0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
202 tayangan28 halaman

Cerpen 3

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
202 tayangan28 halaman

Cerpen 3

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 28

Rumah Buku Assyahla

Aku diam, duduk di kursi teras belakang. Hmm… Ademnya udara pagi ini. Sayangnya sih,
Hari ini Abi nggak libur. Cuma Ummi libur praktek.

Namaku Shafa Shabila Maulida Assyarah, panggil saja Shafa. Kakakku, Aisyah Shabila Syahla
Khairunisha, atau Aisyah. Kak Aisyah duduk di kelas 2 SMP, sementara aku kelas 5 SD. Kami
tergolong keluarga yang kaya raya.

Abi adalah direktur di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta, kalau ummi adalah dokter
mata di salah satu rumah sakit. Sementara kak Aisyah, dia sudah menjadi penulis, dia sudah
menghasilkan 5 buah buku. Sementara aku masuk tim Majalah The Best, yaitu majalah
sekolahku. Aku masuk tim reporter dan penulis artikel. Dulu sih, aku masuk tim fotografer
bagian rubrik ‘Cinta Alam’. Tentunya, ada honornya. Satu artikel aku honornya 5 ribu rupiah,
dan sekali wawancara digaji 10 ribu. Jadi kami punya uang saku sendiri.

Kami memiliki hobi yang sama sekeluarga, dari ummi, abi, aku, kakak yaitu membaca buku.
Semua buku kami berempat di taruh di sebuah ruangan. Ada 5 rak buku besar disana. 1 rak
punya abi, 1 rak punya ummi, 1 rak punyaku, dan 2 rak punya kak Aisyah. Kak aisyah
memakai kacamata, mata kanan minus tiga, mata kiri minus 4. Aku juga pakai, aku mata
kanan minus 5 dan mata kiri silindris 3,75.

Aku bangga, jadi di keluarga ini. Kakak yang baik, dan ummi abi yang bisa mengatur waktu
kerja. Abi kerja dari jam 10 pagi sampai 4 sore. Kalau ummi sih, biasa pulang jam 6 sore
karena praktek jam 8 pagi-10 pagi, serta jam 4-6 sore. Kalau soal buku, Ummi dan Abi
memang mengabulkan semuanya. Asal sekali beli maksimal 7 buku. Aku ada ide, bikin
taman bacaan, di depan rumah saja. Tapi baru lima rak. 1 rak saja paling isinya sekitar 40-
50-an. Mana rak ke-lima isinya kalau dihitung baru 23 buku. Aku bilang ke UMmi deh.

“Boleh gak sekarang beli buku Mi? Ya Mi?” Rajukku, setelah menceritakan ideku.

Dan ummi setuju. Kami bersiap. Aku mengenakan rok panjang hitam dan baju putih. Kami
menuju toko buku ‘Awww! Sungguh keberuntungan! Aaaa…

Ada Pameran Buku dan buku-buku itu di diskon semuanya. Semua buku di diskon 30%,
kecuali buku seri Why? dan ensiklopedia yang didiskon 55%. Ummi mengijinkan kami beli
masing-masing 10 buku. Itu diskon memang niat sekali ya! Buku KKPK ada yang dijual 7 ribu
rupiah!

Aku membeli 4 buku KKPK, judulnya The Wonder Girl, Misteri Monster Rawa, Cyber
Adventure, Two of Me. Lalu aku membeli 3 buku Why. Lalu aku membeli 3 komik Miiko.

Sepulang ABi, aku menceritakan usulku dan abi sangat setuju. Seminggu kemudian, abi
memesan tukang. Kami akan memembuat perputakaan. Perpustakaan itu akan di buat di
halaman depan rumahku. Bentuknya rumah bacaan yang dari kaca. Ada AC-nya juga. Seperti
rumah kaca gituu…
2 bulan kemudian, bulan April…

Perpustakaanku sudah jadi. Ada pintu dan kuncinya, pasti. Kacanya juga yang tak mudah
pecah. AC-nya sudah dipasang. Cukup besar karena ada 7 rak buku besar-besar, dan rak
buku itu diletakkan disekelilingnya. Lantainya dilapisi karpet beludru warna biru, dan
diletakkan juga beberapa bantal-bantal serta boneka-boneka untuk bersandar.

Sudah kami beri nama tentunya. Papannya di pintunya besar, bertuliskan: ‘RUMAH BUKU
ASSYAHLA’. Assyahla adalah paduan dari naamaku dan kakak. Dari ASSyarah (namaku) dan
SYAHLA (nama kakak). Tentunya buku-bukunya disampul semua. Setiap pinjam pasti ada
bayarannya, heehehehe…

“Hey, Shafa, itu apa Shaf?” sapa Tira sahabatku, menunjuk perpustakaanku.

“Aku buat perpustakaan atau hm… Mungkin bisa disebut rumah baca, tapi kecil” kataku.

“HAA? Boleh pinjem gak? Pake kipas angina tau AC? Dari kaca! Keren banget! Nekat Shaf!”
Tira mengoceh, mulutnya menganga.

“Boleh dong, tapi pake bayaran, hehehe! Hahaha! Serius! Heheh… Pake AC” kataku.

“AKU MAU PANGGIL ADIVA, SYARAH, SAMA KIARA DULU YA SHAF, MAU NGASIH TAU!
APALAGI SYARAH KAN KUTU BUKU!” serunya kencang, melesat dengan sepedanya.

15 menit kemudian, Adiva, Syarah, Kiara, Salsa, Dinda, Mira, dan dia sendiri sudah ada di
rumahku. “Mana Shaf? Mana SHaf? Mana Shaf?” mereka bertanya-tanya. Aku menarik
mereka ke perpustakaan itu, mereka menganga, mata mereka melotot.

“Aaa! Shafa, bagus banget!” seru Kiara dan mereka.

Ternyata ada 4 teman kak Aisyah juga, Kak Sher, kak Shasa, kak Dea dan kak Della. Mereka
tak tanggung tanggung, “Baca disini boleh kan Shaf?” seru mereka kompak banget, dua
belas-dua belasnya!

“Boleh lah” ujarku singkat.

“Minjem boleh kan? Aku suka banget ensiklopedia tentang Pesawat ini! Bayar berapa
sehari?” Tanya kak Sher yang dikenal dengan tomboy dan kutu bukunya. Dia kutu buku
ensiklopedia tebal-tebal sih tapi!

“Tergantung kak, buku yang mana. Kalau ensiklopedia-ensiklopedia tebel-tebel itu sih,
1000… Hehehe” kataku.

Mereka tidur-tiduran sambil baca-baca. EH ternyata, kak Neyfa dan kak Nayla teman kakaak
serta Diva, Dhea, dan Haya temanku datang. Mereka ikutan sibuk baca-baca buku. 1 jam
berlalu, mereka belum berlalu. 1 setengah jam kemudian, mereka akan pulang.
“Aku mau pinjam ensiklopedia tentang Mobil dan Transportasi ini ya! 2000 nih, aku pinjem
dua. Buat sehari tapi, buat aku dan kakakku” kata kak Sher, menyodorkan dua ribu rupiah.
“Ok. Kalo sehari besok pagi atau ntar sore balikin ya” ujarku.

“Aku pinjem buku KKPK Little Cuties sama Bentang Belia yang judulnya Ruangan Misterius!
untuk 2 hari! Berapa?” ujar Kiara. “Jadi 1000” kataku.

“Aku pinjem buku KKPK dua, sama Komik Miiko seri 24 satu, sama Komik Hanalala satu,
untuk 2 hari aja semuanya. Beraapa?” kata Syarah. “Jadi 2000, balikin ya ntar” kataku.

“Aku yang KKPK Perang Cokelat ini sama kumpulan Puisi ini, 1000 nih” kata Adiva.

“Aku KKPK Dunia Caca; Ibuku Chayank, Muah!; Zula’s Story ya! Jadi 1500 kan? Nih. Buat
sehari doang kok” kata Dhea.

“Aku mau ensiklopedia ‘Semua Tentang Platypus ini ya! Untuk dua hari ya? Tebel banget.
Jadi 2000, nih” kata Diva.

“Kak Fauzia minta minjem buku ‘Fisika, Biologi, dan Sejarah Untuk SMU’ ini ya. Katanya buat
7 hari, soalnya dia udah tau bukunya tebal. Terus kak Tasya minta dipinjemin komik
Hanalala vol. 2 ini, taunya ada. Kak Nadya juga minta dipinjemin buku ‘Cara TErbaik dalam
Perawatan Kucing’ ini ya! Jadi berapa?” Kata Haya panjang.

“Hm, Buku pertamanya 7 hari ya? Kudiskon deh, abis, satu minggu. Jadi… 4.700 rupiah” Aku
menyerahkan kembaliannya.

“Eh, aku komik Love is Everything ini ya. Sama Icha adekku minta dipinjemin buku cerita
balita seri ini dua. Jadi berapa?” kata kak Dea. “JAdi 1000, kak” kataku.

Dan yang lain juga minta pinjam.

Hmmm… Senangnya! Dapat uangnya sudah lumayan nih! Besoknya, 8 temanku dan 9 teman
kak Aisyah pada datang! Uuuh… laku nih! Alhamdulillah!

Sebulan sudah…

Sudah terkumpul beberapa ratus ribu dari hasil uang sewaan buku nih! Laku banget! Yes!
Alhamdulillah
Sampai Ujung Usia
Namaku adalah Riko Agung Pratama, kawanku di kampus sering sekali memanggilku Agung,
entah apa yang mereka pikirkan memanggilku dengan nama tengahku. Aku sedang kuliah di
salah satu universitas swasta di Depok, dengan jurusan Sistem Komputer.

Pada waktu itu, tepat hari Jumat, dimana aku akan menuju ke Lab Robotika untuk menguji
alat yang kubuat. Tapi, siapa sangka, sesampainya aku disana aku bertemu dengan dosen
yang mengajarku pada semester 6 lalu. Dia adalah Pak Lingga, mengajar mata kuliah
Matematika Diskrit waktu itu.

Aku sangat menghormatinya karena dia adalah salah satu dosen senior di kampusku.
Bagaimana tidak, di usianya yang sudah menginjak 70 tahun dia tetap bugar dan semangat
mengajar mahasiswanya. Bahkan tidak jarang dialah orang pertama yang sudah datang di
kelas.

Di lab tersebut, di sela aku membuat data pengamatan, mataku selalu tertuju ke arahnya.
Pak Lingga begitu serius dengan apa yang dia kerjakan di hadapannya. Sesekali aku
mendekatinya, lalu melihat apa yang dia kerjakan.

