0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
150 tayangan15 halaman

Cerpen - Da-WPS Office

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
150 tayangan15 halaman

Cerpen - Da-WPS Office

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 15

Sumber foto: Daria Głodowska dari Pixabay

Namaku adalah Riko Agung Pratama, kawanku di kampus sering sekali memanggilku Agung, entah apa
yang mereka pikirkan memanggilku dengan nama tengahku. Aku sedang kuliah di salah satu universitas
swasta di Depok, dengan jurusan Sistem Komputer.

Pada waktu itu, tepat hari Jumat, dimana aku akan menuju ke Lab Robotika untuk menguji alat yang
kubuat. Tapi, siapa sangka, sesampainya aku disana aku bertemu dengan dosen yang mengajarku pada
semester 6 lalu. Dia adalah Pak Lingga, mengajar mata kuliah Matematika Diskrit waktu itu.

Aku sangat menghormatinya karena dia adalah salah satu dosen senior di kampusku. Bagaimana tidak,
di usianya yang sudah menginjak 70 tahun dia tetap bugar dan semangat mengajar mahasiswanya.
Bahkan tidak jarang dialah orang pertama yang sudah datang di kelas.

Di lab tersebut, di sela aku membuat data pengamatan, mataku selalu tertuju ke arahnya. Pak Lingga
begitu serius dengan apa yang dia kerjakan di hadapannya. Sesekali aku mendekatinya, lalu melihat apa
yang dia kerjakan.

“Pak, sudah sore begini, apa yang bapak kerjakan di lab? Aku bertanya dengan wajah penasaran.

“Oh ini, bapak sedang riset alat yang bapak kembangkan untuk pentas robot nanti. Makanya bapak ke
sini mau minta ajararin ke pak Sultan” ujarnya

Pak Sultan sendiri adalah kepala lab robotika yang kini menjadi kepala jurusanku.

“Loh, bapak seharusnya tidak perlu repot-repot datang dan belajar di lab ini. Biar mahasiswa bapak saja
yang datang kesini” sambungku.

“Bukan begitu, ko. Bapak sendiri dari dulu ingin belajar mengenai system gerak pada robot ini, kebetulan
kan sekarang Pak Sultan ada disini” balasnya.
Kekagumanku kepadanya semakin menjadi-jadi, mengingat usianya yang sudah lanjut tapi keinginan
belajarnya masih saja tinggi. Berbeda denganku, di umurku yang masih muda kadang aku masih saja
berjibaku dengan rasa malas yang meradang. Benar kata orang tuaku, mencari ilmu itu sebenarnya
bukan sampai ke negeri China, tapi sampai ujung usia.

Gotong Royong Kos Idjo

Aku, teman-teman dan seluruh penghuni Kos Idjo sudah berkumpul di depan mushola, untuk
merumuskan konsep gotong royong besok sore. Mulai dari peralatan yang harus digunakan hingga
pembagian tugas tiap masing masing orang.

“Dikarenakan musim kemarau yang berkepanjangan di daerah kita, halaman Kosan Idjo beberapa pekan
ini penuh dengan sampah dedaunan kering hingga sampah ranting yang berjatuhan memenuhi halaman.
Untuk itu, besok sore ibu meminta kalian bergotong royong membersihkan semua sampah itu” Buka ibu
kos.

Setelah itu, ibu kos membagi kami menjadi beberapa kelompok, serta pembagian area mana saja yang
akan dibersihkan. Tidak lupa beliau mengingatkan kepada kita bahwa kegiatan ini semata-mata untuk
kenyamanan bersama.

Keesokan harinya selepas ba’da ashar, semua telah berkumpul di lokasi yang ditentukan. Pekerjaan pun
dimulai, sampah mulai dibersihkan dan diangkut ke pembuangan akhir. Aku berada satu regu dengan
kawanku yang bernama Putu. Kita membersihkan halaman depan gedung 1, tepat di depan kamarku
dan kamarnya.

“Put, lo haus ga? Gue mau beli minum nih di warung depan, mau nitip ga?” tanyaku pada putu.

“Engga deh, di kamar gue masih ada minuman dingin, ko.” Balas putu.

