Antologi Cerpen Dan Puisi
Antologi Cerpen Dan Puisi
Antologi Cerpen Dan Puisi
LINGKA
R PENA
SEJARA
H
CERITA
PENDE
K
Sosok Embun
Menjelang sore, langit melepas warna merah dan putih kapas di langit. Aku pulang
sekolah. Akhir-akhir ini Aku sering pulang sore. Bahkan bablas maghrib. Semenjak kenal
oganisasi, Aku selalu disita olehnya. Waktu, tenaga dan pikiran. Apalagi sekretaris. Aku
nyaris tak ada waktu mengerjakan PR di rumah kecuali mencuri waktu tidur atau
mengorbankan waktu bermain bersama keluarga. Menyebalkan. Tapi seru juga. Aku sendiri
bingung. Aku senang dalam sibuk. Super sibuk.
Ibuku terduduk manis menyambutku di ruang tamu dengan benang di jemarinya dan
sepiring manik-manik. Aku meraih jemarinya dan bersalaman takdzim kepadanya.
“Ya, bu.”
Sudah tak asing lagi di telingaku mendengar perintah ibu untuk istirahat. Dan tak
asing juga di mata ibu melihat mukaku kusut kecapean. Tak jarang Aku bersalaman ketika
ibu memakai mukena. Seperti biasa aku membantingkan badan di atas kasur dan “Huh!”.
Aku menghembuskan nafas kuat-kuat, membentangkan tangan dan kaki seolah menjemur
badan dalam terik matahari, melemaskan kembali otot-otot yang kupakai selama acara bedah
buku di sekolah.
Ibu mendengar gebrukan dari kamarku dan mengingatkanku untuk shalat karena
terkadang Aku ketiduran sampai lupa tidak mengganti pakaian putih abu-abu ini.
“Iya, Bu.”
Aku menarik dasi dan mengalungkan handuk di leherku. Kugebyurkan air setelah
keringat sedikit menguap. Kuambil wudhu dan berjumpa dengan Sang Khaliq dalam takbir
sujud maghribku.
Seperti biasa kunyalakan komputer dan menggapai seberkas proposal yang akan
kugarap. Inilah santapanku. Cukup menguras waktu belajar dan tenaga. Kadang membuatku
pusing dan frustasi. Apalagi kalau salah dan tidak mendapatkan tanda tangan kepala sekolah.
Menyebalkan. Revisi lagi, revisi lagi. Enaknya sih Aku punya smartphone biar bisa kontakan
sama guru pembina dan rekan-rekan di sosmed. Lagian, SMS di HP butut murahku ini
hampir padam diserbu internet.
Aku beranjak dari meja komputer ke meja makan mengambil sepiring nasi dan sesiuk
tempe kering kemudian menyantapnya di ruang tamu bersama ibu.
“Iya, Bu, tadi siang ada bedah buku. Minggu depan perayaan hari guru. Aku harus
garap proposal lagi. Capek banget, Bu.”
“Bu, kalau dipikir-pikir Aku itu sibuk banget dan perlu berkomunikasi lewat sosmed
seperti Facebook, twitter, BBM dan semacamnya. Kalau SMS kurang efektif bu. Soalnya
mereka juga sudah pake smartphone.”
“Oh, begitu yah. Ibu ndak tahu hal itu. Yang kamu maksud itu HP yang tidak ada
tombolnya, sebesar papan pemotong sayuran di dapur?” Tanya ibu penasaran.
Aku mengangguk.
“Berapa harganya?”
“Yang bagus sekitar 3 jutaan. Tapi Aku yang menengah aja, 1,5 jutaan.”
Malam berlalu dengan kehangatan suasana berbincang dengan ibu di ruang tamu.
Keesokan harinya ibu membawakanku sebuah kotak yang masih disegel terbungkus
plastik toko HP.
“Nak, yang model ini bukan? Kalau tidak suka Ibu tukar lagi.”
Aku meraihnya dengan sergap.