“Pak, sudah sore begini, apa yang bapak kerjakan di lab? Aku bertanya dengan wajah
penasaran.

“Oh ini, bapak sedang riset alat yang bapak kembangkan untuk pentas robot nanti. Makanya
bapak ke sini mau minta ajararin ke pak Sultan” ujarnya

Pak Sultan sendiri adalah kepala lab robotika yang kini menjadi kepala jurusanku.

“Loh, bapak seharusnya tidak perlu repot-repot datang dan belajar di lab ini. Biar mahasiswa
bapak saja yang datang kesini” sambungku.

“Bukan begitu, ko. Bapak sendiri dari dulu ingin belajar mengenai system gerak pada robot
ini, kebetulan kan sekarang Pak Sultan ada disini” balasnya.

Kekagumanku kepadanya semakin menjadi-jadi, mengingat usianya yang sudah lanjut tapi
keinginan belajarnya masih saja tinggi. Berbeda denganku, di umurku yang masih muda
kadang aku masih saja berjibaku dengan rasa malas yang meradang. Benar kata orang
tuaku, mencari ilmu itu sebenarnya bukan sampai ke negeri China, tapi sampai ujung usia.
Emak, Aku Telah Diwisuda
Dunia seakan berhenti berputar saat malam itu terjadi, saat dimana Emak terjatuh di kamar
mandi. Wajahnya pucat… Aku takut, aku benar benar takut kehilangan Emak malam itu…

“wiyuuuuu wiyuuuuu…” sirine ambulance berbunyi saat membawa tubuh Emak menuju
rumah sakit saat itu…

“Emak bangun mak, jangan seperti ini, bangun emak, bapak butuh Emak di samping bapak”
terdengar suara bapak menggerutu dan berucap takut kehilangan emak malam itu, tak
kalah kesedihan yang aku alami,

“Astaghfirullah’aladzim, Astaghfirullah’aladzim, la ilaha illallah, la ilaha illallah” suara kakak


berdzikir di samping telinga Emak…

Sedang aku hanya menangis sambil bersandar dipinggiran jendela ambulance malam itu…

Suara ambulance kian cepat, gemuruh kaki kaki perawat di rumah sakit mulai terdengar…

“permisi, permisi, maaf pasien mau di angkat” kata seorang perawat dengan paniknya…

“Emaaakkk, bangun maaakkk” kataku histeris Saat tubuh emak di angkat oleh perawat dari
ambulance, sampai-sampai aku tersadar aku terbaring di antara keluarga yang ikut
menunggu emak malam itu!!!

“maaf, keluarga pasien yang mana? Saya ingin berbicara” seorang dokter keluar dari ruang
periksa…

Kakak tertua dan Abang iparku yang menemui dokter tersebut, saat mereka keluar dengan
lesu

“ternyata kadar gula emak naik dan sangat tinggi pak, dek jadi harus di rawat inap sampai
kondisi emak pulih” kata abang iparku

Hari-haripun kami lalui di rumah sakit, silih berganti kami bergantian berjaga di ruang inap
itu. Selama 7 hari emak di rawat dan akhirnya bisa pulang!!!

Senang rasanya bisa berada di rumah, dan berkumpul lagi dengan Emak, tapi kebahagiaan
itu sebentar saja hanya seminggu emak di rumah. Dan saat bangun pagi ku dapati Bibir
Emak sedikit miring, dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan lagi… oh Tuhan besit
bapak.

Ternyata Emak terkena Stroke. Duniaku benar-benar terasa berhenti berputar saat itu, dan
pada akhirnya kami harus menginap lagi di rumah sakit.

Emakku terkena Stroek dan kehidupan ku berubah 180 derajat, aku harus berjuang
melanjutkan sekolahku lagi.
Tepat bulan November hendak melaksanakan ujian semester aku mendapat surat panggilan
karena sudah lima bulan menunggak uang sekolah!!!

“bapak, apakah aku harus berhenti sekolah untuk ini? aku masih ingin melanjutkan sekolah
hingga ke Perguruan Tinggi” kataku bercerita pada bapak

Bapak hanya menatapku dengan mata yang nanar. Hingga akhirnya sekolah berbaik hati
memberi aku bantuan biaya sampai selesai sekolahku nanti.

“dek, hari ini emak bisa pulang, bagaimana menururt mu” Tanya kakakku yang kedua

“Ya sudah kita bawa pulang emak, aku juga sudah rindu dengan rumah” kataku

Saat itu kami pulang, kondisi emak berubah, ia seperti kanak-kanak.

terkadang aku bersedih melihatnya, aku juga merasa lelah.

“Nakku, hidup ini pasti berubah. Jangan pernah tangisi hidup. Lakukan yang terbaik nak!
Do’akan Emak” terdengar kalimat itu dengan terbata-bata dari mulut emak saat kami
hendak tidur.

aku hanya bisa memeluk Emak dan berusaha menyembunyikan tangisanku.

Hanya selang beberapa bulan kami berada di rumah dengan merawat Emak, dan pada suatu
hari Bapak kembali jatuh sakit.

Yang mengharuskan kami rawat inap lagi, tapi tidak mungkin! Bagaimana dengan Emak
siapa yang merawat dia? Terpaksa aku Cuti sekolah untuk merawat bapak di rumah sakit
sambil bergantian dengan Abang iparku.

Duniaku sedang berada di bawah semua duka menghempit, tapi elok dan sakitnya dunia
hanya sesaat. 10 bulan sudah ku merawat Emak dan bapak yang kian renta di bawah
penyakit yang mendera.

Suatu sore nan indah kurasa, kondisi emak kian membaik walau emak tak pernah lagi
melakukan terapi karena himpitan ekonomi yang kami alami.

Ku elus wajah emak seakan ingin melihatnya selama mungkin, ku pengang erat sambil ku
pijat ringan jemari emak yang sudah lama tak bergerak itu.

“Emaak” kataku

Emak mengelus wajah ku, dan menarik kepalaku untuk memeluknya.

“Emak apa kelak aku dapat melanjutkan hingga keperguruan tinggi” tanyaku, karena aku
begitu berharap emak bisa sembuh dan mendampingiku saat Di wisuda kelak.

Wajah emak tampak haru menatapku, tangannya tak henti membelai rambutku yang ikal.

“nak emak ingin melihat mu wisuda nak” suara emak begitu lembut ditelingaku
“Emak cepat sembuh, tika mau nanti saat di wisuda emak dan bapak mendapingiku untuk
berpoto di papan bunga yang indah” aku mulai bercerita dengan suara riang pada emak.

“Nakku, sekarang anak Emak sudah kelas 3 SMK memang, bentar lagi selesai, dan akan
melanjutkan keperguruan tinggi nak. Apapun yang terjadi Emak ingin lihat anak Emak Di
wisuda, ada atau tiada Emak itu sudah ditakdirkan sama Allah nak”.

Haru sekali sore itu rasanya saat itu sangat indah, bagai masa yang enggan tuk ku berlalu
didalamnya. Emak begitu lembut sebagai tonggak motivasi untukku. Emak aku ingin di
wisuda, ingin engkau dampingi lagi.

Tetapi, tanggal 20 agustus, selang 3 hari dari sore yang begitu indah itu kehendak illahi
berbicara saat aku sedang bermain. Abang ipar menjemputku untuk segera pulang.

Sampai di depan pintu, kulihat tubuh emak terbaring, suara napas nya menderu “Emak
sedang sakaratul maut” besitku.

Illahi, kupasrahkan semua untukmu, ku letakkan takdir ku ditanganmu. Aku melemah,


duniaku menghitam, secepat mungkin kami bawa emak ke rumah sakit, walau aku tau Emak
sedang di ujung waktunya, tapi usaha tak henti kami lakukan.

“allahu akbar, Allahu akabar”… suara adzan maghrib terdengar, seraya aku mendengar
desisan nafas terakhir emak di dalam mobil itu. Dadaku penuh sesak, aku kehilangan arah,
sedang mobil masih melaju kencang berusaha secepat mungkin membawa Emak untuk
menolong nyawa emak.

gemuruh kaki kaki perawat di rumah sakit mulai terdengar menghampiri mobil yang kami
tumpangi…

“permisi, permisi, maaf pasien mau di angkat” kata seorang perawat dengan paniknya…

Hanya hitungan menit emak di dalam dan dokter keluar

“Maaf Emak telah tiada”

“Innalillahi wainna ilahi roji’un” kata orang-orang yang mendengar kabar itu.

“Emaaaaaak, emaaaaaak, emaaaaakk” jeritku histeris

“Iyooh Emak, tadingkenndu aku (EMAK tinggalkanmu aku)” kata bapak.

Semua hampir tak sadarkan diri, histeris seakan tak percaya Emak telah tiada.

Setahun berlalu tanpa Emak, ku ingat janji emak untuk tetap melanjutkan sekolah hingga
keperguruan tinggi. Aku tak ingin emak kecewa.

“tika bagaimana kuliahnya sudah selesai ya?, sielah yang sudah mau di wisuda ini loh makin
saja dia” ledek seorang temanku.
Ya, sudah 5 tahun sepeninggal Emak, dan aku hendak menyelesaikan Kuliahku, aku hendak
di wisuda. Aku ingat emak, yang hendak menyaksikanku saat aku di wisuda.

Derai tangis pilu yang kurasa, emak tiada tapi bersyukur bapak mendapingiku saat-saat
bahagiaku.

Emak, lihatlah aku anakmu!!!

Emak, aku telah di wisuda, ini buah hidupmu, ini adalah sesosok remaja yang kau beri
motivasi dahulu. Emak ku persembahkan gelar S.PdI ku untuk mu. Emak yang tercinta.

The End

Cerpen Karangan: Hestika


Pin Student of The Best
Terpampang papan kayu bertuliskan “Sd It Al-Madinah”. Berdiri megah bangunan berlantai
tiga menjulang langit. Di sekelilingnya dirimbuni berbagai macam pohon perindang. Dari
sukun, Karsen, dan Mahoni. Hamparan sawah nan luas melingkari sekolah itu. Bak lautan
mengelilingi sebuah pulau kecil. Terpaan angin di pagi hari seakan menghempaskan dahan
pohon sukun. Begitu juga dengan daunnya yang rimbun dan lebat.

Depan gedung Administrasi. Seseorang anak bermuka persegi dan rambutnya sedikit lurus
ditemani oleh temannya. Napasnya yang terengah-engah mendadak mewarnai pelataran
teras yang memanjang. Lantainya tembam basah setelah kedua tangannya menyangga.
Keringat derasnya terus mengalir membasahi tubuhnya. Janan itu rupanya. Sosoknya sudah
di kenal di lingkungannya. Baik dari sisi intelektualitasnya yang jago matematika. Ataupun
sepak terjangnya sebagai striker sepak bola tidak diragukan lagi. Ustadz Nafi Guru
olahraganya. Juga salut padanya.