Bersih-bersih pun selesai, semua berkumpul lagi, kemudian ibu kos membuka percakapan kembali.
“Terima kasih saya ucapkan untuk semuanya yang sudah berpartisipasi pada gotong royong ini, tanpa
kalian semua, mungkin pekerjaan kita tidak akan selesai secepatnya ini..” ucap ibu kos.

Di sela rasa lelah yang menggerogoti badan, aku bergumam dalam hati.

“Ternyata, suatu pekerjaan yang dikerjakan bersama-sama, akan bisa menghemat waktu dan tenaga,
terlebih lagi pendidikan non formal seperti inilah yang penting untuk mendidik diri sendiri agar
senantiasa hidup bersosial dengan lingkungan sekitar.” Ujarku sambil tersenyum menghela napas.

Arti Kejujuran

Waktu itu, saat aku masih duduk di bangku SMP, aku mengerti tentang apa itu kejujuran. Pilihan untuk
berbohong dan jujur, hal itu yang aku hadapi saat aku menghadapi ujian sekolah. Saat ujian, teman
sekelasku banyak yang mencontek dengan berbagai cara. Ada yang membawa catatan kecil hingga
menyembunikan buku di bawah meja.

Baca juga: Contoh Teks Eksposisi

“ Zul, lo mau nyontek ga? Gue bawa contekan nih” bisik Fadil di sebelahku saat ujian berlangsung.

“Wih! Boleh juga” ucapku dengan mengambil kertas kecil darinya.

Pada saat itu, aku masih belum percaya buah dari sebuah kejujuran. Aku akan mencontek jika
menghadapi ujian matematika, fisika hingga kimia, karena aku kurang begitu suka dengan angka. Hingga
akhirnya pengumuman kenaikan kelas pun tiba, aku dan teman-temanku begitu tegang saaat menunggu
nilai rapot yang akan diberikan.

Setelah kuterima rapot dari wali kelas, lalu wali kelasku mengatakan bahwa aku naik kelas. Namun, saat
aku membuka rapot itu aku melihat nilai pelajaran matematika, fisika serta kimia mendapat nilai yang
kurang memuaskan bahkan kurang dari rata-rata.
Saat itu ku merenung, bernostalgia di saat aku ujian dan mencontek di salah satu mata pelajaran
tersebut, kemudian hasilnya mendapat nilai buruk. Sedangkan mata pelajaran yang lain yang aku
kerjakan dengan kemampuanku meraih hasil yang baik.

Lalu hal tersebut aku terapkan untuk menghadapi ujian di kelas berikutnya. Ketika ujian nanti, diriku
niatkan untuk berusaha jujur dalam mengerjakan soal yang diberikan, sesulit apapun. Kali ini materi
yang telah kupelajari dan yang diajarkan guruku di kelas semuanya keluar. Tanganku menuliskan
jawaban di LJK dengan tenang tanpa suatu keraguan. Hingga akhirnya pelaksanaan ujian pun selesai, kini
hanya tinggal menunggu hasilnya.

Hari pembagian rapot pun tiba. Aku kembali tegang dengan hasil yang akan aku dapat nanti. Kemudian
ibu wali kelas membacakan satu per satu para siswa yang meraih peringkat lima besar paralel hingga
tepat pembacaan siswa yang meraih peringkat pertama

“Siswa yang meraih peringkat pertama adalah…” ucap ibu wali kelas,

Semua siswa begitu tegang menunggu kelanjutan ucapan dari ibu wali kelas tersebut.

“Zulfikar Al Husein” ucapnya sambil mengarahkan matanya padaku.

Diiringi bahagia dan harus atas kerja kerasku belajar selama ini tidak sia-sia. Kemudian semua teman
memberi selamat padaku, lalu ibu wali kelas mengatakan padaku bahwa peraih peringkat pertama akan
mendapat beasiswa sekolah di SMA. Diriku begitu senang mendengarnya. Anggapanku tentang
kejujuran itu memang benar “kalau jujur itu membawa bahagia walau awalnya itu sulit”

Belajar dari yang Tak Pernah Diajar

Pagi itu aku yang sedang sarapan dengan tenang tiba-tiba tersendak karena melihat jam sudah pukul 7.
Aku menggoes sepeda. Sialnya gerbang sekolah sudah ditutup dan pak satpam dengan wajah kesal
berkata padaku di balik gerbang.
Lalu dibukakannya pintu gerbang itu, namun aku dan beberapa murid lain dihukum dengan berdiri di
lapangan basket sampai jam pertama selesai. Aku melirik pos satpam, sebuah tempat dimana laki-laki
itu setiap pagi datang dan bekerja sampai sore hari tiba.

