil juga sebagai kekuatan politik yang mandiri. Tak dapat diperkirakan di sini, bagaimana perekonomian nasional negara-negara Eropa sanggup mengatasi krisis ekonomi global tahun 2008/09, seandainya tidak ada mata uang Euro sebagai penentu kestabilan moneter. Yang jelas, harga yang pernah dibayar Jerman untuk pelepasan Deutsche Mark, mata uang paling kuat pada waktu itu, tidak terlalu tinggi.
Jalan panjang ke arah penandatanganan perjanjian Nice dan Lisboa turut dibuka oleh kanselir-kanselir Jerman. Usaha keras Gerhard Schrder dan Angela Merkel pun mempunyai andil dalam kenyataan bahwa negara-negara baru di Eropa Timur, dan khususnya Polandia
sebagai negara tetangga Jerman, terwakili secara wajar dalam organ-organ Uni Eropa. Usaha tersebut tetap penting dalam rangka politik luar negeri, mengingat di sebagian kawasan itu kerja sama Jerman-Rusia diamati dengan kekhawatiran besar yang beralasan historis. Dalam kenyataan, kemitraan strategis tersebut tidak bertujuan melawan siapa pun, melainkan jelas berorientasi pada kepentingan bersama Eropa. Hal itu berlaku juga untuk hubungan di bidang energi, yaitu inti kemitraan itu. Jerman yang miskin akan sumber energi membeli 41 persen kebutuhannya akan gas alam, 34 persen minyak bumi dan 21 persen batu bara dari Rusia dan berperan juga sebagai negara transit. Fakta bahwa kerja sama ekonomi dan pengadaan energi antara Jerman dan Uni Sovyet dilanjutkan dan dikembangkan pada masa Perang Dingin pun tanpa interupsi yang berarti menjadi pertanda bagi kesesuaiannya sebagai landasan kemitraan strategis. Mengingat kemitraan itu tidak bersifat satu arah, terbuka olehnya juga peluang perwujudan politik yang lebih luas untuk kedua belah pihak. Hal yang mirip berlaku juga untuk kemitraan di bidang energi yang masih muda dengan kawasan Asia Tengah. Dalam kondisi tata dunia lama, aksentuasi politik luar negeri Jerman dirasa tidak mungkin dilakukan dengan begitu mandiri. Sebab, pada waktu itu Jerman terlalu tergantung dari jaminan keamanan oleh Amerika Serikat. Keadaan itu berubah secara mendasar selama kedua dasawarsa terakhir. Baik Kanselir Schrder maupun Kanselir Merkel menekankan pada tahun 2002 dan 2009, dalam pidato di Bundestag, namun dengan dialamatkan kepada AS bahwa "tempat diambilnya keputusan yang menyangkut masalah eksistensial bangsa Jerman adalah Berlin".
Ucapan itu menggambarkan apa yang dianggap di Berlin sebagai sikap yang wajar dalam hubungan kemitraan. Tidak dimaksudkan dengannya penolakan terhadap hubungan transAtlantik pada umumnya dan NATO secara khusus. Begitu juga ucapan tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai pengumuman akan dilakukannya pengunduran diri dari keterlibatan internasional, termasuk secara militer. Namun perlu disadari bahwa Jerman hampir mencapai batas kesanggupannya di bidang ini. Oleh karena itu dalam perjanjian koalisi Pemerintah Federal dari CDU/CSU dan FDP yang bertugas sejak Oktober 2009 telah disepakati "budaya menahan diri" yang sejalan dengan garis kebijakan tradisional politik luar negeri dan keamanan Jerman. Perlu dicatat dalam hubungan ini bahwa pada setiap saat sejak pergantian abad di seluruh dunia
terdapat hingga 10.000 prajurit Bundeswehr yang bertugas, mulai tahun 1999 juga dalam aksi bersenjata melawan agresor, teroris dan pembajak. Jerman ikut serta juga dalam misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), baik secara bilateral/langsung, maupun dalam rangka UE dan NATO. Titik berat peran serta militer dan polisi terletak pada operasi NATO dan UE di bawah mandat PBB di kawasan Balkan (KFOR, EUFOR, ALTHEA, EULEX) dan di Afganistan dalam rangka misi ISAF yang sulit itu. Sebagai penyumbang dana terbesar ketiga untuk anggaran pemeliharaan perdamaian rutin PBB, Jerman pun mempunyai andil yang berarti dalam pembiayaan misi "pasukan helm biru". Dengan penuh keyakinan Jerman berusaha demi penanggulangan tantangan global, seperti perubahan iklim, berkurangnya sumber daya alam, dan pembersihan dunia dari senjata nuklir. Dicatat sebagai hasil baik bagi Jerman sebagai tuan rumah pada konferensi puncak ke-33 dari ketujuh negara industri terkemuka dan Rusia, bahwa mitra Amerika dapat digerakkan untuk "mempertimbangkan secara serius" pengurangan nyata dari emisi zat