Trend MSDM Di SM Entertainment
Trend MSDM Di SM Entertainment
SDM Internasional
Dosen Pengampu:
Oleh:
2019/1440
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga tugas mata kuliah SDM Internasional ini dapat terselesaikan. Shalawat
serta salam tak lupa tercurahkan kepada nabi besar kita baginda Rasulullah saw yang
telah menuntun kita dari zaman jahiliyah hingga saat ini.
Kami sadari penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, tetapi kami
harapkan penulisan makalah dengan judul “TREND MSDM DI SM ENTERTAINMENT”
ini dapat berguna bagi kami dan teman-teman sekalian. Amin.
A. Latar Belakang
Pada akhir-akhir tahun ini, trend music dan hiburan sangat mempengaruhi
pola kehidupan masyarakat dunia. Kita sebagai masyarakat hanya bisa mengikuti
perkembangan trend yang ada jika kita tidak mau gagal atau ketinggalan zaman
dalam membangun perusahaan di era yang sangat kompetitif seperti sekarang. SM
Entertainment merupakan perusahaan di bidang industri musik dan hiburan
terkenal di Korea. Struktur dan strategi yang telah ditetapkan paten oleh Lee Soo
Man merupakan salah satu kunci keberhasilan perusahaan untuk berada di puncak
pasar musik dan hiburan serta menggaet lebih banyak keuntungan. Dari sebuah
perusahaan yang sukse pasti memiliki struktur dan manajemen strategi yang baik.
Era per- kpop- an dimulai pada tahun 1990 yang ditandai dengan debutnya
“Seotaiji cs”. Yang membawa hadirin kepada dunia per- musik-an. Peran dari para
idol star bukan hanya dalam bidang menyanyi saja melainkan juga andil dalam
memerankan Kdrama dan film, tampil dalam acara musikal, variety shows dan
sebagainya. Ada banyak sekali agensi-agensi atau perusahaan hiburan 3 besar nya
adalah SM Entertainment, YG Entertainment dan JYP Entertainment.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana SDM dan rekruitmen di Korea Selatan?
2. Bagaimana tingkat kesulitan menjadi idol Kpop?
3. Apa penyebab tingginya tingkat kematian akibat bunuh diri di Korea
selatan?
C. Tujuan
1. Mengetahui keadaan SDM dan juga proses rekruitmen di Korea Selatan.
2. Mengetahui tingkat kesulitan dan tantangan yang dihadapi oleh idol kpop.
3. Mengetahui penyebab tingginya tingkat kematian di Korea Selatan agar
dapat menghindari sebab-sebab tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Korea Selatan, ekonomi terbesar ketiga di Asia, menjadi salah satu informasi
penting bagi negara berkembang lainnya. Permintaan akan keterampilan dari para
tenaga kerja yang tinggi, digabungkan dengan penurunan pertumbuhan populasi di
Korea, membuat manager dengan terpaksa menerima karyawan hasil pensiunan
untuk memenuhi kekosongan posisi yang ada. Untuk dapat membujuk para karyawan
pensiunan yang sudah berumur untuk tetap bekerja di perusahaan, mereka
menyediakan pelatihan dan pembelajaran yang dibutuhkan oleh para karyawan.
Disamping itu, perusahaan juga mengusahakan untuk para pekerja untuk dapat
meningkatkan skill yang dimiliki secara professional untuk kekekalan pembelajaran.
Walaupun gaji yang diterima oleh pekerja lokal lebih rendah daripada gaji yang
diterima oleh mitra dari Amerika, pekerja WNA di Korea selatan. Namun akhir-akhir
ini mengalami peningkatan yang baik untuk para pekerja lokal.
Metode lain yang digunakan oleh perusahaan adalah partisipasi dari mahasiswa
di tiga universitas terbaik di negeri gingseng itu sendiri. Yang dilaksanakan satu tahu
dua kali. Adapun tiga kampus terbaik itu dikenal dengan sebutan “SKY”, untuk Seoul
National University, Korea University dan Yonsei University.
1. Slave contract
Di perusahaan-perusahaan hiburan negeri gingseng terdapat sebutan “slave
contract”. Slave contract didefinisikan sebagai kontrak yang terdaftar dengan
ketentuan dan kondisi yang dianggap tidak adil oleh para seniman. Karena kontrak ini
bekerja dengan memulai hutang ketika artis itu masuk ke sebuah agensi, yang akan
tumbuh seiring berjalannya waktu. Hutang yang dimaksud ini adalah semua biaya
yang dibayarkan oleh perusahaan untuk para calon artisnya seperti : sewa, makanan,
listrik, biaya pakaian, style rambut dan juga pembayaran staff. Ini berarti hutang para
calon artis (trainee) sangatlah besar. Dan setiap uang yang mereka hasilkan sebagai
idola digunakan untuk membayar kembali perusahaan mereka. Namun perusahaan
tidak perlu transpara tentang utang, yang dikenal sebagai BEP (break-even-point),
yang berarti bahwa sebagian besar idol tidak mengetahui cara mereka melunasi
hutangnya atau berapa banyak yang mereka hasilkan. Sebagai bagian dari projek
masa depan perusahaan, penjualan album baru dan periode promosi akan
dimasukkan ke dalamm BEP. Banyak idol Kpop yang mengalami atau merasakan
ketidak-adilan akan sistem perusahaan dengan “slave contract” sebagai bagian dari
perjanjian.