Namanya adalah Pak Asep, tapi anak-anak sering memanggilnya “Mang Oray”, entah aku tak tau siapa
pencetus panggilan tersebut pada Pak Asep. Dia sangat popular di SMA Negeri 1 karena dekat dan
ramah dengan murid-murid, khususnya murid laki-laki.

Lama setelah itu aku juga semakin akrab dengan satpam tersebut, yang kawan-kawanku selalu
memanggilnya Mang Oray. Pernah suatu ketika dia menceritakan kepadaku dan kawan-kawanku
tentang dia sewaktu seusia kami.

“ Dulu, Mamang pernah sekolah seperti kalian. Tapi mamang tidak bisa melanjutkannya hingga selesai,
karena orang tua mamang tidak bisa membiayainya” imbuh dia dengan senyum menutupi.

“Kalian, harus memanfaatkan kesempatan kalian untuk mengais ilmu disini, makanya mamang suka
marah pada kalian yang suka terlambat masuk” sambungnya.

Dia kemudian melanjutkan ceritanya. Ternyata di rumahnya dia menyediakan perpustakaan mini untuk
para tetangganya yang ingin sekolah namun terkendala ekonomi keluarga. Aku pun sangat kagum
dengan perjuangan Pak Asep. Ditengah biaya hidup yang semakin susah, kulit kian keriput serta rambut
kian memutih, dia masih bisa membantu orang-orang di sekitarnya. Terimakasih, Pak.

Mahaguru

mahaguru

Sumber: S. Hermann & F. Richter dari Pixabay

Perkenalkan, namaku Adnan Husein. Aku tinggal di salah satu daerah di kota Bandung. Sekarang aku
sedang menempuh pendidikan Ilmu Komputer di Universitas favorit di kota Malang.

Aku adalah anak tunggal yang kini hanya memiliki orang tua tunggal, yaitu ibuku. Ayahku
meninggalkanku ke surga sewaktu aku masih duduk di bangku SMA. Aku sangat terpukul waktu itu,
untung aku memiliki ibu yang sangat hebat, dia selalu memberiku semangat untuk tidak terus-menerus
termenung.

“Nak, ibu tau kamu sangat kehilangan ayah. Tapi mungkin ayah disana ingin melihat anaknya bangkit
dan bisa meraih cita-citanya” kata ibu menemaniku di sudut kamar.

“Ibu pun sangat kehilangan ayah. Tapi ibu tidak mau membebani ayah disana karena ibu terus terhanyut
dalam kesedihan” sambungnya.

“Tapi a..a..aku tidak yakin bisa melangkah tanpa semangat dari ayah lagi sekarang, bu” jawabku dalam
pelukan ibu.

“Ibu yakin, bahkan ayah pun disana pasti yakin kamu bisa melewati semua ini” jawab ibu sambal
mengusap air mata ku yang mulai mengering.

Beberapa waktu berlalu, aku pun diterima di universitas favorit di Malang dengan mengambil jurusan
Ilmu Komputer. Ini berkat doa ibuku dan ayahku di alam sana.

Setelah semua itu, akupun berkemas untuk keberangkatanku ke kota Malang besok pagi. Namun, di sela
malam aku termenung memikirkan ibu. Awalnya aku ragu untuk mengambil kesempatan kuliah ini,
mengingat aku harus menggalkan ibuku sendiri di rumah. Saat malam, tiba-tiba, ada yang mengetuk
pintu kamar.

“Nak, sudah tidur? Ibu boleh masuk?” suara ibu dibalik pintu.

“iya, bu, masuk aja pintunya ga di kunci, kok” balasku

Lalu ibu masuk dan melihatku yang sedang memikirkan sesuatu. Ibu menghampiriku sambil
membawakan teh hangat untukku.
“Ibu buat kamu” ibu memberi sambil duduk di kasurku. Aku meminum teh hangat dari ibu.