Aku memeluk ibu dengan erat. Kulihat senyumnya yang lebar kala itu. Aku semakin
sayang ibu. Baru saja bulan kemarin ibu membelikan aku komputer, kini aku dibelikannya
HP. Ibu memang sangat perhatian kepadaku. Aku cinta ibu.
Senja di purnama baru. Sepulang sekolah aku berjalan kaki membawa lelah. Lebih
lelah dari biasanya. Mungkin juga karena perasaanku yang bercampur kegelisahan. Aku
merasa sangat bersalah kala itu. Aku tak mampu menjelaskan lebih detailnya. Yang jelas, aku
berjalan sengkoyongan menyeret kaki.
“Assalamu’alaikum.”
Hening menyambutku di rumah. Tampak sepucuk kertas tak berkeping nama di atas
meja. Aku meraihnya.
Arsyad sayang.
Ibu tidak bisa mendampingi kesibukanmu selamanya. Ibu telah tiba di penghujung
hari. Terima kasih telah menjadi anak Ibu yang shaleh, pintar, rajin dan semangat. Jaga
terus kesehatanmu. Ibu tak punya apa-apa lagi selain perabot rumah tangga. Tapi Ibu ikhlas
mengeluarkan seluruh harta Ibu demi kesuksesan Arsyad. Sebenarnya Ibu mau mengabulkan
keinginanmu sejak dulu. Namun ayahmu yang bijaksana melarangnya dengan alasan belum
saatnya. Ayah juga sayang sama Arsyad.
Maafkan Ibu.
Aku segera menuju kamar ibu. Sebuah lemari terbuka dan berserakan. Aku
menghampirinya. Isinya benar-benar menyanyat hati. Kwitansi penjualan emas dan resep
dokter tergeletak di sana. Aku baca resep itu. Aku nyaris tak mempercayainya, tapi apa yang
kubaca memanglah benar. Ibu divonis hidup satu minggu lagi. Ternyata ibu mengidap kanker
ganas. Mengapa ibu tidak bilang sejak dulu? Ataukah ini memang benar sifat seorang ibu
yang berani berbohong demi senyum anaknya?
“Ibu! maafkan Aku. Aku tahu ibu ingin melihat anaknya bahagia, bagaimanapun
caranya. Semoga Allah mengabulkan kebaikan hati ibu dan semoga ibu tenang di sisi-Nya.”
Batinku.
Hatiku tertekan. Aku belum dewasa, Aku belum bisa hidup tanpa bimbingannya, Aku
butuh kehangatannya. Aku benci senja. Aku ingin selalu di pagi hari dengan terpaan embun
menyelimuti hari.
Biodata Penulis :
Firdan Fadlan Sidik adalah mahasiswa aloof yang punya banyak asa di setiap harinya. Tak
pintar berkata-kata, namun penyuka sastra. Tak pintar bernegosiasi, namun suka berimajinasi.
Dia tak dikenal dunia, namun ia punya dunianya sendiri.
Cahaya Dibawah Atap
Terlihat bayangan kayu yang tertancap sangat panjang, ayam mulai pulang ke
rumahnya untuk beristirahat, burung-burung memanggil anaknya untuk segera kembali ke
dahan pepohonan. “Pak rambat, ayo segera pulang, hari sudah sore!”, teriak asep memanggil
bapaknya untuk segera mengangkatkan kakinya dari lumpur yang menemaninya selama
seharian. “ iya, sebentar lee...”, jawab Pak Rambat kepada asep. kemudian, mereka berlalu
meninggalkan tempat mencari kehidupan bersama bayangan mereka, bersamaan dengan
berlalunya sang mentari sore.
Terlihat dari kejauhan mereka mendekati gubuk sederhana di pinggir sungai, yang
disana ibu sudah menanti kepulangan suami dan anaknya itu. Sambil membersihkan beras di
depan rumah, “ alhamdulillah sudah pulang, cepatlah mandi dan shalat, pak ?”,ujar ibu nay
kepada suaminya. “ alhamdulillah bu, iya bapak sekalian membersihkan cangkul dan baju
juga”. “tidak usah pak, biar saya yang membersihkannya”, sahut ibu nay pada suaminya itu. “
Ya sudah bu terima kasih..”, jawab pak rambat. “ sudah menjadi kewajibanku pak untuk
mengurusi bapak dan juga anak kita.