Training yang diadakan oleh perusahaan terdiri atas pelatihan vokal, dance,
dan bahasa. Mengingat akhir-akhir ini banyak sekali turis asing berdatangan ke Korea
untuk mendaftar menjadi trainee di agensi-agensi besar. Penyebaran korean wave
ini juga menghasilkan partisipasi yang lebih besar dari peserta pelatian internasional,
mereka tidak hanya harus belajar bahasa korea, namun juga harus menanggung efek
dari kesepian dan goncangan budaya. Mereka juga sering menghadapi dan
mengalami intimidasi rasis. Diskriminasi juga berlanjut pada tingkat perusahaan
mengetahui bahwa perusahaan lebih mengutamakan trainee atau artis lokal korea
daripada yang berasal dari luar korea.
3. Health and Body Care
Salah satu konsekuensi menjadi idol adalah siap untuk cedera. Tak heran
banyak dari idol yang mengalami cedera otot di leher, tangan hingga kaki. Hal ini
merupakan hal yang biasa dihadapi oleh idol. Namun, dari banyaknya jumlah
kecelakaan dan cedera yang terjadi menunjukkan bahwa sang idol terlalu
memaksakan diri. Banyaknya tuntutan yang diharuskan kepada trainee atau idol
membuat mereka memaksakan diri untuk tampil di atas panggung dengan peforma
yang bagus dan sempurna. Mengingat tuntutan pekerjaan, para idol haruslah
memisahkan emosi ketika berada di panggung, yang terkadang mengakibatkan stress
dan depresi ringan. Mengorbankan urusan pribadi demi tampilan dan performa yang
baik serta menggeser urusan pribadi merupakan tugas idol tersendiri, untuk
menghibur para fans. Maka tak ayal banyak sekali dari para artis-artis bintang atas
yang memutuskan untuk menggakhiri karir bahkan hidupnya dengan cara instan,
yaitu bunuh diri.
Body care juga sangat diutamakan dalam perusahaan industri musik dan
hiburn. Para idol diwajibkan mengontrol kesehatan, bahkan berat badan agar tetap
di angka yang ideal. Karena banyak dari perusahaan mementingkan daripada
tampilan idol, maka suatu keharusan bagi para idol adalah untuk menjaga kesehatan
dari tubuhnya. Karena dengan style dan tampilan yang menarik dapat menarik
banyak penggemar untuk terus mendukung idol mereka. Karena seorang idol tanpa
fans bukanlah apa-apa.
4. Privasi
Adapun kesulitan lain yang di hadapi oleh seorang idol adalah, gangguan dari
publik. Karena idol merupakan seseorang yang dikenal dikhalayak umum, maka sulit
sekali untuk menutupi privasi dari khalayak. Karena banyaknya fans yang mengetahui
keberadaan mereka. Salah satu gangguan privasi bisa didapatkan dari para fans yang
suka menguntik, ataupun sering memposting comment yang tidak layak di media
sosial, yang menyebabkan idol merasakan tekanan dan merasa dibenci oleh netizen.
Hal ini bisa menjadi alasan idol mengalami stress dan depresi hingga memilih untuk
menyudahi atau mengakhiri karir bahkan hhidupnya.
Selain menjadi populer di Korea, idol juga merupakan “image” dari kpop yang
telah menjadi fenomena di seluruh dunia. Selain menjadi image, idol juga secara
tidak langsung menjadi budaya dari Korea dan menjadi pusat perhatian dunia.
Pelatihan yang intensif dalam hal menyanyi dan menari tanpa adanya perhatian
yang memadai terhadap fisik apalagi mental kesehatan dapat menjadi salah satu
alasan pemicu stress dan depresi yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya. Selain itu tekanan dari berbagai pihak juga dapat memicu
datangnya pemikiran untuk bunuh diri di Korea, tak heran bahwa tingkat kematian
akibat bunuh diri di negeri gingseng ini lumayan tinggi.