Senin pukul 08.00 Wib. Seluruh siswa kelas 6. Terutama regu Einsten berkumpul di Gazebo
dekat sawah. Lima buah risban memanjang yang terbuat dari bambu menjadi alas duduk.
Paku yang agak menculak keluar membuat sedikit mengganjal pantat mereka. Pohon karsen
rimbun berderet-deret sejajar memayungi mereka dari sengatan panas terik matahari.
Walaupun secara kesehatan mengandung vitamin D yang baik bagi pertumbuhan tulang.
Tetapi tetap saja sedikit mengurangi kenyamanan mereka. Tertuju mereka kepada Ustadz
Rahmat. Salah seorang guru IPA yang kreatif. Lantang suaranya menjadikan gebrakan
penggugah ngantuk. Materi yang beliau bawakan menjadi salah satu obatnya. Perubahan

Ciri Pada Masa Pubertas. Gaya bicaranya yang selalu dihubungkan dengan humoris.
Menjadi ikon tersendiri baginya. Tawa riuh canda tawa mewarnai sebuah gazebo di pinggir
padang sawah.

Tiba-tiba Ustadz Rahmat menunjuk janan. Jari telunjuk kanannya mengarahkan kepadanya.

“Ada apa denganmu berbicara di saat lainnya serius.”

“Coba jelaskan pengertian masa pubertas?”

Semburat wajah Janan menjelaskan kecemasan dan kebimbangan. Almas hanya tersenyum
Cengar cengir mendapatkan kenyataan kawannya itu. Dengan gagah berani Janan segera
menjawab.

“Masa pubertas adalah.. m..a.s..a saat terjadinya perubahan… seterusnya tidak tahu.”
Jawabnya.

“Makanya jangan ngobrol ketika sedang pelajaran. Camkan jelas jelas!!” Ustadz Rahmat

Dengan tegas.

“Masa pubertas adalah masa terjadinya perubahan-perubahan dalam tubuh yang


mengiringi rangkaian pendewasaan.” Dengan nada sedang menguraikannya.
“Jelas Beloom!!.”

“Jelas tadz..”. balasnya dengan sedikit meninggikan suaranya.

Berbeda dengan Ghani. Teman satu tim sepak bola. Hanya menepuk-nepuk dada kanannya
berulang-ilang. Sambil berusaha mengucapkan hamdalah di hatinya. Dia sangat cemas
apabila ditunjuk. Dia malu ketika berbicara di muka umum.

Ruangan kelas sepi. Bagaikan drum minyak yang kosong. Hanya suara goresan-goresan
pena yang terdengar saut-saut. Seseorang berperawakan kurus. Berwajah tampan. Iqbal
lebih jelasnya. Dia sedang serius menggambar kapal bajak laut. Seninya yang tinggi
menjadikan bangga sekolah. Beberapa kali dia memenangi berbagai perlombaan melukis.
Bahkan sampai tingkat Kabubaten. Di samping lainnya beliau menggemari Film “Harry
Potter”. Menceritakan seorang penyihir kecil dari Hogwarts.

Heemm. “Rumus menghitung volume kubus coba apa?. Siapa yang bisa angkat tangan.”.

“Saya tadz. Panjang x lebar x tinggi..”. Janan bergegas menjawab.

“Tepuk tangan buat Einsten kita. Janan.!!!”.

Ribuan tepuk tangan membanjiri ruangan kelas. Ustadz Muji. Seorang guru matematika.
Yang sekaligus menjadi motivator yang handal bagi mereka semua. Memberikan apresiasi
luar biasa kepadanya. Yang lebih serunya meja menjadi pengiring suara tepukan tangan.
Kaca jendela di samping sampai-sampai bergetar-getar. Seperti mau pecah. Janan hanya
manggut-manggut dengan sok PD. Seperti kemenangan berada padanya.

Piring dan gelas ditata rapi. Beserta sayur dan lauknya. Ayam bakar, sayur lodeh, bahkan
beberapa potong irisan melon juga dijajakan. Air putih di ceret merah juga tersedia. Regu
Einsten sudah berkumpul semua. Membentuk lingkaran hasafah kecil. Ustadz Muji, sebagai
pendamping sudah siap membuka tausiyah dan dilanjutkan makan bersama.

Di teras masjid. Segerombol kawanan anak. Bagaikan seperti geng. Bercakap-cakap santai.
Ngalor ngidul. Masalah ini, masalah itu. Janan, Almas, Ghani dan tentu Iqbal. Bercakap
menyangkut perjalanan mereka setelah lulus. Ada yang ke SMP,Mts, bahkan ada pula yang
ingin mondok. Almas yang ingin mondok tiba-tiba dengan syahdu bersyair.

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam..

Di kampung halaman…

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang..

Merantaulah, Kau akan dapatkan pengganti..

Dari kerabat dan kawan..

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa..


Setelah lelah berjuang…

“Busyeet deh. keren amat syairnya dapet dari mana?”. Celotek Ghani dengan humorisnya.

“Tau gak. Ini syair Imam Syafi’i.” Gumam Almas.

“Sekarang aja udah jadi ustadz apalagi besok habis mondok”. Ghani meledek lagi Almas.

“Iya betul. Semua setuju.. setuju..?”. hasutan Iqbal

“Seetujuuu!!”. Jawab serentak.

Almas hanya tersenyum sedikit kecut.

“Hwehehehehe… Terimakasih friend which lebbay… and Allay.”.

“Oke deh bang…”. Guraunya Ghani.

Humoris memang tidak pernah asing dengan Ghani. Pantomimnya sudah menjadi bahan
pembicaraan warga sekolah. Mungkin seperti mr. Chaplin. Sebagai salah satu artis
pantomim dan badut terbaik di dunia lawak. Postur tubuhnya yang pendek ditambah
mukanya yang imut dan manis. Tidak kalahnya dia juga jago sepak bola. Bahkan organisasi
sepak bola seperti “Indonesia Muda” juga turut pila diikutinya.

Festival Akbar dua pekan mendatang akan segera diadakan. Kegiatan ini digelar dalam
rangka memeriahkan bazar Amal. Semua kelas diwajibkan mementaskan pertunjukan

Dalam rangka tersebut. Drama, nasyid, menyanyi, bahkan puisi sebagai pilihannya. Iqbal
sebagai penanggung jawab dan sebagai ketua tim mereka. Akan merencanakan penampilan

Yang akan memekakkan mata penonton. “Drama Bajak laut di Somalia”. Persiapannya kami
persiapkan baik-baik. Dari fashion, rias wajah, sampai tata panggung telah dipersiapkan.
Almas sebagai pemimpin bajak laut segera sebelum acara digelar terus melakukan latihan
casting. Lampu penerang sampai efek-efek cahaya juga sudah beres semuanya.

Waktu yang dinanti telah datang. Kami semua aggota tim sudah siap. Iqbal memakai jas dan
dasi duduk seperti tamu terhormat sebagi sutradara. Penampilan kami akan segera
berlabuh. Lampu pencahayaan segera menyala terang berwarna biru. Sebagai samudera
laut. Dua Miniatur kapal-kapalan segera didorong dari sebelah samping.

“Mana dukungan suara kalian…!!!”. Ucap Desi dan Vina sebagai emsi.

“hehhhh….!!!”. Suara serbuan penonton

Pimpinan bajak laut Almas segera muncul ke depan panggung. Mengenakan busana bajak
laut dan tangan kirinya dibalut celurit dari kain. Berbentuk tanda?. Penonton semakin
terpesona dengan kondisi itu. Almas beserta prajuritnya segera menggempur kapal
saudagar kaya. Dengan lihai dia memainkan perannya dengan baik. Pimpinan saudagar kaya
tersebut tewas. Dijarah habis-habisan semua harta emas dan perak yang ada di dalam
kapalnya. Setelah itu segera membakar dan meninggalkannya.

Kerja keras mereka berlatih drama tidak sia-sia. Akhirnya semua penonton merasa seru
dengan adegannya. Pengorbanan mereka dibayar kontan oleh hasil dari perjuangan mereka.

Sebagai sutradara Iqbal sangat bahagia. Bisa menyelesaikan tugasnya ditambah namanya
mungkin akan dikenang oleh para adik kelas. Yang ingin menyainginnya.

Tepatnya Jumat pahing. Di waktu pagi mereka upacara rutin. Semua siswa mengikutinya
dengan khidmat. Setiap intruksi demi intruksi selalu diikutinya dengan penuh rasa
semangat.

Ustadz Akhmad Yunus sebagai kepala sekolah sekaligus pembina upacara segera
membacakan akan perihalnya.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..” Ucapnya penuh semangat.

“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”. Jawab seluruh peserta upacara.

“…sebagaimana akan perihal ustadz yaitu menyampaikan tentang penghargaan kepada


kalian. Penghargaan itu dinamakan Pin STUDENT OF THE BEST. Kepada yang berhak
menerima ustadz akan langsung menyerahkannya. Bagi yang belum mendapatkan bersabar
terlebih dahulu. Ustadz bacakan Satu persatu..”.

“Mumtaz Jinanul Janan sebagai anak yang cerdas”

“Muhammad Iqbal Shalahudin sebagai anak yang berkreativitas tinggi”

“Fulki Almas Assalim sebagai anak yang berbudi luhur”

“Dan terakhir Abdul Ghani..M.art.ono put…tra. Sebagai anak yang jujur.” Ehek-ehek. Sambil
berdeham

Mereka bereempat maju ke depan. Tepuk tangan seluruh siswa membahana. Seperti
dentuman drumben. Pin berbentuk segi lima bergambarkan sebuah pensil berwarna biru
berbackground kuning segera dipasangkan kepada mereka. Letaknya di dada sebelah kiri
mereka. Genre mereka juga tak ketinggalan. Berpose bersama-sama.

TAMAT

Cerpen Karangan: Fairus Umar Faruq


Sekolah Itu Bisa Tambah, Kurang, Kali dan Bagi Bu
“Pagiku cerahku matahari bersinar, kugendong tas merahku di pundak. Muridku tersayang
muridku tercinta, ku disini ingin menjadikanmu orang yang hebat suatu saat nanti”,
nanananaa… (bermaksud sedikit merubah lirik lagu, tapi berharap penciptanya tidak
menuntut saya. Heheheee) itulah lirik lagu yang selalu membuat saya bersemangat setiap
hari.