Terdengar kumandang adzan telah tiba, di bawah genteng dan juga bambu yang
sudah keropos, pak rambat, ibu nay dan ke empat anaknya shalat berjamaah dan juga makan
bersama. Terlihat mereka melahap sajian ibu nay dengan sepotong lauk, yang dibagi secara
rata, saling menikmati dan menghabiskannya, mungkin karena seharian bekerja dan
melakukan kegiatan mereka seharian suntuk. “ Bapak, minggu depan kami sudah kembali
lagi ke sekolah untuk belajar, lalu...”, ujar khoir, anak pertama pak rambat itu. Belum selesai
khoir berkata, pak rambat memotong tanda sudah mengerti apa yang khoir itu maksud. “ iya,
bapak usahakan bersama ibu untuk membeli peralatan sekolah kalian, bersabarlah akan bapak
carikan.”. “ terima kasih pak”, jawab ida, putrinya yang paling kecil. Setelah itu mereka
berlalu untuk mengaji dan juga merapikan pakian sekolah mereka.
Pak rambat, saya ingin bercerita mengenai kehidupan saya, bukan bermaksud saya
membuka aib ataupun yang lain, namun saya berharap siapa tahu, bapak atau ibu bisa
memberi motivasi untuk saya. Sejak kecil kehidupan saya serba kekurangan, bapak saya
hanya seorang petani, menghidupi saya dan adik-adik. Setiap harinya saya mencari jagung,
kadang membeli jika ada uang, kemudian menggilingnya untuk makan satu rumah. Ibu hanya
memasak satu gelas beras, untuk bekal bapak mencari uang. Sampai setiap bapak pergi
bekerja, adik saya berebut sisa nasi yang ada di piring. Saya hanya melihatnya dan dihati ini
terasa tidak tega melihatnya.
Setiap sepulang sekolah, aku mencari rumput untuk makan kambing milik tetangga,
hasilnya aku gunakan untuk keperluan sekolah, karena uang saku dari bapak hanya cukup
untuk adik-adikku. Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, aku menggiring bebek ke
sawah sampai waktu sekolah tiba, kemudian berjalan hampir 1 jam untuk sampai ke sekolah.
Sampai aku lulus bangku smp, terus aku lakukan agar aku tetap bisa bersekolah. Saat libur
tiba, ketika yang lain sedang berlibur bersama keluarga, aku berlibur di tanah kerja, ikut kerja
bangunan untuk membayar spp dan juga keperluan sekolah, sedang sebagian aku berikan
kepada adik untuk membeli alat tulis. Tidak sampai disitu saja, aku juga bekerja di kandang
ayam untuk ikut mengangkuti ayam, terkadang dapat upah satu ekor ayam, dan hal yang
paling membuat mata ini menangis. Dengan lahapnya bapak ibu dan adik-adikku memakan
ayam yang sudah dimasak oleh ibu. betapa bahagia melihat mereka tersenyum dan makan
makanan yang jarang sekali mereka termasuk aku makan. Setelah pengumuman kelulusan
smp, aku langsung ikut bekerja bersama paman, yang awalnya agar aku tetap bisa berlanjut
ke tingkat sma.
