0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
253 tayangan2 halaman

Harapan Seorang Ibu

Cerpen ini menceritakan tentang seorang gadis remaja bernama Zahra yang hidup dalam kemiskinan bersama ibunya setelah ayahnya meninggal. Zahra membantu ibunya menjual kue untuk mendapatkan uang. Suatu hari, ibunya jatuh sakit dan meninggal, meninggalkan Zahra sebatang kara. Namun Zahra tetap berusaha dengan bekerja keras dan belajar agar bisa meraih cita-citanya seperti yang
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
253 tayangan2 halaman

Harapan Seorang Ibu

Cerpen ini menceritakan tentang seorang gadis remaja bernama Zahra yang hidup dalam kemiskinan bersama ibunya setelah ayahnya meninggal. Zahra membantu ibunya menjual kue untuk mendapatkan uang. Suatu hari, ibunya jatuh sakit dan meninggal, meninggalkan Zahra sebatang kara. Namun Zahra tetap berusaha dengan bekerja keras dan belajar agar bisa meraih cita-citanya seperti yang
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 2

Harapan Seorang Ibu

Cerpen Karangan: Lutfatul Kafifah


Kategori: Cerpen Inspiratif, Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 29 August 2017
Duduk manis di beranda rumah, kegiatan yang selalu dilakukan saat libur sekolah, menikmati udara
pagi yang sejuk di rumah reot peninggalan almarhum ayahku.
Aku remaja miskin 16 tahun yang tak banyak berharap tentang harapan, cita-cita bahkan
kesuksesan. Tapi itu hak semua orang untuk meraihnya, walaupun terdengar mustahil jika terjadi
kepadaku.
Apa yang harus kulakukan nanti ketika aku beranjak dewasa? Apa aku terus dengan keadaan seperti
ini?
“Zahra… masuk nak, kita sarapan dulu” suara ibuku yang sontak membuyarkan lamunanku.
“Dan setelah sarapan tolong belikan bahan-bahan untuk membuat kue ya nak, ibu tidak enak badan”
“Baik bu,” singkatku.
Sang surya mulai menuju ke persinggahannya. Dan ini waktunya untuk menjajakan kue buatan
ibuku.
“Kue, kue, kue… silahkan pak, bu dibeli kuenya.” itulah senjata yang selalu kugunakan untuk menarik
pembeli. Aku menjajakan kue ini dengan berkeliling kampung. Mungkin dengan cara menjemput
bola jajanan ini akan cepat habis terjual.

“dek, beli kuenya, harganya berapa satu biji?”


