Contoh Kasus Perlindungan Konsumen

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN

INDOMIE DI TAIWAN

Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung
bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung
dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat
tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat
(08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari
peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak
memasarkan produk dari Indomie.

Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil
Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka
Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan
meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang
mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk
Indomie.

A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di
dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan
pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini
umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.

Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia
dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin,
yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang
ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.

Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali
daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah
dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.

Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,


produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan
kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec.
Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan
karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.

Analisis kasus berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen

Kasus penarikan indomie di Taiwan dikarena pihak Taiwan menuding mie dari produsen
indomie mengandung bahan pengawet yang tidak aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl P-
Hydroxybenzoate pada produk indomie jenis bumbu Indomie goreng dan saus barberque.
Hal ini disanggah oleh Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang berdasarkan rilis
resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan
yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro
Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.

Permasalahan diatas bila ditilik dengan pandangan dalam hokum perlindungan maka akan
menyangkutkan beberapa pasal yang secara tidak langsung mencerminkan posisi konsumen dan
produsen barang serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh produsen.
Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang
berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:

 Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Pasal 4 (c) UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

 Pasal 7 ( b dan d )UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Perlu ditilik dalam kasus diatas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan produsen
indomie dengan pemerintahan Taiwan yang masing-masing berbeda ketentuan batas aman dan
tidak aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalm hal ini Indonesia memakai standart BPOM
dan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara internasional.

Namun hal itu menjadi polemic karena Taiwan menggunakan standar yang berbeda yang
melarang zat mengandung Methyl P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan. Hal ini yang
dijadikan pokok masalah penarikan Indomie. Oleh karena itu akan dilakukan penyelidikan dan
investigasi yang lebih lanjut.

Untuk menyikapi hal tersebut PT Indofood Sukses Makmur mencantumkan segala bahan dan
juga campuran yang dugunakan dalam bumbu produk indomie tersebut sehingga masyarakat
atau konsumen di Taiwan tidak rancu dengan berita yang dimuat di beberapa pers di Taiwan.

Berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan,
produk mie instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen
Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak
berbahaya.

Direktur Indofood Franciscus Welirang bahkan menegaskan, isu negatif yang menimpa Indomie
menunjukkan produk tersebut dipandang baik oleh masyarakat internasional, sehingga sangat
potensial untuk ekspor. Menurutnya, dari kasus ini terlihat bahwa secara tidak langsung
konsumen di Taiwan lebih memilih Indomie ketimbang produk mie instan lain. Ini bagus sekali.
Berarti kan (Indomie) laku sekali di Taiwan, hingga banyak importir yang distribusi.

Sumber:

http://perlindungankons.blogspot.com/2013/06/contoh-kasus.html
http://karsantireno.blogspot.com/2014/06/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html

http://farrelfebrinal.blogspot.com/2014/06/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html
Aqua Didenda 13 M, Dinyatakan KPPU
Melakukan Praktik Monopoli
Selasa, 19 Desember 2017 17:43 WIB

Pekerja memindahkan Galon air mineral di distributor


Aqua Kalibata, Jakarta. TEMPO/Dinul Mubarok

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan


produsen Aqua, PT Tirta Investama, dan distributornya, PT Balina Agung Perkasa, bersalah
dalam kasus praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Aqua dihukum dengan Rp 13 miliar
dan Balina dihukum Rp 6 miliar.

Putusan itu diambil Majeslis KPPU dalam sidang di Jakarta, Selasa, 19 Desember 2017. Kedua
perusahaan dinyatakan terbukti melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b
Undang-Undang No. 5 tahun 1999.

Majelis komisi dalam pertimbangannya, menyatakan terlapor I (Tirta Investama) dan II


(Balina Agung) memenuhi seluruh unsur pelanggaran Undang-Undang No. 5 / 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.

Ketua Majelis Komisi Kurnia Sya'ranie mengatakan PT Tirta Investama dan PT Balina Agung
Perkasa terbukti menghalangi pelaku usaha lain untuk menjual produknya.

Dengan terhalangnya akses distribusi produk, majelis komisi juga menilai adanya keterbatasan
akses konsumen untuk memilih produk air minum dalam kemasan.

"Berdasarkan fakta-fakta yang ada, terlapor I dan II terbukti secara sah melakukan pelanggaran
Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b," tuturnya dalam amar putusan.

Atas putusan tersebut, Komisi juga menjatuhkan denda administrasi kepada kedua terlapor.

Untuk PT Tirta Investama diwajibkan membayar denda Rp13,84 miliar, sementara PT


Balina Agung membayar Rp6,29 miliar kepada kas negara.

Perkara ini berawal dari larangan oleh karyawan distributor Aqua, PT Balina Agung kepada
para pedagang ritel menjual produk merek Le Minerale besutan PT Tirta Fresindo Jaya.

Salah satu klasul perjanjian ritel menyebutkan, apabila pedagang menjual produk Le Minerale
maka statusnya akan diturunkan dari star outlet (SO) menjadi whole seller (eceran).

PT Tirta Fresindo, anak usaha Mayora Grup, melayangkan somasi terbuka terhadap PT Tirta
Investama di surat kabar pada 1 Oktober 2017. Somasi ini selanjutnya ditanggapi oleh otoritas
persaingan usaha.

KPPU menilai ada praktik persaingan usaha tidak sehat dalam industri air minum dalam
kemasan yang diduga dilakukan Aqua, sehingga digelar sidang.

BISNIS.COM

Anda mungkin juga menyukai