19 April 2012

Siang ini saya bersiap memasuki kelas VIIA untuk mengajar Bahasa Indonesia. Karena selama
2 hari ada kegiatan KKG guru SD sampai sore hari dan kegiatan tersebut memaksa untuk
menggunakan ruang kelas V dan VI (multifungsi, siang hari menjadi ruang kelas SMP, untuk
kelas VIIA dan VIIB).

Pada hari ini mau tidak mau terpaksa kami menggunakan ruang kelas IV SD (karena satu
atap dengan SMP) yang bangunannya sungguh begitu membuat hati saya menangis teriris.
Bangunan dengan ukuran 4 x 5 meter ini mungkin sudah sangat tidak layak dijadikan ruang
kelas. Bambu-bambu yang dicacah disusun mengelilingi ruang kelas menjadi pengganti
sebagai tembok, meja dan kursi terlihat seadanya. Mungkin ketika duduk, maka mereka
semua akan berdesak-desakan seperti penumpang di Bus kelas ekonomi yang sangat sesak,
panas dan pengap. Apalagi bau anak-anak sungguh harum seperti bau parfum Paris Hilton
(minyak bibit; hanya istilah saja biar sedikit keren. Hehee) yang menyengat membuat saya
sedikit pusing (parfum: bau keringat karena bau badan. Maklum, tak mungkin mereka pakai
parfum kan?), lantainya pun masih tanah, jendela yang lubangnya begitu besar tak ada
tutupnya, dan bahkan nyaris tak ada pintu di ruang kelas ini. Ya Tuhan, tapi anak-anak ini
bahagia semua. Entah apakah saya mampu bertahan hidup tinggal disini. Menerima ke-apa-
adaan dan ke-apa-adanya segala sesuatu yang sulit diperoleh. Uang saja mereka tak punya,
bagaimana mau memprotes dan menuntut fasilitas hidup di desa terpencil ini.

Bagi masyarakat disini, makan tiga kali sehari merupakan hal istimewa untuk setiap keluarga
di Poka dan Redong, 2 desa yang dekat dengan Rangkang Kalo. Itu pun dengan makan sayur
yang sangat standar, sondaing, labu ndesi, kacang merah (lebih kerennya kacang Azuki:
setelah semalam saya browser di internet tentang kacang Azuki yang mirip seperti kacang
merah hasil kebun masyarakat Poka & Redong). Ternyata hasil penelitian kacang Azuki (ada
di Jepang) mengandung protein yang sangat tinggi. Waaww…”

Semoga saja makanan-makanan itu mampu menjadikan semua murid-murid saya pandai,
pintar, dan tentunya sehat. Menjadi orang-orang hebat yang suatu saat bisa duduk di kursi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat menggantikan menteri-menteri, bekerja di Dinas
Pemuda dan Olahraga (PPO) Ruteng, Manggarai, menjadi guru seperti cita-cita mereka,
menjadi Dokter yang profesional, atau bahkan presiden atau mungkin ilmuwan. Karena
hampir semua makanan yang mereka makan mengandung zat gizi untuk kesehatan tubuh.

Ah, betapa tingginya angan dan pengharapan saya kepada mereka. Meskipun ini semua
sangat mustahil untuk mereka dan untuk saya, tapi inilah doa saya dalam hati…
Ruang kelas IV SD Satap Rangkang Kalo

“Selamat siang anak-anak, masih semangat kan siang hari ini?”, sapa saya kepada seluruh
siswa kelas VIIA SMP Satap Rangkang Kalo. “Masih semangat buuuuu…”, jawab mereka
bersemangat. “Bagus anak-anak, semangat kalian itulah yang membuat saya tak pernah
berhenti menebarkan senyum bahagia setiap memasuki ruang kelas”, kata saya dalam hati.

“Baik semuanya, sebelum kita memulai pelajaran, Ibu ada sedikit permainan untuk kalian.
Tapi ingat harus konsentrasi pada setiap pertanyaan yang Ibu berikan. Dalam satu kelas
bagilah menjadi dua kelompok, berarti ada sekitar 12 anak. Setiap pertanyaan yang Ibu
berikan harus dijawab dan ditulis di depan papan tulis. Berilah kesempatan kepada setiap
anggota kelompok untuk dapat menjawab. Jangan gaduh, jangan ribut, dan kita bermain
secara jujur, cepat, dan tepat. Mengerti semuanya?, ucap saya kepada mereka. “Mengerti
bu, ayo kita mulai bu”, kata mereka serentak.

“Baik anak-anak, silahkan masing-masing kelompok berbaris rapi menghadap ke papan tulis.
Berdiri yang rapi dan dengarkan setiap pertanyaan yang Ibu lontarkan. Untuk kelompok
matahari dan kelompok anggrek siap?, kata saya penuh semangat seperti sedang lomba
cerdas cermat tingkat Nasional. “Siaaappp Buuuuu…”, jawab mereka dengan sangat
antusias.

Pertanyaan pertama, “Siapakah presiden pertama negara Indonesia?”, soal pertama saya
untuk mereka. Lalu masing-masing anggota kelompok maju ke depan dan menulis jawaban
dari soal pertama saya dengan jawaban Ir. Soekarno. Bagus, langkah awal berjalan lancar
dan mereka menjawab dengan benar. Lanjut pertanyaan kedua, “Apa lambang negara
Indonesia?”, “Burung Garuda bu”, jawab mereka cepat. Bagus mereka paham, meskipun
saya menyadari tak ada replika burung garuda di ruang kelas ataupun kantor guru SD dan
SMP tapi setidaknya mereka mengerti lambang negara Indonesia. “Ok, kalian benar.
Selanjutnya soal ketiga, sebutkan air yang mempunyai rasa asin?”. Seketika Fani dari
kelompok anggrek lari ke depan papan tulis menulis jawaban ‘air laut’. “Good”, jawab saya
dengan senyum mengembang. Yang lebih membuat lucu adalah Yulin dari kelompok
matahari menjawab ‘air garam’. Lalu saya bertanya kepada dia, “Yulin kok jawab air
garam?”. “Iya Bu, kan saya punya garam di rumah. Kalau dikasih air pasti rasanya asin kan
bu?”, celoteh Yulin murid pintar kesayangan saya di kelas VIIA. Hahahahaaa benar juga ya
jawaban Yulin. Jawaban ini tidak saya salahkan, justru dengan bangga saya melemparkan
senyuman untuknya. “Yulin pintar”, kata saya dalam hati.

Suasana kelas semakin semangat dan panas membara, sepanas ruang kelas dan cuaca siang
hari ini. “Masih semangat?”, “masih bu, ayo lanjut soal lagi”, jawaban antusias mereka
menambah semangat saya. Baik, sekarang kita lanjut ke soal matematika. Berapakah (20 –
14 + 11 + 3) : 2. Diluar kendali saya semuanya maju ke depan papan tulis dan berlomba-
lomba menulis jawaban mereka dengan jawaban 10. Brilian, bagus sekali, hebat, genius.
Meskipun hanya soal tambah, kurang, dan bagi yang saya buat sangat sederhana, mereka
cepat berpikir. Ini bukan soal mudah atau sulit, tapi bagaimana mareka mampu memahami
soal. “Hebat, jawaban kalian benar dan tepat”, puji saya kepada mereka. Tiba-tiba ada yang
berceletuk, “Iya Bu, yang penting bagi kita sekolah itu bisa belajar tambah-kurang-kali-bagi.
Supaya kalau kita pergi merantau bisa dapat ijazah bu”, jawab Ari. Astagfirullah, jawaban
yang sangat menusuk jantung saya. Tiba-tiba saya terdiam tak bisa berkata apa-apa dan
berusaha mencerna pelan-pelan jawaban Ari. Masuk dari lubang telinga, tulang-tulang
pendengaran, lalu ke rumah siput, dan diteruskan oleh saraf-saraf yang kemudian diproses
oleh otak. Kemudian tenggg…!!! Memang benar jawaban Ari, jawaban sederhana dan lugu.
Bagi mereka sekolah itu yang penting bisa belajar tambah-kurang-kali-bagi. Sesuatu yang
benar-benar membuat saya terenyuh. Anak-anak, jadilah orang yang hebat suatu saat nanti.
Ibu tidak akan pernah menenggelamkan angan dan cita-cita kalian, justru ibu akan selalu
menyertai setiap langkah kalian.

“Wah kalian memang hebat, ibu seperti sedang berada di depan para ilmuwan genuis.
Seperti Albert Einstein, seorang penemu rumus relativitas E= m.c2 yang menderita disleksia,
tak bisa membaca dan menulis. Tapi dengan kesederhanaan, keluguan, dan kegeniusannya
Albert mampu menjadi penemu yang sangat luar biasa. Suatu saat nanti Ari bisa menjadi
seorang Albert Einstein”, puji saya pada Ari.

“Baik, sekarang kita lanjutkan 6 pertanyaan lagi ya. Saat ini ibu tetapkan kalian sebagai para
ilmuwan genius kelas VIIA yang terbaik. Maka dari itu saya minta temukan dan berikan
jawaban terbaik kalian untuk Indonesia. Setuju???”, pinta saya pada mereka.

“Setuju Bu”, jawab mereka.

Hari ini pun menjadi awal kehidupan terbaik untuk anak-anak Rangkang Kalo. Dunia
imajinasi mereka akan saya penuhi dengan dunia pendidikan, pengetahuan, dunia luar, dan
seisi alam semesta untuk berfantasi sekehendak hati mereka.

Bukan kesengsaraan, keluhan, ataupun penderitaan yang saya ceritakan disini. Tetapi justru
kegeniusan para ilmuwan anak-anak Rangkang Kalo lah yang menjadikan kehebatan kisah
cerita ini sehingga saya berharap dapat menumbuhkan secercah harapan bagi masa depan
mereka kelak.

“Ikuti apa keinginan anak-anak, jangan menjadikan anak sebagai seorang tertuduh ketika
sedikit menyimpang. Bermain dan nikmatilah dunia mereka, dan jangan paksakan mereka
harus mengerti dengan dunia kita. Yang mereka inginkan adalah perhatian dan senyuman
sebagai seorang sahabat”.