“Kamu sedang memikirkan apa, nak” tanya ibu padaku.

“Aku tidak memikirkan apa-apa kok, bu” aku dengan pandangan kebawah.

“Ibu bisa melihatnya dari matamu, nak. Apa yang kamu pikirkan?” tanya ibu.

“Aku hanya sedang memikirkan jka aku pergi kuliah di Malang, berarti aku harus meninggalkan ibu disini
sendiri” jawabku dengan mata yang berkaca-kaca. “aku sejujurnya tidak ingin meniggalkan ibu sendiri
disini” sambungku dengan air mata yang mulai jatuh.

“Ya allah, Nak. Ibu tidak apa-apa disini, lagian disini kan ada mbak yang nemenin ibu. Jadi kamu tidak
perlu khawatirkan ibu disini, ya.” Balas ibu dengan memelukku.

Keesokan paginya akupun pamit pada ibu untuk berangkat melanjutkan pendidikanku di kota orang.
Dalam perjalanan aku bergumam dalam hati sambil melihat keluar dari jendela kereta.

“Ternyata benar, hal-hal yang ibu ajarkan padaku melalu nasihatnya mungkin tidak akan aku temukan di
bangku sekolah manapun. Terimakasih, Bu, aku berjanji akan membahagiakanmu selagi napasku masih
berhembus” gumamku dalam hati.

Manisnya Sebuah Hasil

Nabila adalah siswi teladan yang sudah memasuki semester akhir sekolah SMA, yang tandanya dia akan
menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Sedangkan Nadin adalah sahabatnya yang selalu
menemani Nabila saat belajar di perpustakaan, bukan untuk belajar, tapi dia lebih memilih
bercengkrama dengan ibu perpus.
Baca juga: Contoh Teks Eksplanasi

Ujian Nasional pun sudah berakhir. Nabila, Nadin dan beberapa kawannya berjalan melewati lorong
sekolah menuju kelasnya. Setelah tiba di kelas, anak-anak kelas XII IPA sudah berada di bangku masing-
masing, menunggu wali kelasnya membagikan amplop berisi surat kelulusan. Nabila dan Nadin saling
berpelukan dibangku mereka, saling mendoakan.

Namun Nabila mendapatkan 2 amplop secara bersamaan. Setelah semua siswa mendapatkan
amplopnya masing-masing, secara bersamaan siswa XII IPA membuka amplop tersebut. Kegugupan,
ketegangan dan kekhawatiran saat itu pecah. Seluruh siswa lulus, wali kelaspun ikut bahagia dengan
kelulusan semua siswa.

“Alhamdulillah..,aku lulus” ucap Nabila saat membuka amplop pertama.

“Iya aku juga lulus, Bil…” sahut Nadin.

Dengan wajah penasaran Nabila membuka kembali amplop yang kedua. Dengan tangan yang gemetar
dia membaca isi amplop tersebut. Ternyata isinya adalah surat keterimanya dia sebagai penerima
beasiswa kuliah di Turki.

Nadin yang tadinya hanya asik dengan bahagianya sendiri, turut ikut bahagia mengetahui bahwa
sahabatnya telah mendapatkan beasiswa kuliah ke Turki.

Nadin mengetahui kalau sahabatnya ini adalah orang yang sangat giat belajar. Setiap kali jam istirahat
pertama berbunyi, dia memilih untuk ke perpustakaan daripada ke kantin. Menurutnya ke kantin jam
istirahat ke dua pun bisa. Jadi dia lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk belajar di perpustakaan.

Ternyata benar, tidak ada usaha yang sia-sia di bumi ini, semuanya aka nada hasilnya, besar atau kecil.

Meminta Lebih Baik dari Mencuri


Hari ini, aku pulang kuliah lebih cepat dari biasanya, dikarenakan dosen mata kuliah di jam terakhir
berhalangan masuk. Aku pun bergegas pulang, sekitar pukul 15.00 akupun tiba di rumah. Namun, aku
melihat ibu seperti orang kebingungan yang sedang mencari sesuatu. Ternyata ia kehilangan uang
kembalian belanjaannya.