polutan, dan mengakui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai forum tindakan demi pelestarian iklim. Konferensi puncak di Heiligendamm tersebut juga patut dicatat karena jumlah peserta forum itu diperluas untuk sementara. Tanpa peranserta negara-negara seperti Afrika Selatan, Brazil, Cina, India dan Meksiko yang tumbuh dengan pesat, mengalami perkembangan industri yang cepat, yang haus akan sumber daya alam dan yang penting untuk pelestarian lingkungan hidup pula, perangkat pengendalian masa depan tidak dapat ditetapkan. Sejak dilangsungkannya pertemuan Pittsburgh (2009) sudah dapat dipastikan bahwa Kelompok Dua Puluh, yang kini mencakup pula Arab Saudi, Argentina, Australia, Indonesia, Korea Selatan dan Turki, merupakan forum yang menentukan di bidang politik perekonomian. Pada waktu bersamaan politik luar negeri Jerman mendukung pengembangan strukturstruktur masyarakat sipil. Kegiatannya mendukung penanggulangan musibah dan keadaan darurat, perwujudan demokrasi dan hak asasi manusia, dan mendukung dialog antara mitra sejajar. Jerman dapat memegang peranan ini berkat modal kepercayaan yang telah dikumpulkannya selama puluhan tahun dan yang telah dipeliharanya dengan teliti. Politik Jerman kini tidak diukur berdasarkan kemusnahan yang dihasilkan oleh Reich Ketiga, melainkan berdasarkan karyanya berupa pembangunan dan integrasi. Jerman yang bersatu kembali telah
menunjukkan kesanggupannya untuk menangani tanggung jawab internasional dan membuka perspektif untuk negara lain. Dua puluh tahun setelah tumbangnya tata dunia lama, semua negara dan bangsa di dunia mulai menyesuaikan diri dengan kondisi yang berlaku di dunia baru, dunia yang telah mengalami globalisasi. Biarpun ada persaingan, proses itu hanya akan berhasil kalau negara-negara itu saling menganggap sebagai mitra. Karena Jerman terpaut sangat erat dengan organisasi internasional, warganya menyadari peluang yang terkandung dalam kemitraan itu.
Jerman di Eropa Karena letaknya di pusat Uni Eropa (UE) dalam bentuknya seperti sekarang, Jerman mendapat keuntungan khusus dari hubungan yang damai dan baik dengan tetangganya. Kepentingan Jerman menghendaki Eropa yang vital termasuk di bidang ekonomi: Proses integrasi telah terbukti sebagai kondisi umum yang tepat untuk mempertahankan perdamaian, kesejahteraan dan keamanan. Dengan penandatanganan Perjanjian-Perjanjian Roma untuk pendirian Masyarakat Ekonomi Eropa pada tahun 1957 diawali kisah sukses integrasi Eropa. Yang menjadi pusat perhatian ialah pengembangan ekonomi di kawasan barat Eropa melalui pendalaman kerja sama antarnegara dan dukungan bagi perdagangan antara negara-negara pendiri. Tanpa mengurangi arti integrasi politik di Eropa, boleh dikatakan bahwa motif paling kuat bagi keinginan negara-negara lain untuk bergabung dengan UE adalah dinamika integrasi di bidang ekonomi dan daya tarik pasaran luasnya. Motif itu berlaku untuk masuknya Inggris, Denmark dan Irlandia pada dasawarsa 1970-an, Yunani, Spanyol dan Portugal pada dasawarsa 1980-an, dan juga untuk masuknya Austria, Swedia dan Finlandia pada dasawarsa 1990-an. Hal yang sama berlaku pula untuk daya magnetis UE dalam menarik negara-negara demokrasi baru di bagian timur Eropa Tengah dan di Eropa Tenggara yang berorientasi ekonomi pasaran. Sama halnya dengan RFJ yang dahulu masih muda, penggabungan dengan UE bagi negara-negara demokrasi muda di sebelah selatan dan timur Eropa berarti pula pengukuhan dan penghargaan atas keberhasilan politik mereka dalam menanggulangi diktatur dan kelaliman. Fase perundingan intensif berakhir dengan mulai berlakunya Perjanjian Lisboa pada bulan Desember 2009. Dalam semua tahap proses itu, kebijakan Eropa yang dilancarkan oleh