“Anak-anakku, dunia sangat terbuka lebar untuk segala kemungkinan. Kalian bebas menjadi
apapun yang kalian inginkan. Proyeksi hidup kalian saat ini dan ke depan sepenuhnya
berada dalam genggaman tangan kalian sendiri. Maka dari itu, selalu berkeyakinanlah
bahwa semua akan baik-baik saja”

(Harapan saya untuk anak-anak Negeri: Poka, 24 April 2012)

Cerpen Karangan: Dewi Sri Warni


Diantara Mahasiswa dan Dosen
Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Chintya Aryanto menuju ke ruang kelas perkuliahan
dengan langkah gontai. Ketika sampai dalam kelas, Ibu Darmayanti, dosen matakuliah
Pengantar Ekonomi Makro menyambut dengan nada sinis, “selamat sore,” diikuti dengan
gelak tawa mahasiswa dalam kelas tersebut. Seolah sudah terbiasa dengan perlakuan
tersebut, Chintya dengan cuek langsung menuju ke tempat duduk kosong di pojok kanan
belakang kelas. Hari ini adalah hari pertama perkuliahan semester genap di Universitas
Merah Putih Jakarta. Namun Chintya, salah satu mahasiswi Jurusan Ekonomi-Akuntansi yang
kini menjajaki semester kedua perkuliahan sudah datang terlambat selama 60 menit. Pantas
saja dosen bersikap ketus padanya. Selama perkuliahan pun, Chintya nampak tidak
mempedulikan kicauan Ibu Darmayanti yang menyerukan permasalahan ekonomi makro.
Chintya malah asyik menggambar-gambar dengan pensil 2B yang menari-nari di atas kertas
A4. Tidak terasa, jam akhirnya berputar sampai pukul 09.00 WIB. “Sekian materi saya hari
ini, sampai jumpa di pertemuan berikutnya,” kata Ibu Darmayanti mengakhiri
perkuliahannya. “Yes,” seru Chintya dalam hati sambil merapikan mejanya dan segera
menuju perpustakaan.

Perpustakaan Universitas Merah Putih tergolong elite. Buku-bukunya lengkap, tersedia


fasilitas wifi, dan ruangannya besar. Namun, bukan hal-hal tersebut yang membuat Chintya
suka menghabiskan waktunya di tempat ini. Yang paling membuat Chintya betah adalah
adanya kafe dalam perpustakaan ini. Selain dapat makan dan minum dengan leluasa, di kafe
perpus terdapat meja yang ukurannya cukup untuk meletakkan kertas gambar berukuran
A3. Chintya memang mempunyai hobi menggambar. Melukis, desain, sketsa, dan karikatur
adalah dunianya. Bahkan setelah lulus SMA, Chintya sebenarnya ingin mengambil
perkuliahan desain grafis namun tidak diizinkan oleh kedua orang tuanya. Maklum, Chintya
adalah anak tunggal sehingga kedua orang tuanya begitu protektif terhadap dirinya.
Menurut kedua orang tua Chintya, menggambar atau melukis bukanlah kegiatan yang akan
menjadikan masa depan anak semata wayangnya menjadi cerah. Sungguh pandangan yang
kolot! Namun apa boleh buat. Chintya pun tidak mampu menentang keinginan orang tuanya
yang menghendakinya menjadi pengusaha atau bussiness woman. Maka dari itu, Chintya
mencemplungkan dirinya ke perkuliahan Akuntansi, dunia yang sungguh tidak
dikehendakinya! Ya, itulah alasan mengapa Chintya ogah-ogahan dalam menjalani
perkuliahannya. Menekuni suatu bidang yang tidak kita minati sungguh merupakan siksaan
batin. Perpus kafe menjadi saksi bisu kehidupan dewasa awal Chintya.

“Self assessment system adalah sistem perhitungan pajak dalam suatu negara dimana
besaran pajak di hitung sendiri sedangkan official assessment system adalah perhitungan
pajak oleh pihak fiscus,” terang Pak Martin, dosen matakuliah Perpajakan yang sedang
mengajar. Tiba-tiba pintu kelas terbuka dan Chintya masuk dengan kepala menunduk. “Kok
jam segini baru datang?” Pak Martin bertanya sambil melihat jam tangannya yang
menjelaskan bahwa mahasiswa ini sudah terlambat selama 55 menit. “Iya, maaf pak,” jawab
Chintya tanpa memberikan keterangan lebih lanjut dan langsung mencari tempat duduk.
“Namanya juga ‘Princess of Late’ gitu lho, kalau datengnya on time, bisa-bisa matahari terbit
dari barat,” celetuk salah seorang mahasiswi bernama Merry diikuti gelak tawa satu ruang
kelas kecuali Pak Martin dan si subyek penderita, Chintya. Sejak semester satu, Chintya
selalu datang terlambat ke kelas. Dulu, ia hanya terlambat sekitar 30 menit. Di semester ini
lebih parah, keterlambatannya sampai satu jam! Hingga teman-teman sekelasnya
memberikannya julukan sebagai ‘Princess of Late’ alias tuan puteri yang suka terlambat.
“Sekarang kita akan mempelajari teori asas pemungutan pajak,” Pak Martin lanjut mengajar
setelah suara tawa reda.

“Duh, perpajakan apa sih, bikin pusing aja,” dumel Chintya dalam hati sambil melangkah ke
kafe perpus seusai kuliah Perpajakan. Sesampainya di tempat favoritnya, Chintya memesan
coklat panas dan mulai melakukan ritualnya. Pensil 2B-nya bergerak di atas kertas A3
menggoreskan Doraemon dan kawan-kawannya yang sedang terbang dengan baling-baling
bambu. Entah mengapa, ia tiba-tiba saja merindukan masa kanak-kanaknya sehingga
dituangkannya itu lewat kartun favoritnya semasa kecil. Pak Martin adalah dosen baru di
Jurusan Akuntansi Universitas Merah Putih dan kali ini beliau mencoba mengunjungi kafe
perpus. Setelah memesan roti bakar keju, ia mencari tempat duduk dan dilihatnyalah sosok
yang tidak asing lagi. Ia melihat seorang gadis manis berambut panjang dan rambutnya itu
dimasukkan dalam lubang belakang topi berlidah. Dialah Chintya dengan gaya khasnya
setiap ke kampus. “Halo. Kamu mahasiswa saya kan? Boleh saya duduk di sini?” Pak Martin
menyapa Chintya sembari meminta izin duduk semeja dengannya. “Iya pak. Boleh pak.
Silakan,” jawab Chintya. “Oh, ternyata kamu suka menggambar ya? Bagus ya gambar kamu,”
puji Pak Martin ketika melihat sketsa gambar Chintya. “Terima kasih pak,” jawab Chintya
sambil tersenyum. “Kenapa kamu gak ambil jurusan desain grafis aja? Kayaknya kamu
berbakat deh,” Pak Martin lanjut bertanya. “Iya, maunya sih gitu pak. Tapi gak boleh sama
orang tua saya,” jawab Chintya dengan raut wajah agak sedih. “Oh, begitu, tanggap Pak
Martin singkat.

Seminggu kemudian, jurusan akuntansi semester kedua kembali mendapatkan matakuliah


Perpajakan. Kedatangan Pak Martin sudah dinanti-nantikan oleh para mahasiswi.
Bagaimana tidak, Pak Martin adalah sosok dosen muda berumur 31 tahun yang wajahnya
tampan, perawakannya tinggi, dan masih lajang. Kriteria terakhir itulah yang membuat para
mahasiswi tambah antusias. Bahkan personal genk Sweety Girls, genk terpopuler di jurusan
akuntansi, yang beranggotakan Merry, Kirana, dan Santy rela berdandan habis-habisan dan
membeli pakaian baru untuk menghadiri kuliah Perpajakan. Wow! “Untuk minggu depan,
kalian akan saya berikan tugas untuk merangkum materi yang telah kita pelajari selama dua
minggu ini. Tugasnya di buat dalam kelompok yang beranggotakan empat sampai lima
orang,” jelas Pak Martin. Para mahasiswa segera membagi dirinya dalam kelompok.
Kemudian Cindy, sang komti kelas segera menyerahkan kertas berisi daftar kelompok
kepada Pak Martin. “Semuanya sudah dapat kelompok ya,” Pak Martin memastikan.
“Palingan Chintya tuh yang belum dapet, biasaaa,” ujar Santy. “Maklum pak, anak yang gak
mau bergaul, di kelas kerjaannya gambar-gambar aja, IP-nya bottom five di jurusan,” Kirana
memberi penjelasan mewakili kenyataan. Pak Martin melihat ke kertas yang sedang
dipegangnya dan tidak ditemukan nama Chintya. “Chintya, kamu gabung ke kelompoknya
Cindy ya,” Pak Martin memutuskan.
Pada jam istirahat, Chintya dan Pak Martin bertemu kembali di kafe perpus seperti
sebelumnya. Pertemuan ini tidak direncanakan, tanpa janji, namun mereka bertemu bak
jodoh! “Kamu suka kemari ya?” Tanya Pak Martin. “Iya pak, ini tempat favorit saya. Kalau
ada jeda kuliah, saya pasti ke sini. Bapak juga suka tempat ini?” Chintya balik bertanya. “Roti
bakar di sini enak, makanya saya balik lagi, hehehe,” jawab Pak Martin. “Sori nie, kok saya
liat, kamu kuliah kaya gak niat gitu? Kasian lho orang tua kamu yang udah biayain kuliah
kamu mahal-mahal,” ucap Pak Martin. “Aduh… gimana yaa,” Chintya kebingungan
menjawab pertanyaan Pak Martin. Ia nampak mempunyai jawaban yang kuat untuk
pertanyaan tersebut namun sulit sekali dijelaskan. Pak Martin dapat membaca situasi ini
maka ia berkata, “Udah gak usah di jawab kalau gak bisa di jawab. Yang jelas saya punya
tawaran buat kamu.” “Tawaran apa pak?” Tanya Chintya penasaran. “Saya bisa bantu kamu
supaya enjoy dalam kuliah dan mungkin ke depannya IP kamu ikut membaik. Saya dengar-
dengar, IP kamu kurang baik kan?” Ujar Pak Martin. “Iya sih pak, IP saya gak bagus. Oh ya?
Kita kan baru kenal pak, kok bapak baik banget sama saya sampe nawarin bantuan seperti
itu?” Tanya Chintya heran. “Yaa… karena kamu cantik,” kata Pak Martin cuek. “Hahahaa…
gak kok, saya bercanda tadi. Saya kan dosen kamu. Yah sebagai tanggung jawab moral aja,”
sambungnya santai. “Bapak mau ajarin saya tentang matakuliah? Hmm…, boleh deh,” jawab
Chintya. “Oke, kalau begitu, kita ketemuan ya setiap hari Kamis selesai kamu kuliah di
tempat ini,” balas Pak Martin.