Aku pun membantunya namun hasilnya pun nihil. Ibu pun pasrah dan aku ke luar rumah kembali karena
lupa ada yang harus dibeli. Di jalan dekat warnet, aku bertemu dengan adeku.

“De, kamu main di sini emang ibu kasih uang ke kamu? Kan kamu lagi dihukum ga dikasih uang jajan hari
ini?” tanyaku dengan muka yakin kalo dia pasti mengambil uang ibu. “oh, kaka tau kamu ambil uang ibu
yang di atas meja, ya!?” sambungku.

“I..ii..iya kak, aku ambil uang ibu, tapi Cuma aku pakai 5 ribu doang kok, kak.” Jawab dia dengan
ketakutan.

“Ayo naik ke atas motor, nanti jelasin sama ibu..” ucapku sembari membawanya pulang.

Sesampainya di rumah, dia langsung jujur dan menceritakan semuanya kepada ibu. Aku dan ibu
langsung menasehatinya sebaik mungkin.

“De, ibu lebih menghargai kamu meminta ke ibu, sekalipun kamu sedang dihukum. Dari pada mencuri
seperti ini kan tidak baik” kata ibu sambil mengelus rambut adikku.

Dia hanya tertunduk malu dengan rasa bersalahnya yang terpampang jelas dari wajahnya. Setalah
dinasehati, adikku mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada ibu dan aku, serta benar-benar
berjanji untuk tidak mengulanginya lagi di kemudian hari.

Menjelang Ujian Nasional

Namaku adalah Wulandari, siswi kelas XII di salah satu SMA Negeri di Jakarta. Aku biasa dipanggil wuri.
Aku tinggal di Jakarta, namun aku lahir di tanah pasundan, Bandung. Sudah 10 tahun aku dan keluargaku
pindah ke Ibu Kota.
Hari ini adalah hari kamis, akan diadakannya seminar alumni. Seminar ini akan di isi oleh lulusan terbaik
sekolah kami, yaitu seorang mahasiswa kedokteran di salah satu universitas terbaik di Jakarta.
Tujuannya adalah memberi inspirasi dan motivasi kepada anak kelas XII, sekaligus menyuarakan betapa
pentingnya pendidikan dalam kehidupan. Aku dan teman-teman sudah tidak sabar menunggu
kedatangan mereka.

Saat bel istirahat berbunyi aku bergegas menuju ruang seminar bersama temanku, Santi. Aku dan teman
-temanku sudah berada didalam ruangan, kemudian kakak mahasiswa itu menuju ke arah depan dan
langsung memperkenalkan diri, menyambut kehadiran mereka dengan senang hati.

Materi yang kakak mahasiswa itu berikan sangat memotivasi sekali, begitu pula mengenai pentingnya
pendidikan dalam kehidupan dan masa depan. Dia juga memberi gambaran tentang generasi masa kini
yang nasibnya kurang baik, karena besarnya rasa malas yang meradang.

Setelah materi selesai, di penghujung acara aku dan seluruh murid menyalami kakak tersebut dan
berterimakasih padanya karena sudah membuatku semakin yakin bahwa setelah lepas dari SMA aku
akan mengejar cita-citaku menjadi seorang dokter.

Pentingnya Budi Pekerti

Siang itu, jam dinding menunjukkan pukul 14.00, artinya tidak lama lagi pelajaran akan selesai dan kelas
akan pulang. Akupun melihat pak guru mata pelajaran Kewarganegaraan telah mengemaskan peralatan
belajarnya dari atas meja ke dalam tas.

Setelah semuanya telah siap untuk pulang, keadaan kelas begitu senyap dan diam, karena tau guru
kewarganegaraan ini sangat tidak suka sekali kelas yang gaduh. Bahkan saking heningnya, suara motor
dan kendaraan lain dijalan yang berjarak lebih dari 100 meter dari sekolahku terdengar. Tiba-tiba pak
guru memecah keheningan dengan mengajukan pertanyaan kepada kami.