Setelah libur usai, aku diperbolehkan oleh bapak untuk melanjutkan ke man. Aku
bersyukur masih dapat masuk ke man, dan malah bapak menyuruhku untuk masuk ke
pondok. Awalnya aku ingin melaju saja agar bisa mencari sambilan, kemudian aku
ditempatkan di pondok, seharian bersekolah, malam mengaji. selama 3 tahun aku
menjalaninya, jauh dari orang tua, tak pernah melihat keluh kesah orang tua, kedua adikku
juga mondok dan sekolah, namun masih ditingkat mts. Yang ada di rumah hanyalah ibu dan
adikku. Selama itu juga aku terus menuntut ilmu di sma, dengan segala keterbatasan,
terkadang saat ujian sekolah tiba aku meminta surat keterangan keringanan agar tetap bisa
mengikuti ujian, baru setelah aku libur baru dapat melunasi pembayaran spp, walaupun
mendapat bantuan BSM, namun itu belum cukup untuk keperluan sekolah, aku hanya bisa
bersabar dan juga terus berusaha agar tetap bisa bersekolah,
Ibu di rumah hanya bekerja sebagai buruh tani milik tetangga, juga membuat tusuk
sate untuk dijual, apaun ibukku lakukan agar dia juga bisa menghidupi keluarga. Bapak
bekerja pun belum cukup untuk mencukupi keluarga, kesana kemari menggali lubang, lalu
menutupnya, semua orang tuaku lakukan agar kami tetap bisa bersekolah.(pak rambat dan
sekeluarga hanya bisa menahan tangis mendengar cerita hanif).
“cukup hanif ceritamu, saya tidak kuat untuk mendengarnya lagi” ujar pak rambat.
Namun hanif tetap melanjutkan cerita sambil menahan tangis. “ Sebenarnya di hati kecil ini,
aku tidak ingin melanjutkan sekolah, namun sebagai anak pertama saya harus bisa
mengangkat derajat orang tua, untuk itu saya harus tetap bersekolah, agar bisa membantu
adik-adik juga. Kemudian saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah. “ nif, kamu tetap
ingin kuliah?”, tanya ibuku. Lalu aku menjawab,”iya bu, saya ingin mengangkat derajat
orang tua, untuk itu saya ingin kuliah, di kampus ada banyak program bantuan dan beasiswa,
pasti ada jalan. “Tapi bapak tidak punya uang lee, kehidupan sehari-hari saja tidak pernah
cukup,”. Iya bapak saya tahu, namun saya tetap igin kuliah, insyaallah ada beasiswa banyak
yang bisa mencukupi kebutuhan saya unyuk kuliah, libur setelah kelulusan ini akan saya
gunakan untuk bekerja, supaya bisa untuk persiapan perkuliahan. Semakin ke atas
perjalananku, juga beriringa dengan adik-adikku, semangat kami untuk bersekolah juga
seimbang dengan semangat dan doa orang tua. Sampai pada akhirnya aku berhasil untuk
melanjutkan kuliah, aku mendiami suatu tempat yang amat jauh di balik gunung yang selama
kecil akubermimpi ingn melihat alam dibaliknya.
Tiba saatnya kami menuntut ilmu, Aku di kampus, adik pertama masuk sma, adik
kedua di bangku kelas 2 mts. Bapak bekerja di luar kota, pulang setiap akhir pekan, dan di
dalam gubuk kami, hanya meninggalkan ibu, dan juga adikku yang baru kelas 1 SD. Tega
tidak tega maka tetap kami memutuskan untuk tetap menuntut ilmu dan dengan keadaan yang
seperti itu. Aku menjalani perkuliahan dengan ssegala harapan agar tetap bisa dan sampai
lulus. aku awali dengan bekerja mencuci piring di warung bakso, aku berusaha mencari
penghasilan apapun itu untuk membantu meringankan biaya. Sedang kedua adikku semua
tinggal di pondok. Ketika ada waktu luang, aku sempatkan untuk datang ke kantor kelurahan
meminta surat keterangan tak mampu, aku tak pernah merasa malu, memang keadaan yang
kekurangan, lalu aku ajukan ke sd, mts, sma, juga ke tempatku menuntut ilmu. Semua aku
lakukan agar kami tetap bisa menjalankan roda kehidupan.