Sesuai perjanjian, Chintya dan Pak Martin bertemu di kafe perpus setiap hari Kamis seusai
kuliah. Dari minggu ke minggu petemuan ini menimbulkan gosip di Jurusan Akuntansi.
Banyak mahasiswa yang memergoki mereka. Mereka tampak asyik mengobrol berduaan
dan kadang sampai tertawa-tawa. Apa sih yang mereka lakukan berdua? Apa sih yang
mereka bicarakan? Kayaknya seru banget. Pertanyaan itulah yang muncul di benak semua
orang yang melihatnya. Mereka berpacaran! Itulah prediksi paling jitu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Salah satu personel sweety girl, Merry, mahasiswi yang
paling tergila-gila pada Pak Martin bagaikan cacing kepanasan karena pria idamannya jatuh
ke tangan mahasiswi yang baginya tidak ada apa-apanya. Merry mengakui bahwa Chintya
memang lebih manis daripadanya. Namun, prestasi akademis Chintya itu hancur mina, tidak
disiplin, dan kurang pergaulan. Bagaimana bisa dosen yang sempurna seperti Pak Martin
dapat tertarik pada mahasiswi yang modelnya seperti itu? “Chintya, lo ngaku deh. Lo sama
Pak Martin itu pacaran kan?” Tanya Merry pada Chintya. “Gue sama Pak Martin itu ya cuma
mahasiswa sama dosen, Merry, gak lebihlah. Mesti berapa kali sih gue bilang? Ini tuh sudah
lebih dari sepuluh kali lo nanya ke gue pertanyaan yang sama. Lo gak bosen apa? Gue aja
udah bosen banget tahu. Apalagi bukan lo aja yang nanya gitu. Anak-anak yang lain juga,
sama aja,” celoteh Chintya. “Ya terus lo ngapain berdua-duaan mulu sama Pak Martin di
kafe perpus? Pandang-pandangan, senyum-senyum, ketawa-ketawa. Udah, lo jujur aja deh
sama gue. Gue janji gak nyebarin pengakuan lo ke anak-anak lain. Soalnya gue tahu, lo takut
kan kebukti pacaran sama Pak Martin? Nanti dekan bakal ngegubris hubungan kalian. Pake
pelet apa sih lo? Sampe Pak Martin bisa ada hati sama lo,” oceh Merry panjang lebar. “Iyaa…
gue pacaran sama Pak Martin. Peletnya ada di topi gue. Makanya tiap hari gue pake topi ke
kampus. Puas lo?” Jawab Chintya yang telah kewalahan.
Semenjak kedekatannya dengan Pak Martin, Chintya mengalami kemajuan yang cukup
pesat dalam aktivitas perkuliahannya. Sang ‘Princess of Late’ tidak lagi datang terlambat
pada waktu kuliah. Tugas mandiri yang diberikan dosen selalu dikerjakannya dan
dikumpulkan tepat waktu. Pada saat matakuliah, ia tidak lagi menggambar-gambar seperti
biasanya melainkan mau memfokuskan perhatian pada dosen yang sedang mengajar.
Peralatan menggambar yang dibawanya hanya digunakan pada saat istirahat. Sedikit-sedikit,
Chintya mulai membaurkan diri dengan teman-teman sekelasnya. Pada saat pembagian
kelompok kerja, ia aktif mencari teman kelompok. Teman-temannya pun dengan mudah
menerima kehadirannya karena ia sudah dapat memberikan kontribusi dalam tugas
kelompok, tidak seperti dahulu yang hanya ‘menitipkan nama.’ Selain itu, di semester dua
ini, Chintya berhasil meraih IP 2,9. Bila dibandingkan dengan IP-nya semester lalu yang
berkisar 1,8, ini berarti peningkatan yang signifikan! “Ternyata cinta itu mempunyai
kekuatan yang luar biasa ya. Cinta bisa mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Cinta bisa menjadikan yang buruk menjadi indah. Cinta juga dapat mengubah sikap, dari
malas menjadi rajin, dari ogah-ogahan menjadi semangat. Dan gue baru tau, kalau cinta itu
bisa naikin IP. Liat aja Chintya. Sejak dia sering berdua-duaan sama Pak Martin di kafe
perpus alias pacaran, dia mulai berubah jadi mahasiswa yang disiplin, nilainya juga lumayan.
Tadinya gue pikir, cinta itu destruktif lho. Kalau kita tiap hari pacaran, SMS-an, BBM-an,
terus malam minggu jalan-jalan mulu, kan buang-buang waktu. Entar jadinya gak ada waktu
buat belajar sama ngerjain tugas secara maksimal. Ujung-ujungnya IP turun… Makanya
sampe sekarang gue milih ngejomblo. Ngejomblo demi prestasi, hahaa…,” ujar Cindy, sang
komti kelas yang IPK-nya selalu top three di Jurusan Akuntansi. “Tepatnya, cinta itu adalah
sumber air yang mempunyai dua arus, yaitu prospektif dan desktruktif. Balik lagi ke sikap
kita, yang bakal nentuin ke arus mana kita terbawa,” balas Bella, sahabat Cindy yang tengah
mengobrol bersamanya. Seperti itulah rata-rata tanggapan mahasiswa Akuntasi mengenai
progres perkuliahan Chintya.

Pada semester berikutnya, Pak Martin tidak lagi mengajar Jurusan Akuntansi angkatan
Chintya karena beliau ditugaskan mengajar matakuliah semester awal. Jadwal kuliah Chintya
juga berbeda dengan jadwal mengajar Pak Martin. Oleh karena itu, Chintya dan Pak Martin
tidak pernah lagi bertemu di kafe perpus. Gosip mengenai kedekatan mereka kian lama kian
pudar. Ada yang mengatakan bahwa mereka sudah putus, ada juga yang menerka kalau
mereka bertemu di luar kampus. Namun, sikap baik Chintya yang ditunjukkannya
belakangan tetap bertahan, yakni kedisiplinan dan ketekunannya. Bahkan di semester paling
akhir, Chintya mampu menghasilkan prestasi yang terbaik, yaitu mendapat IP 4 di semester
itu. “Chin, selamat yaa… Nilai lo bagus banget. Pasti berkat diajarin sama Pak Martin. Hoki
bener lo punya cowok kaya gitu, hahahaa…,” ucap Rio, teman sekelas Chintya yang sedang
melihat nilai bersamanya di papan pengumuman. “Yup, selamet juga ya buat lo, nilai lo juga
memuaskan kan? Yahh… lo ada-ada aja. Gue belajar sendiri donk, hahahaa…” jawab Chintya
santai.

Akhirnya, tiba juga hari ini. Hari spesial yang dinantikan oleh Chintya dan semua teman-
teman kuliahnya. Anak-anak perempuan tampil anggun dengan kebaya warna-warni dan
rambut yang disanggul. Chintya yang kesehariannya tampil tomboi dengan kaos, celana
panjang, dan memakai topi, kini menunjukkan sisi femininnya. Ia mengenakan kebaya
berwarna ungu muda berhiaskan bunga-bunga kecil. Merry, Kirana, dan Santy juga tak kalah
cantik. Mereka bertiga sama-sama mengenakan kebaya berwarna merah muda untuk
menunjukkan kekompakan genk mereka dan penggunaan warna merah muda ini
dimaksudkan juga sebagai simbol manis dan centil, sama seperti kepribadian mereka. Cindy
mengenakan kebaya warna putih dan beberapa temannya menggodainya mau menikah.
Masih banyak warna lain yang bertebaran seperti hijau, oren, biru, merah, kuning, dan lain-
lain. Warna-warni yang menampilkan keceriaan sama seperti hati mereka. Sementara anak-
anak lelaki tampil gagah dengan celana panjang, kemeja lengan panjang, dipadukan dengan
dasi kupu-kupu. Mereka semua telah berkumpul di auditorium kampus. Ya, inilah Hari
Wisuda Universitas Merah Putih Jurusan Akuntansi. Acara ini berbentuk formal namun
dapat diikuti dengan santai oleh semua peserta karena mereka berasal dari satu jurusan,
yakni akuntansi. Jadi, wisuda mereka tidak perlu tercampur oleh mahasiswa-mahasiswa
asing yang berasal dari jurusan lain. Suasana kekeluargaan begitu terasa karena semua
mahasiswa telah saling mengenal, paling tidak wajahnya tidak asing lagi. 127 mahasiswa
beserta orang tuanya, Rektor, Wakil Rektor, Dekan Fakultas Ekonomi, Ketua Jurusan
Akuntasi, dosen-dosen akuntansi, termasuk Pak Martin hadir memenuhi ruangan itu.