“cuma seribu rupiah bu”
“ya ini ibu beli lima ya dek”
“terimakasih ya bu…”
Senja sudah menampakkan sinarnya, dua jam berkeliling tapi jajanan ini belum habis terjual. Tapi
Alhamdulillah sudah ada beberapa uang yang kudapat untuk keperluan esok hari.
“Assalamu’alaikum, bu?”
“W’alaikumsalam, eh sudah pulang. Sini duduk dulu, ibu ambilkan air minum ya”
“tidak usah bu, Zahra bisa ambil sendiri, ibu kan masih sakit, jadi lebih baik ibu istirahat”
Kurebahkan tubuh ini di atas kasur tipis, walaupun tak seempuk dulu tapi setidaknya masih bisa
menopang tubuh yang letih ini.
Hari berganti, seperti hari-hari sebelumnya, aku melakukan aktivitas layaknya anak-anak yang lain.
Aku segera bersiap-siap pergi ke sekolah.
“Braaaakkkkk!!!”
Suara cukup keras yang kudengar disela aku sedang mengenakan jilbabku, aku langsung lari menuju
kamar ibu lantaran sudah dua bulan terakhir sakit parah.
“Astaghfirullah, ibu kenapa?” Kepanikanku menjadi lantaran kudapati ibuku sudah tergeletak di atas
lantai. Tanpa pikir panjang langsung kubantu ibuku untuk berbaring di atas tempat tidur.
“Terimakasih nak, tapi ibu tidak apa-apa. Ibu Cuma pengin ke kamar kecil, tapi tiba-tiba kepala ibu
terasa pusing, berat dan ibu terjatuh”
“Kalau ada apa-apa ibu bisa panggil aku, nanti biar kubantu bu”
“Ibu tak mau merepotkan kamu nak, Ya sudah sana berangkat ke sekolah.”
“tapi bagaimana dengan ibu kalau aku tinggal sendirian di rumah?”
“Insya Allah ibu bisa jaga diri, dan perlu kamu ingat. Kita boleh miskin harta, tapi kita tidak boleh
miskin ilmu dan agama”
“Iya bu, Zahra akan selalu ingat nasihat ibu, Zahra berangkat dulu ya bu, Assalamu’alaikum.. ”
“Wa’alaikumsalam…”
Tet, tet, tet… bel istirahat kedua berbunyi, itu tanda berakhirnya jam pelajaran di kelas. Waktu untuk
sekedar menyegarkan pikiran yang telah bergelut selama dua jam dengan materi.
Allahu Akbar Allahu Akbar…
Suara adzan dzuhur berkumandang, aku langsung menuju mushola sekolah untuk menunaikan
kewajibanku.
Assalamu’alaikum warahmatullah,
Assalamu’alaikum warahmatullah,
Shalat selesai, entah mengapa air mata ini keluar dari persembunyiannya, dengan tangan
menengadah ke atas aku berdoa. Berdoa untuk kesembuhan ibuku.
“Ya Allah, ampunilah dosa ibu hamba, angkatlah penyakitnya, panjangkanlah umur ibu hamba,
berilah kesehatan pada ibu hamba supaya bisa beraktivitas seperti semula. Hamba sangat
menyayangi beliau Ya Allah, Aamiin Aamiin Ya Rabbal alamin…”
Jam sekolah usai, dan ketika aku memasuki gang kecil menuju rumahku, terlihat bapak tua berlari
sambil memanggil-manggil namaku dan menghampiriku. Pikiranku kacau, aku berpikir yang tidak-
tidak mengenai ibuku. Dan ternyata benar.
Innalillahi wainnailaihi rojiun..
Pak RT memberikan kabar itu kepadaku. Aku langsung berlari menuju rumah. Air mataku mengalir
semakin deras, aliran nafasku tak teratur, badanku gematar, entah aku sekarang harus bagaimana.
Ya Allah, kenapa engkau mengambil lagi bagian dari keluargaku setelah engkau mengambil ayahku
dulu. Aku belum membahagiakan ibuku ya Allah. Aku semakin menjadi setelah melihat ibuku yang
pucat dan dingin itu.
“Sabar nak, semua pasti akan mengalami kematian, dan tidak ada yang mampu menandingi kuasa-
Nya” tutur pak RT sambil mengelus pundakku
Aku pun tersadar, kugenggam tangan ibuku yang dingin. Bu, aku berjanji akan terus belajar, berdoa
dan berusaha. Aku akan selalu ingat pesan ibu.
Aku duduk termenung di sebuah kursi, mengingat kejadian lima belas tahun yang lalu saat ibuku
meninggal, dan air mata ini pun kembali turun membasahi pipi.
“Permisi bu, sepuluh menit lagi ibu ada jadwal operasi pada pasien kamar nomer 13”
“Iya sebentar lagi saya ke ruang operasi suster, terimakasih sudah mengingatkan”
“Iya, sama-sama dok”
Aku bangkit dari kursi dan…
“Ibu, Bapak semoga kalian senang dengan apa yang aku lakukan sekarang”
Cerpen Karangan: Lutfatul Kafifah
Facebook: Lutfatul Kafifah
Assalamu’alaikum wr.wb
Semoga senang dengan karya pertamaku ini.
Ditunggu kritik dan sarannya
Cerpen Harapan Seorang Ibu merupakan cerita pendek karangan Lutfatul Kafifah, kamu dapat
mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

Anda mungkin juga menyukai