Jerman memegang peranan penting: Konsep Uni Eropa turut diprakarsai oleh Jerman. Konsep itulah yang bertujuan menciptakan juga uni politik yang lebih mendalam dan yang sanggup bertindak, di samping uni ekonomi dan moneter. Sokoguru pertama ditegakkan dalam Perjanjian Maastricht yang merupakan rancangan politik besar. Walau begitu, uni politik masih berupa visi ketika itu. Kemudian semakin menjadi nyata, bahwa uni politik itu perlu dikembangkan dalam beberapa tahap dan langkah, sambil meletakkan dasar yang lain. Maka dalam perundingan mengenai perjanjian dari Amsterdam dan Nice serta dalam musyawarah konstitusi, Jerman mendukung penyesuaian dan pengembangan struktur institusional secara bertahap, penjernihan kewenangan dan, sejalan dengan itu, perluasan kualitas demokratis dari keputusan UE. Pada waktu yang sama upaya dan inisiatif pihak Jerman dititikberatkan pada perwujudan politik luar negeri dan politik keamanan dan pertahanan dalam rangka perjanjian-perjanjian UE, begitu juga pada pengeratan kerja sama di bidang kehakiman, politik dalam negeri dan keamanan domestik secara bertahap. Dalam kedua ranah tersebut dapat dicapai kemajuan nyata, biarpun tidak diterapkan metode integrasi klasik, yaitu penyerahan ke dalam kewenangan Uni atau "solusi besar". Dilihat dari sudut pandang Jerman mengenai politik Eropa, Perjanjian Lisboa merangkumkan apa yang bakal terlaksana secara pragmatis dalam UE yang kini mencakup 27 negara anggota. Dibandingkan dengan semua tahap penyatuan Eropa sebelumnya, ke-27 anggota tersebut jauh lebih berbeda dalam keadaan ekonomi dan politik masing-masing, lebih bervariasi dalam kepentingan dan kebutuhannya, dan lebih terbuka dalam pandangan mengenai masa depan integrasi Eropa. Setelah tersendatnya proses integrasi pada tahun 2007, dasar baru bagi konsensus ke arah pembaruan perjanjian dapat diletakkan pada waktu Jerman memegang kepresidenan UE. Hasilnya mencerminkan sejumlah hal yang dianggap penting oleh Jerman: Peluasan dari aturan keputusan mayoritas berkualifikasi dalam Dewan Eropa dan dari hak ikut menentukan Parlemen Eropa, pemuatan piagam hak asasi manusia dan introduksi lembaga referendum merupakan langkah penting ke arah pengukuhan kesanggupan UE untuk mengambil keputusan serta penjaminan partisipasi warga secara demokratis. Dengan adanya "Wakil Tinggi untuk Politik Luar Negeri dan Keamanan" yang mengetuai Dewan Menteri Luar Negeri, dengan pendirian "Dinas Diplomatik Eropa", dan dengan penggabungan tugas politik luar negeri dari Komisi
Eropa dan dari Dewan UE yang berhubungan dengannya, Perjanjian Lisboa memperkuat kehadiran dan peranan UE di dunia internasional secara nyata. Dalam kebijakan politiknya yang menyangkut Eropa, Jerman selalu mendukung sepenuhnya pendalaman integrasi, perluasan UE ke utara, selatan dan timur, dan pengembangan institusi UE. Kekuatan politik Jerman di satu pihak terletak dalam pengarahan hubungan JermanPerancis kepada UE, dan di pihak lain dalam hubungan erat dengan negara-negara anggota yang lebih kecil. Rakyat Jerman menginginkan Eropa yang mampu bertindak, namun juga bertatanan demokratis dan transparan, dengan Parlemen Eropa yang diperkuat dan pembagian kewenangan yang tegas. Patut dicatat bahwa sesuai dengan produk domestik brutonya, Jerman membiayai sekitar 20 persen dari anggaran belanja UE. Dunia yang telah mengalami globalisasi akan tetap menantang Eropa. Di sisi luarnya, UE berbatasan dengan kawasan yang kurang stabil. Semua koalisi dan konstelasi yang ada akan berubah. Keseimbangan baru antara kepentingan dan hak memerlukan kemampuan untuk menghasilkan kompromi. Keadaan itu memerlukan sikap penuh kepercayaan dalam menjalankan politik pembangunan dalam semangat kemitraan, termasuk dalam hubungan dengan negaranegara yang letaknya di tepi Laut Tengah. Sudah sejak lama pendapat umum di Jerman selalu mendukung anggapan bahwa masalah politik luar negeri dan keamanan lebih baik ditangani bersama dengan negara-negara lain. Hal itu berlaku juga untuk agenda kelestarian global yang tuntutannya tinggi. Tindakan bersama dalam rangka Kebijakan Eropa Perihal Energi dan Iklim atau dalam reaksi terhadap krisis keuangan merupakan prasyarat bagi penjagaan kepentingan dan keinginan baik Jerman maupun negara-negara angota lain. Eropa yang bersatu bukan tempatnya hal-hal kecil. Kesejahteraan dan keamanan, yaitu hasil kegiatan negara yang bersifat klasik dan mendasar, kini tidak lagi dapat diciptakan tanpa adanya UE. Maka politik integrasi, termasuk tata cara dan institusinya, merupakan inti kehidupan politik di Eropa, bukan hiasan belaka. Setiap masalah penting yang menjadi bahasan masyarakat di Benua Eropa sekaligus memuat pertanyaan mengenai peranserta UE dalam pemecahannya, sebab hampir selalu ada hubungan dengan warga Eropa lainnya.