Acara dimulai tepat pada waktunya. Pembawa acara mengawalinya dengan doa, dilanjutkan
dengan pidato dari Rektor, Dekan, dan Ketua Jurusan. Semua mahasiswa diundang berdiri
untuk menyanyikan “Himne Universitas Merah Putih.” Tibalah saatnya pelantikan
wisudawan-wisudawati. Satu persatu nama mereka di panggil untuk dinobatkan secara
resmi sebagai sarjana dengan gelar S.E yang disematkan di belakang nama mereka.
Kemudian, Bapak Yanto, selaku Ketua Jurusan Akuntansi mengumumkan nama mahasiswa
yang mendapatkan juara tiga besar berdasarkan IPK. “Juara tiga dicapai oleh… Surya
Chandra. Juara kedua… Carissa Wilmona. Dan juara satu… Cindy Putri.” Para top three maju
ke depan untuk menerima piala dan foto bersama. “Berdasarkan peraturan universitas yang
dimandatkan oleh Bapak Rektor kepada saya, akan diberikan penghargaan kepada satu
orang mahasiswa di setiap jurusan sebagai ‘Mahasiswa Teladan,’ Pak Yanto melanjutkan
pembicaraannya. “Saya telah melakukan observasi dan menerima laporan mengenai
perkembangan pembelajaran setiap mahasiswa selama empat tahun. Oleh karena itu, saya
telah memutuskan bahwa mahasiswa yang berhak menerima predikat sebagai Mahasiswa
Teladan adalah…” Semua mahasiswa saling berpandang-pandangan. “Chintya Aryanto…,”
seru Pak Yanto. Semua hadirin bertepuk tangan dan Chintya diundang maju ke depan.
“Predikat Mahasiswa Teladan tidak harus jatuh ke mahasiswa yang paling pintar atau paling
sering mewakili universitas mengikuti perlombaan. Predikat ini sebagai wujud penghargaan
bagi mahasiswa yang mau berusaha dan mengalami progres yang banyak selama
perkuliahan. Bapak tahu Chintya. Di semester awal, sikap dan prestasinya tidak baik.
Namun, di luar dugaan, di semester selanjutnya ia memperbaiki diri. Pihak Jurusan
menghargai usaha Chintya. Maka predikat Mahasiswa Teladan layak diterima oleh Chintya.
Chintya, bisa ceritakan sedikit tentang keberhasilan kamu?” Pak Yanto mempersilakan
Chintya untuk berbicara. “Segala yang saya peroleh pada saat ini tidak lepas dari bantuan
seseorang yang begitu menginspirasi hidup saya. Semuanya tentu sudah bisa menebak siapa
dia. Iyaa, dia adalah Pak Martin. Dulu, saya kuliah ogah-ogahan karena masuk jurusan yang
tidak saya inginkan. Saya minatnya ke desain grafis makanya sering gambar-gambar. Tapi
orang tua saya gak setuju. Mereka mau saya belajar perekonomian. Sulit banget rasanya
ngejalanin kuliah yang gak sesuai minat. Lalu, saya bertemu Pak Martin. Beliau memotivasi
saya bahwa segala halangan yang menghadang ketika kita ingin mencapai kesuksesan harus
dianggap sebagai batu loncatan. Semakin tinggi batu loncatan, kita belajar semakin tinggi
melompat, dan di balik itu ada pemandangan yang indah. Bila di jalan kesuksesan kita
bertemu tembok penghalang, tembok itu harus di panjat, bukannya berdiam diri di baliknya.
Meloncati batu loncatan atau memanjat tembok penghalang tidak akan menimbulkan
kelelahan atau membuat kita kehabisan tenaga melainkan akan menghasilkan kekuatan diri,
maka nikmati saja prosesnya,” cerita Chintya penuh semangat. “Wah, ternyata Pak Martin
selain dosen juga motivator ya? Hebat bisa kasih pencerahan seperti itu. Pak Martin, boleh
diceritakan dari mana anda mendapatkan kata-kata mutiara seperti itu?” Pak Yanto turut
mengundang Pak Martin maju ke depan. “Kata-kata itu bersumber dari pengalaman pribadi
saya. Dulu setelah lulus SMA, saya ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Namun, bermasalah di biaya. Orang tua saya mempunyai sejumlah uang yang kira-kira
cukup untuk biaya kuliah saya. Tetapi mereka meminta saya agar menggunakan uang
tersebut sebagai modal membuka toko. Membuka dan menjaga toko bukan minat saya.
Saya lebih menyukai dunia perkantoran. Saya dulu buka toko plastik dan jaganya ogah-
ogahan. Orang yang mau belanja tidak saya layani dengan baik. Lalu, saya sadar jika saya
ogah-ogahan, yang capek adalah diri saya sendiri. Saya berusaha bersemangat mengurus
toko tersebut walaupun sulit rasanya. Saya mencoba melengkapi barang dagangan dan
melayani pembeli dengan ramah. Toko saya jadi ramai dan untungnya banyak. Dari sana,
saya dapat menabung untuk biaya kuliah saya. Jadi, tercapailah impian saya. Malahan saya
bisa kuliah sampai S2,” kenang Pak Martin. “Itulah yang diceritakan Pak Martin pada saya.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengkonfirmasi hubungan saya dengan Pak Martin,
bahwa kami tidak pernah berpacaran. Kami bisa dekat karena persamaan nasib dan Pak
Martin memberikan teladan pada saya. Sungguh beliau dosen yang baik. Waktu itu saya
pernah bilang sama Merry kalau kami berpacaran karena saya sudah jera dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan saya. Saya dan Pak Martin adalah mahasiswa
dan dosen, tidak lebih,” tegas Chintya. “Oh ya, pada kesempatan yang baik ini, saya ingin
mengumumkan sesuatu. Dua minggu lagi, saya akan menikah. Mohon doa restu dari kalian
agar semuanya lancar,” pinta Pak Martin. “Huaaahhh… terus nasib gue gimana dong?
Huhuhuu…” jerit Merry diikuti tawa para mahasiswa sementara Kirana dan Santy berusaha
menenangkannya. “Kalau begitu, berarti Pak Martin telah mendapatkan apa yang dia
impikan. Dia hanya perlu meneruskannya. Chintya, apa rencana kamu selanjutnya untuk
mencapai impian kamu?” Pak Yanto bertanya pada Chintya. “Selama ini saya telah berusaha
memperbaiki IPK. Di samping itu, sambil kuliah saya sering mengikuti lomba gambar yang
saya dapatkan lewat internet, poster, koran, majalah, atau tabloid. Ada yang menang ada
yang gak. Yang penting usahanya. Dan itu semua akan saya jadikan sebagai kualifikasi saya
untuk melamar beasiswa kuliah desain grafis di Inggris.”

Cerpen Karangan: Nita Setiawan


Ujian Nasional, Dilema Sang Guru
Di luar terdengar lagu dangdut murahan dibunyikan keras-keras. Sedangkan aku.. aku
menjejalkan lagu korea ke telingaku. Bukan tidak mencintai karya negeri sendiri. Tapi cinta
memang tidak bisa dipaksakan akan jatuh kemana. Hari-hari sudah cukup menekan disini
tanpa lagu-lagu dangdut itu. Sedikit pelepas ketegangan hanya itu yang aku butuhkan.
Alunan lembut suara IU… sejenak… bisa membuatku melupakan badai yang sedang
berkecamuk di hati, pikiran dan tubuhku.

Entah kemana idealisme itu sudah kulemparkan. Mungkin seperti batu hitam yang jatuh ke
laut dalam atau seperti bumerang milik suku Aborigin yang kini sedang berbalik
menyerangku. Yang kulakukan adalah pengkhianatan. Bukan terhadap orang lain, tapi
terhadap diriku sendiri. Apakah rupiah itu? Atau memang kelemahan yang sudah lama ada
bahkan sebelum idealisme ku menemukan namanya. Hanya karena permintaan menghiba
dari seorang kepala sekolah yang juga menjadi korban sistem kemunafikan dalam lembaga
pendidikan yang seharusnya didirikan untuk menjadi wadah perubahan dan pencetak para
cendikia.

“Tolong lah… Bu. Anak-anak kita tak akan bisa lulus jika mereka harus mengerjakan soal itu
sendiri”,

“Kasihan mereka Bu, sebagai guru, inilah yang kita bisa berikan bagi mereka”.

Ya. Satu pertolongan terakhir bagi anak-anak pulau yang lebih gemar bermain dan melaut
ketimbang belajar. Toh, mereka semua akan lulus juga. Lihatlah lah coreng moreng itu
sekarang. Di tempat ini, mereka malah dibimbing untuk berlaku curang. Salahkah anak-anak
itu jika moral mereka terus terdegradasi, di tempat etika seharusnya berlaku mutlak,
mereka malah menemukan pelecehan terhadap etika moral dan kejujuran diinjak blak-
blakan.

Semua kobaran kemarahan dan idealisme itu padam seperti tersiram air dingin. Aku benci
melihat diriku bersusah payah mengerjakan soal-soal sialan itu. Seribu kali!!! Mau jadi apa
siswa-siswa itu? Kabupaten yang ingin namanya harum mengambil jalan pintas berbagai
rupa. Hemh! Lihat saja jalan yang sudah disediakan itu, berubah menjadi semak belukar.
Jalan pintas itu kini sudah serupa jalan tol, lengkap dengan pintu, penjaga dan tarifnya.
Kemanakah jalan itu menuju? Ke dunia luar yang memang persis seperti inilah keadaanya,
kurang lebih. Apakah cara-cara yang diterapkan memang sudah tepat, mengingat
setamatnya mereka dari sekolah, mereka akan terjun dan berbaur dalam masyarakat.
Mereka sudah kami ajarkan untuk mengenal kata ‘kompromi’ dan kami didik untuk
memahami dengan pasti bahwa ‘tidak ada peraturan yang tidak bisa dilanggar’. Dan trik
untuk mencapai sukses dalam hidup.. yaitu… ‘jangan melawan arus’. Mereka juga sudah
kami bekali dengan rumus untuk bisa bertahan dalam dunia nyata ‘kejujuran hanya dipakai
seperlunya saja’. Karena begitulah yang marak mereka lihat di televisi, jika channel favorit
mereka yang menayangkan sinetron kebetulan sedang iklan dan mereka melewati saluran tv
yang terus-menerus memutarkan berita. Karena begitulah yang terjadi di indonesia.
Hidup memang pilihan, dan aku sudah memilih untuk ikut terlibat dalam permainan ini.
Hanya karena aku tak mau didiskualifikasi karena melanggar peraturan yang sudah
ditetapkan, play unfair. Menyadari kalau ternyata aku tidak cukup tangguh untuk bisa
berkata ‘tidak’, membungkam suara yang biasa kuteriakkan… aku pun tak jauh berbeda.

Pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan perubahan jaman, itulah yang sedang
berlaku saat ini. Bagaimana pendidikan moral bisa diterapkan jika moral para pendidiknya
saja masih patut dipertanyakan. Bukan gaji yang besar yang dibutuhkan, tapi jiwa yang
berkali-kali lipat lebih besar untuk bisa bertahan dalam profesi ini dan tetap waras. Pelan-
pelan… aku sudah mulai membenci anak-anak ini. Di mataku, mereka adalah kertas buram
dan lusuh. Bukan kertas putih yang masih kosong yang bisa dicat warna-wani pelangi. Aku
mendadak kehilangan kemampuanku untuk melihat sisi putih dari legam kulit mereka. Anak-
anak itu sudah menjadi kriminil sejak masih di sekolah dasar. Menyalahkan keluarga dan
lingkungan mereka adalah yang kami lakukan disini. Bukan perasaan seperti ini yang ingin
aku rasakan ketika memutuskan untuk mengikuti program sm3t. Ottokhe… bagaimana
dengan hatiku. Bagaimana dengan idealismeku. Bagaimana nasib pendidikan negeri ini
kelak? Tempat ini punya kekuatan untuk membangkitkan seluruh sisi negatifku. Kini aku
hanyalah seorang guru yang pesimis dan apatis.

Cerpen Karangan: Marine

Bangkit
Cahaya bulan malam ini begitu terang, bintang pun berkelap kelip memamerkan
keindahannya. Aku berjalan menyusuri sebuah lorong nan sepi, tak ada satu pun orang
disana. Hatiku terasa sepi dan gundah dengan segala kekacauan yang terjadi hari ini. Sebuah
hari dimana seharusnya kebahagiaan ku dapati.

Namun apa yang terjadi? Hal buruk justru menimpaku bertubi-tubi, konflik dengan orang
tua karena tidak lulusanku, penghargaan ulang tahun yang sudah gagal, hadiah sepeda
motor yang gagal ku dapat, adik yang menyebalkan dan sorak sorai teman-teman yang
kelulusannya.

Hari-hari yang keras karena kisah cinta pahitku. Hingga indahnya malam ini seakan tak
mampu membuatku tersenyum lagi. Tetesan air mata mulai mengalir di pipiku dan perlahan
ku usap.