Orang tuaku bekerja siang malam agar bisa mencukupi kebutuhan kami, terkadang
aku tidak tega setiap kami pulang hanya menengadahkan tangan. Namun sudah menjadi
keputusan bapak, dengan segala uapaya yang ia bisa, ia berusa mencukupi sepeser demi
sepeser. Memang benar roda berputar, saat beberapa bulan baru berjalan, seakan kami masih
terus berada di bawah, saat aku ingin berangkat untuk bekerja di hari libur. Aku berharap
cukup untuk biaya pulang. Tiba tiba seseorang memanggilku, “ nif, ada yang mencarimu?”.
aku berfikir sejenak, siapa kok pagi-pagi betul ada yang mencariku, hal yang tidak pernah
aku rasakan setiap libur kuliah.
Aku tak menyangka, sesampai di depan rumah, banyak orang yang berkerumunan,
dan sudah terpasang kursi dan meja, aku tak bisa menahan tangis, air mata ini menetes begitu
deras, betapa teganya aku ini bertahun tahun aku bersekolah, namun tak pernah
memperhatikan seorang ibu, tak pernah tau keluh kesahnya, dan saat aku pulang, adik-adikku
sedang menagis dan bapak sedang tak sadarkan diri. Aku tak mampu menahan kesedihan ini.
Ibu sudah dipanggil oleh Allah Swt, aku tak merasakan apa-apa selain rasa tak
percaya akan semua yang terjadi, aku ikut membawanya dan membaringkan ke tempat
peristirahatan. Adikku yang masih kecil, seharusnya masih butuh bimbingan seorang ibu.
Namun ketiadaan ibu, membuatnya harus mendewasa saat masih balita, waktu telah berlalu
dengan begitu cepat, saat aku di bangku kuliah, yang terfikir hanyalah kenama ini terjadi,
kenapa daridulu tak pernah membantu ibu di rumah, lalu bagaimana dengan adikku, sedang
apa, lalu sehatkah, bapak juga, itulah yang aku rasa, bahkan sempat menyesaal mendengar
kata kuliah, andai dulu langsung bekerja mungkin aku sempat mengurus dan menemani
ibuku”.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 23:30, hanif menyeka air matanya,
dan seakan membuat seisi rumah merasa kaget mengapa dia berhenti bercerita, serentak
kemudian pak rambat dan ibu nay memeluknya sambil menangis, ternyata penderitaan yang
mereka rasakan belum ada apa apanya di banding dengan perjuangan hanif dan keluarganya.
“nif, bersabarlah dan terus bersemangat, bapak yakin kamu bisa, terus berdoa dan berusaha,
bapak juga akan membantumu sebisa bapak, terima kasih telah menyadarkan kepada keluarga
kami untuk selalu bersyukur”, hanif menjawab, “ sama sama pak, terima kasih juga sudah
menjadi wadah untuk saya mengeluarkan semua beban ini”.
Sampai pada akhirnya, heningnya tengah malam memberikan suatu arti kehidupan
baru, bagaimana pak rambat dan ibu nay, selalu bersyukur dengan apa yang telah dberikan
oleh Allah SWT, kepada keluarga pak rambat. Mereka berlalu meningglkan ruang tamu
untuk merebahkan tubuh mereka ke ranjang, sedang hanif berlalu meninggalkan gubuk
sederhana itu.
....................................................................................................................................
Profil Penulis
Muhammad Khoirul Muna, Lahir di Magelang, 22 April 1999. Tinggal di Besaran 01/01,
Banjarejo, Kaliangkrik, Magelang. Saat ini sedang menempuh pendidikan di IAIN Salatiga
mengambil program Studi Sejarah Peradaban Islam. Selain menulis penulis juga hobi sepak
bola, sholawatan dan aktif berorganisasi.
Mari kita mengenal dunia dengan membaca dan jadikan dunia mengenal kita dengan
menulis
“ rumahnya?”
“ Kamu mas?”
“ Sejarah”
“heee??”
Sepertinya dia kurang tau kalau di fakultasnya ada jurusan sejarah, maklum lah
jurusanku termasuk baru. Setelah pertanyaan itu suasana menjadi hening. Pertigaan Palang
sudah terlihat jelas dimataku, namun lampu merah membuatku harus menunggu. Hening
tanpa suara hanya lalu lalang kendaraan bermotor yang terdengar ditelinga, tiba-tiba maz Arif
melontarkan sebuah pertanyaan singkat kepadaku
“Punya wa?”