“Anak-anak sebelum pulang bapak ingin bertanya kepada kalian semua, menurut kalian, apakah sesuatu
yang penting dalam sebuah negara?” kata Pak Guru dengan tangannya memangku dagunya.
Kemudian Yopi, kawan yang duduk sebelahku menjawab sambil mengangkat tangannya.

“Pemerintah, pak..” jawabnya.

“Adalagi yang lain?” sambung pak guru.

Akupun memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan tersebut.

“Pengakuan dari negara lain, pak..” jawabku.

“Jawaban kalian itu semua tidak salah, semuanya benar. Tapi, di balik itu semua ada sesuatu yang harus
dimiliki sebuah negara” pungkas Pak Guru.

Kami serentak kebingungan lalu bertanya kepadanya.

“Lalu jawabannya apa, Pak?” tanya kami dengan penuh penasaran.

“Sesuatu itu adalah budi pekerti dan kepribadian yang baik setiap warga negara di dalamnya” jawab Pak
Guru.

Dia menjelaskan bahwa negara yang maju adalah negara yang memiliki budi pekerti yang baik yang ada
pada setiap insan warga negaranya. Warga yang bisa menghargai satu sama lain dan menjunjung tinggi
Bhineka Tunggal Ika.

Perjuangan Gadis Kecil

Di suatu desa yang cukup jauh dari kota, ada seorang gadis manis bernama Wulandari. Dia sekarang
duduk dibangku sekolah dasar. Tidak seperti anak seusianya, dia harus berjuang lebih extra untuk
sampai kesekolah. Bagaimana ridak, jarak rumahnya ke sekolah kurang lebih 7 KM, terlebih lagi dia
harus berjalan kaki karena rumahnya di pedalaman.

Sudah hari senin, menandakan wulandari akan berangkat kesekolah pada pagi buta ditemani sang ayah.
Dengan hati yang riang dia menuju ke sekolah dengan ayahnya. Dierjalanan, meskipun jalan kaki wulan
tidak sama sekali merasa lelah. Disisi senang akan pergi kesekolah, sang ayah juga selalu memberinya
semangat dengan menceritakan arti nama dia.

Sudah 1 jam akhirnya tiba juga di sekolah. Dengan berbagai rintangan di perjalanan, semuanya terobati
ketika melihat kawan kawan Wulandari menunggu depan gerbang sekolah. Di depan gerbang juga ibu
kepala sekolah menyambut Wulandari.

Wulandari masuk kedalam kelasnya, namun ibu kepala sekolah bertanya pada sang ayah.

“Pak, jarak yang sejauh ini apa tidak apa apa untuk Wulan?” tanya ibu kepala sekolah

“Kalau saya, selagi Wulandari semangat mengejar ilmunya, saya yang akan menemaninya saat berangkat
dan pulang sekolah. Nanti, jika dia kelelahan saya tinggal menggendongnya” jawab ayah. Bu guru pun
mengangguk.

“Bu, Wulan pernah berkata pada saya kalau dia bakalan terus belajar karena ingin menjadi seorang
dokter. Mendengar itu saya tak kuasa menahan haru. Maka dari itu saya akan menemaninya selama dia
punya kemauan yang tinggi untuk mengejar mimpinya.” Sambung ayahnya dengan mata yang berkaca-
kaca.

Wulandari mungkin masih kecil, namun keinginannya untuk belajar sangat tinggi. Banyak diluaran sana
yang memiliki akses mudah kesekolahnya namun bersikap malas-malasan. Semoga Wulandari benar
menjadi bulan purnama bagi keluarganya kelak.

[29/9 15.25] My Brother: Profesionalisme


Suara alarm yang terdengar nyaring berhasil mengusik tidur Luki yang begitu lelap. Niat hati hanya ingin
mematikan alarm tersebut, namun matanya seketika terbuka lebar. Luki kaget melihat jam
menunjukkan pukul 7.

“Astaga sudah jam 7”

Segera ia bergegas ke kamar mandi dan bersiap ke kantor. Dengan kecepatan maksimal ia mengendarai
mobilnya di tengah jalanan ibu kota. Sayang seberapa ngebut Luki, tetap saja ia sudah telat meeting
yang telah diajukan jamnya karena bos Luk yang akan pergi ke luar kota.