Ya, sakit memang putus cinta. Rasanya beberapa menit lalu kata-kata terakhirnya masih bisa
kurasakan merobek-robek hatiku “sudah sana… pergilah jika itu yang kamu inginkan! Kamu
kira aku tak bisa menemukan yang lebih baik darimu.

Semoga kamu tak menyesali keputusanmu yang telah menyia-nyiakan cinta suciku!
” kutipan pesan yang masuk ke ponselku.

Beberapa telepon masuk pun sengaja ku tolak karena sudah begitu muaknya. Air mata terus
mengalir di pipiku diikuti dengan sakit kepala yang mulai terasa. Seakan tak mampu bangkit,
aku terus duduk termenung di pinggir jalan.

“Halo mba .. lagi sedih banget nih kayanya, bisa bagi uangnya dong” ucap seorang pemuda
yang sedang mabuk menghampiriku.

Karena tidak meresponnya, pemuda itupun pengancamku dengan sebilah pisau lipat yang
dikeluarkan dari saku celana jeansnya. Tanpa berfikir panjang, ku ambil tas di sebelahku dan
kuserahkan semua uang yang ku miliki.

Ambil semua ini dan pergilah menjauh!

Kembali ku susuri jalan hingga sampailah ke sebuah jembatan tua dengan jurang tinggi di
bawahnya. Kakiku mulai melangkah maju dan ku angkat kaki kananku.

Selangkah lagi tubuhku akan jatuh ke dalam jurang, semua kekacauan di hatiku seakan
menghilangkan rasa takutku terhadap ketinggian.

Namun tiba-tiba seseorang menarik bajuku. Ternyata pria pemabuk tadilah yang menarikku
menjauh dari pinggir jembatan.

“Kenapa kamu lakukan ini, kenapa kamu menolongku?!”

Tanpa berkata apa-apa ia pergi meninggalkanku lalu ku kejar dia. Setelah beberapa saat ia
baru mulai berbicara.
“Aku sangat membenci orang-orang lemah sepertimu. Maaf jika aku menarikmu” ucapnya
sembari menatapku tajam dan menjulurkan tangannya. Kaget bukan main ku lihat
tangannya yang ternyata sisa 2 jari saja.

“Kaget ya, ini adalah bukti kerasnya kehidupan di jalan. Jariku yang lain hilang dipotong
preman karena persaingan.” Karena tak ku sabut jabatan tangannya, ia pun meletakkan
kembali tangannya dan melanjutkan ceritanya.

“Maaf ku ambil tasmu, sudah 3 hari aku tak makan. Biasanya aku makan dari sisa makanan
di tong sampah. Namun karena hujan deras kemarin, semua makanan yang ku anggap masih
layak sudah berubah membusuk.”

Memang jika dilihat dari tubuhnya, ia sangat kurus. Sembari menahan aroma alkohol yang
begitu menyengat dari mulutnya, ku berikan kembali tasku padanya. “Ambilah ini, mungkin
kamu lebih membutuhkannya.”

Dari percakapan singkat dengannya, hatiku mulai kembali kuat. Tak bisa kubayangkan jika
aku yang berada di posisinya.

Ya meskipun hidupku selalu kecukupan, namun tak pernah ada rasa syukur di hati. Pria yang
selama ini ku perjuangkan namun ternyata selalu membuatku kecewa pun seakan tak lagi
membebaniku.

“Pulanglah, masih banyak yang menanti kepulanganmu!” ucapnya sembari beranjak


menjauh dariku.

Malam semakin sunyi, ku susuri jalan ke arah rumah. Ketika sampai di jalan jalan, ku dapati
kekasihku berdiri dengan segenggam bunga di tangan.

3 orang yang ku kenal juga berdiri menantiku, ya orang tua dan adikku kedua pun ikut
mencariku.

“Maaf sayang, aku telah banyak mengecewakanmu dan salah menilaimu” pelukan erat
mendarat di badanku. Tak kuasa menahan tangis haru, ku peluk balik kekasihku.

Beberapa saat berlalu ia menyerahkan bunga untuk dan sebuah buku kecil yang ternyata
diary ku.

Di buku kecil aniaya aku keluh kesah dan rasa banggaku pada sosok pria yang sedang
menggenggam erat tanganku ini.

Di balik sana, keluargaku tersenyum melihatku kembali. Kami pun masuk ke mobil dan pergi
ke mal untuk ulang tahunku. Ya meskipun hadiah motor tetap tak kudapat karena aku gagal
lulus ujian.

Sebelum Awal Kesuksesan


Saat itu masa masuk sekolah, semua sibuk menanti pengumuman. Sedangkan adi si idiot itu
duduk di depan sebuah ruang kosong yang lama tidak digunakan, dia duduk dan membaca
sebuah buuku yang tebal.

Dia memang sangat terkenal dengan sifatnya yang pendiam dan cenderung menyendiri, dia
selalu membawa satu buah buku di tangannya. Saat ujian penentuan kelulusan kemarin dia
mendapat nilai tertinggi di kelas, waktu itu ada seorang anak yang datang terlambat
mengikuti ujian, andre begitulah semua memanggilnya, dia memang suka berangkat
terlambat.

“Tok… tok… tok…!. Assalamualaikum… boleh saya masuk pak?” suara pintu kelas terketuk di
lanjutkan dengan suara di balik pintu itu.

“Walaikumsalam… siapa ya?”. Tanya guru pengawas yang tengah duduk di mejanya.

“Saya pak, Andre!”. jawabnya dengan lantang.

“Ya, silahkan masuk”. Jawab pak guru, dan mempersilahkannya masuk.

Dengan cepat andre masuk dan segera mengambil selembar kertas ujian, dengan cepat ia
duduk dan mengerjakan, karena waktu hampir habis.

“lima menit lagi anak anak!”. Suara itu memberikan tanda bahwa waktu hampir habis.

Dari sudut tempat aku duduk terlihat andre yang tegang dan buru buru karena waktunya
akan habis, banyak keringat yang menetes di mejanya, sedang si idiot itu terlihat tenang dan
santai.

Dan benar setelah lima menit bel berbunyi.

“Kring… kring… kring…”. Bel petanda selesainya ujian kini benar benar berbunyi, semua
peserta ujian menyerukan suaranya.

“Hore…, akhirnya ujian selesai”. Sementara anak itu masih mengerjakan ujian dengan
terburu buru.

“Waktunya selesai anak anak. Semua kumpulkan kertas ujiannya di depan!”. Perintah pak
guru.

“Baik pak…”. Sahut semua peserta ujian. Kecuali si idiot itu ia tidak berkata apa apa dari tadi.
Semua segera mengumpulkan kertas ujiannya di meja guru pengawas.

Contoh Kalimat Imperatif

Setelah ujian waktu itu, semua siswa sibuk mennggu hasil ujian yang akan diumumkan
besok.
“Mungkinkah aku lulus?”. Tanyaku di dalam hati. Akhirnya waktu yang ditunggu datang juga,
hari itu tiba semua siswa datang ke sekolah dan tertuju pada sebuah ruangan tempat
pengumuman kelulusan. Tiba di sana semua rasa tercampur jadi satu.

“Duk… duk… duk…”. Suara langkah kaki terdengar mendekati ruangan ini, semakin lama
semakin keras.

“Ya alloh…, semoga lulus”. Suara harapan itu terus terdengar, semua menunggu hasilnya
sementara si idiot itu tampak duduk menyendiri, dan tidak menghiraukan semua yang ada
di ruangan itu.

Langkah kaki itu terhenti, tampak salah guruku di depan.

“Selamat pagi anak anak!”. Sapanya kepada semua siswa.

“Selamat pagi pak!”. Sahut semua siswa dengan lantang.

Tanpa banyak bicara lagi pak guru langsung membuka secarik kertas hasil ujian kemarin.
Akhirnya, semua perjuangan selama ini akan ditentukan hari ini.

“Semua peserta ujian dinyatakan lulus semua”. Ujar pak guru, setelah membaca hasil ujian.

“Alhamdulillah…”. Semua menyerukan kata yang sama diruangan itu.

“Baiklah anak anak. Untuk juara III diraih oleh… stevan!. Juara I dan juara ke II diraih oleh adi
dan andre!. Untuk peraih juara I, II dan III selamat untuk kalian”.

Semua siswa terdiam dan tampak heran, bagaimana tidak pasalnya stevan anaknya cupu,
andre dia suka terlambat berangkat sekolah, dan adi si idiot itu dia tidak pernah
bersosialisasi dengan teman temannya. Sedangkan aku berada pada peringkat ke IV
dibawah anak cupu itu.

Setelah pengumuman semua kembali pulang ke rumah masing masing, aku yang masih
merasa aneh dengan hasil ujian yang disampaikan pak guru terus memikirkannya sampai di
rumah. Mungkin itulah hasil kerja keras mereka selama ini, yang semua orang tidak tahu.
Dan dari pengalaman yang aku alami aku bisa belajar untuk lebih menghargai orang dan
tidak menggapnya sebelah mata.
Jiwa Wirausaha
Yesi adalah salah seorang mahasiswa berprestasi di sebuah universitas ternama. Selain jago
dalam bidang akademis, Yesi juga termasuk mahasiswa yang aktif dan sama sekali tidak
gengsian. Terbukti dengan usahanya untuk menjual cemilan sehat dari rumput laut yang ia
olah sendiri.

Produk dengan cita rasa lezat tersebut ia jual dengan harga yang relatif murah. Awalnya ia
hanya memasarkan produknya pada teman kuliah, dosen dan staff kampus. Akan tetapi
setelah berjalan cukup lama ia mulai eksis di dunia maya untuk lebih mengembangkan
bisnisnya.

“Yes, kamu kok memilih berjualan cemilan seperti ini, sedangkan kamu adalah mahasiswa
berprestasi yang pasti bisa dengan mudah mendapat pekerjaan di perusahaan besar. Lagi
pula cemilan kamu kan dijual dengan harga relatif murah, apakah kamu yakin
keuntungannya seimbang dengan uang yang akan kamu dapat dengan bekerja di
perusahaan besar?” Tanya teman Yesi yang penasaran dengan keputusan mahasiswa cantik
ini.

“Iya memang benar, mungkin aku bisa dapat pekerjaan di perusahaan bonafit dengan gaji
besar. Tapi aku kuliah dengan biaya besar bukan untuk mengembalikan modal dan
menumpuk kekayaan kelak. Aku lebih bahagia kalau ilmuku bisa bermanfaat bagi kesehatan
orang, Ya contohnya cemilan sehat yang aku buat dengan riset hasil aku menempuh
pendidikan di universitas ini.”

Jawaban Yesi yang dalam tersebut lantas membuat temannya diam terpaku.

Anda mungkin juga menyukai