Baru-baru ini pada bulan Desember 2017 lalu, idol star Kim Jonghyun
diberitakan bunuh diri di apartemen pribadi miliknya. Banyak yang menduga Kim
Jonghyun ini mengalami depresi yang lumayan berat tanpa ada seseorang yang
peduli dan tahu. Jonghyun merupakan salah satu member dari grupband SHINee
yang dinaungi oleh agensi besar SM Entertainment, pemimpin perusahaan hiburan
di Korea. Ia merupakan penulis lagu, soloist, dan juga idol yang sudah banyak
berpengalaman dalam hal permusikan juga mendapat banyak trophy penghargaan
atas karya-karyanya ini memutuskan bunuh diri pada18 Desember 2017. Padahal
selama hidupnya Kim Jonghyun tidak pernah memperlihatkan masalahnya kepda
publik. Yang berarti ia menderita stress tanpa diketahui oleh manajer bahkan sanak
keluarga sekalipun. Banyak spekulasi menurut para ahli yang terdengar
kepermukaan atas meninggalnya Kim Jonghyun, namun mereka masih belum
menemukan titik terang mengenai akibat dari kematian Kim Jonghyun sendiri.
Semenjak tahun 2003, tercatat Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri yang
tinggi antara Organization for Economic Co-operation and development (OECD)
nations, termasuk negara berkembang seperti German, Japan, the United Kingdom,
Haiti dan Qatar. Pada tahun 2016 menurut statistik di Korea terdapat 13.092 orang
melakukan bunuh diri dengan persentase 25,6% per 100.000 orang.
Studi lain mengatakan bahwa di Korea juga menunjukkan bukti bahwa banyak
orang yang menderita penyakit mental dan mengalami stimatisasi (Lauber and
Rossler, 2007). Tingkat stress yang tinggi ini dapat menyebabkan gangguan psikis
yang kemudian mengganggu kehidupan sehari-hari bagi penderita. Pengaruh
negatif dari perbuatan atau reaksi seseorang juga dapat membuat timbulnya
masalah pada psikis seseorang. Selain itu hubungan yang kurang baik di dalam
sebuah keluarga juga dapat menimbulkan kelainan atau penyakit psikis. Maka dari
itu, sebisa mungkin membangun hubungan yang harmonis di dalam sebuah
keluarga dan juga menjauhi segala pertengkaran yang dapat membuat orang lain
tersinggung.
Banyak sumber yang menyebutkan bahwa seorang idol sangat diatur bahkan
bisa dibilang dikekang oleh manajemen perusahaan masing-masing untuk
menciptakan image “collective moralism” (Kim dan Kim 2015). Agensi seperti SM
Entertainment mengontrol semua aspek kehidupan daripada idolnya. Maka bisa
dibilang idol hanya merupakan boneka dari perusahaan atau agensi-agensi di atas
untuk menghasilkan uang. Karena perusahaan mengambil alih hak dan wewenang
yang seharusnya idol itu bisa lakukan tanpa persetujuan dari pihak agensi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Karena banyak sekali kasus bunuh diri yang kerap kali terjadi, menurut penulis
hal ini disebakan oleh manajemen SDM yang kurang maksimal dalam menyingkapi
perihal pembullyan yang kerap terjadi. Pembullyan adalah hal kecil namun dapat
berakibat fatal karena dapat mengganggu kesehatan psikis seseorang. Manusia hidup
saling berdampingan maka sebisa mungkin kita menghormati perasaan dan pemikiran
orang lain.
Selain itu penulis juga menyarankan anak-anak remaja yang menunjukkan ciri-
ciri mengalami stress apalagi depresi untuk tes kesehatan mental kepada dokter atau
psikiater terpercaya yang dapat menangani dan menghindari potensi kenaikan tingkat
kasus bunuh diri. Kebanyakan kasus remaja adalaha enggan memeriksa kondisi psikis
dan mental karena efek malu terhadap teman-teman serta kerabatnya dirumah.
Maka saran dari penulis agar dapat menarik perhatian para remaja dengan
menghilangkan prinsip dan spekulasi itu dari benak anak-anak remaja saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Park, Juhyun, Nari Choi, Seogju Kim, Soohyun Kim, Hyonggin An Zhang,
Jie, Jiandan Tan, and David Lester. "Psychological Strains Found in the Suicides of 72
Celebrities." Journal of Affective Disorders 149 (2013): 230-34Heon-jeong Lee, and
Yujin Lee. "The Impact of Celebrity Suicide on Subsequent Suicide Rates in The
General Population of Korea from 1990 to 2010." Journal of Korean Medical Science
31, no. 4 (2016): 598-603.
Shim, Doobo. "The Cyber Bullying of Pop Star Tablo and South Korean
Society: Hegemonic Discourses on Educational Background and Military Service."
Acta Koreana 17, no. 1 (2014): 479-504.