“Pagi pak, bolehkah saya ikut bergabung?” Tanya Luki pada bosnya yang tengah memimpin meeting.

“Silahkan masuk. Oh iya tapi maaf project kamu ini harus saya gantikan dengan Haris.”

“Tapi pak, Saya hanya telat sebentar.”

“Tidak masalah sebentar atau lama, namun bagaimana profesionalisme kamu. Kami semua tenaga
professional dan konsisten. Jika kamu tak bisa menangani project ini secara professional mengapa harus
saya pertahankan, sedangkan ada temanmu yang memberi ide menarik untuk project ini.”

“Terlebih ini project besar yang tak boleh disepelekan begitu. Masih untung kamu tetap bisa bergabung
dengan anggota lainnya.” sambung bosnya.

Mendengar ucapan itu Luki terdiam dengan penuh penyesalan.

Selesainya meeting semua anggota kembali tim kembali ke meja masing-masing. Mira yang merupakan
teman dekat Luki di kantor pun menanyakan perihal telatnya.

“Kamu kenapa Luk, kok bisa telat di meeting sepenting ini?”


“Iya aku salah, semalam aku begadang nonton bola hingga bangun kesiangan dan lupa dengan meeting
penting ini.”

“Oalah lain kali cobalah untuk lebih memprioritaskan sesuatu yang menguntungkan untukmu” Sahut
Mira menasehati sahabatnya yang tengah dirundung rasa menyesal ini.

[29/9 15.25] My Brother: Sahabat Terbaik

Siang itu aku dan Bunga, sahabatku dari kecil sedang mengantri sebuah tiket konser. Karena artis yang
akan tampil di konser tersebut kebetulan artis internasional, jadi tak heran jika antrian begitu panjang.
Bahkan kami pun sudah mengantri sejak jam 7 tadi dan sampai sekarang masih belum dapat tiketnya.

Sampai sore tiba, ternyata kami tak kunjung dapat tiket konser itu padahal slot tiket sudah sangat
mepet. Hanya orang yang beruntung yang bisa mendapatkannya. Salah satu cara mendapatkan tiket
konser itu adalah dengan mengikuti kuis di sebuah radio. Tak mau ketinggalan pastinya aku pun selalu
dengerin radio yang mengadakan kuis tersebut.

Suatu hari tiket tinggal satu-satunya dan aku belum dapat telpon dari radio tersebut. Ya, mereka yang
ditelpon dan berhasil menjawab pertanyaan yang diajukan adalah mereka yang dapat.

Harapanku pupus ketika seseorang ditelpon dari radio tersebut dan berhasil menjawab pertanyaan yang
diajukan.

Karena begitu ngefansnya sama artis yang mau konser, seharian aku menangis dan tak mau keluar
kamar. Bunga yang tau keadaanku pun segera datang ke rumah.

“Sore tante, Titanya ada?”

“Ada itu di kamar, seharian belum keluar” sahut mamaku menjawab pertanyaan Bunga.
“Ta, kenapa sih nangis gitu kaya anak kecil tau.”

“Apa sih, kamu kan tau gimana ngefansnya aku sama BTS. Bayangin udah ngantri dari pagi sampai sore
dan ikutan kuis tiap hari tapi ga bisa dapat tiket juga!”

“Nih tiket buat kamu” Bunga menyodorkan sebuah tiket padaku.

Dengan muka heran aku menerima tiket tersebut, ku lihat dengan seksama.

“Hah gimana caranya kamu bisa dapat tiket ini?”

“Aku ikutan kuis juga dan kebetulan aku yang terakhir dapat. Tapi itu buat kamu aja. Lagian aku gak
begitu ngefans kok sama BTS, Cuma ikutan kamu aja hehe” sahutnya tanpa muka bersalah.

“Beneran?” Aku langsung bangkit memeluk Bunga yang tengah meledekku karena muka sembabku.

“Beruntung banget deh aku punya sahabat kamu. Jangan-jangan kamu ikutan kuis Cuma biar dapet tiket
untukku ya?”

“Iya hehe” jawaban Bunga yang semakin membuatku merasa beruntung bersahabat dengan gadis
berambut ikal ini.

Anda mungkin juga menyukai