“punya”
“minta ya?
“ya”
“083xxx…..”
Lampu hijau, motor melaju dan aku pun turun. Dia mengucapkan salam sebelum
pergi dan tersenyum terlihat giginya yang putih yang membuat senyumnya terlihat manis.
Kubuka gerbang pantiku dan aku masuk kedalamnya suasananya sangat sepi. Entah kemana
anak-anak yang selalu meramaikan panti dengan suara ocehan ala anak-anak usia 4-5 tahun.
Aku sangat rindu dengan mereka, kemanakah mereka? ”mungkin bermain di pohon talok
belakang panti” batinku. Ku naiki tanga demi tangga untuk menuju kamarku, kamar
Khotijah kamar yang sebenarnya kurang luas untuk dihuni oleh 5 orang. Tapi aku merasa
nyaman di kamarku itu walaupun terkadang aku juga merasa kesal dengan mereka yang
jarang bersihin kamar, jangankan nyapu untuk sekedar merapikan buku-bukunya sendiri yang
ada di atas meja aja jarang.
Pertemuan singkat dengan maz Arif yang membuatku sedikit merasa bahagia. Adzan
magrib sudah berkumandang dengan merdu. Ku ambil mukenaku dan bergegas menuju ke
masjid Baitul Makmur, masjid yang sering digunakan oleh anak-anak panti dan warga yang
disekitarnya untuk menunaikan ibadahnya sebagai seorang muslim. Seperti biasa setelah salat
Magrib agendanya adalah membelajari anak kecil sampai Adzan Isya.
Aku tak tahan dengan kelakuan Wizurai yang setiap kali disuruh belajar malah
mainan. Ku hampiri dia dan ku tarik tangannya, kemudian kusuruh dia duduk dan kusodori
buku panduan belajar membaca , kusuruh dia untuk membaca kemudian menuliskan apa
yang udah dibacanya. Masih berantakan tulisannya kadang huruf b jadi d tapi ya maklum dia
masih RA, kadang ngeluh dan bilang “ aku gak bisa mbak”, tapi aku tetap memaksanya
untuk mencoba dan mencoba. Sesekali kuselingi bernyanyi agar dia tidak bosan belajar.
Tujuanku hanya satu Wizurai bisa membaca dan menulis dengan baik dan benar.
Allahuakbar…….Allahhuakbar.
Suara adzan Isya sudah berkumandang itu tandanya waktu belajar sudah selesai, ku beresi
buku-bukunya dan ku masukkan ke dalam tas. Kemudian ku ambil air Wudhu, ketika aku
ambil wudhu aku bertemu dengan maz Azam. Dia Ustad yang setiap hari jum’at pagi
mengajar Qiro’ah anak-anak panti. Sempat dibuatnya salah tingkah karena senyumnya, tapi
apadayaku, aku tak sebanding dengannya, lebih baik sedikit-sedikit menghapus perasaanku
ini terhadap maz Azam dari pada aku harus menelan pahitnya kenyaataan ketika suaru hari
nanti kudengar kabar. Dia menikah dengan wanita pujaannya. Siapa wanita pujaanya saja
aku belom tau tapi mana mungkin ada yang wanita yang tidak terpana dengan laki-laki
tampan, berkulit putih, bersuara merdu dan memiliki kharismatik seperti maz Azam.
Terkadang merasa kecil hati juga kalau mencintai seseorang yang lebih tinggi dari kita.
Bukan soal tinggi badan tapi tinggi dalam hal pengetahuan. Aku akui pengetahuan maz Azam
lebih luas di banding aku, ibarat pesawat terbang dengan sepeda ontel, jangankan untuk
bersama sekedar sapa-menyapa saja jarang. Hanya senyum yang selalu maz Azam berikan
ketika pas-pas san bertemu dengan seorang wanita.
Selesai mengai aku menuju ke kamar untuk segera merebahkan tubuh dan memejamkan
mata ini yang tak tahan ingin segera berada di dalam dunia mimpi.
Ku buka pintu kamarku, langsung kurebahkan tubuhku diatas kasur yang empuk, ku
tertidur pulas di malam itu,’drettttt…dretttt….’ Hpku bergetar dan aku mencoba membuka
mataku dan mematikan alrm. Ku lihat pukul 2 pagi, udah biasa aku membuat alrm jam
segitu, agar aku bisa melaksanakan solat tahajud, tapi salah, aku sering kali hanya mematikan
alrm saja tanpa bangun bahkan aku lupa tujuanku membuat alrm itu untuk salat tahajud. Ku
buka pesan WA ku yang semalam tak sempat ku baca. Ada banyak pesan tapi aku tertarik
untuk membuka pesan dari nomor yang tak bernama itu, kubaca pesan singkat dari no itu
yang isinya:
“ ouh,,”
“ hehehe… iya”
“ belom.. kenapa?”
“Gimana kalau kamu jadi cewek ku aja?, mungkin ini terlalu singkat untukmu tapi
aku serius dek”.
Aku merasa sangat sebal dengannya, bisa-bisanya hanya sehari dia bisa jatuh cinta
padaku? Batinku. Tak mungkin dia bisa mencintai seseorang dengan waktu yang sesingkat
itu. Ku matikan handphone ku dan aku melanjutkan mimpi indahku.
Pagi ini mentari malu untuk menampakan diri, langit terlihat gelap berkelabu,
suasana dingin menyelimutiku, mungkin pagi ini akan turun hujan. Awan mendung udah
Nampak dari jam 7 pagi tadi. Benar dugaanku baru saja angkot yang aku naiki melaju
beberapa meter udah turun hujan. Ku buka tasku dan kucari payungku “ Aduuhhh…. Aku
lupa bawa payung” batinku. Siap-siap kehujanan ini, angkot yang aku naikipun sampai di
sebuah halte dan itu artinya aku harus segera turun. Ku angkat tasku agar aku bisa sedikit
berlindung dari derasnya hujan yang menerpa.
Kulihat ada sebuah sepeda motor yang sama persis aku lihat kemarin, dengan
pengendara yang sama, “ kayak maz Arif” gumanku. Dia menghampiriku dan dia
menawarkan sebuah tumpangan untuk yang keduakalinya. Mau gimana lagi toh aku butuh
bisa-bisa aku dimarahi dosenku jika aku telat masuk karena hari ini ada ujian mata kuliah
Ushul fiqih. Dia selalu on time malu sekali jika aku datang terlambat. Akhirnya ku trima
tawarannya. Di perjalan maz Arif membuka pembicaraan dengan ajakan untuk makan bakso
bareng setelah pulang kuliah. Dan aku pun mengiyakannya.
Sesampai di kampus aku langsung bergegas menuju kelas C5 dan syukurlah aku
masih bisa mengikuti ujian itu. Cukup mudah soal yang di berikan dosenku itu aku mampu
menjawab semua. Untung tadi malam aku belajar jadi gak susah Tanya temenku. Sauna
kelas yang begitu tenang, dosenku pun memandang kea rah kanan dan kiri untuk
memastikan tidak ada mahasiswa yang melakukan kecurangan.
60 menit sudah berlalu dengan begitu cepat, ujian telah usai dan para mahasiswa
satu persatu mengumpulkan lembar jawabnya ke meja paling depan begitu juga denganku,
ku buka handphone ku dan ku lirik deretan pesan yang ada di WA ku. Dugaanku benar
maz Arif sudah menungguku di depan gerbang kampus, ku masukan bolpoinku dan ku
bergegas keluar kelas lalu menuju ke depan gerbang. Tanpa basa-basi maz Arif
menyuruhku naik ke sepeda motornya, setelah itu aku dibawa ke sebuah tempat makan
langganannya, dia memesan dua mangkok bakso dan dua es teh.
Dia memulai pembicaraan lagi, dan menanyakan alasanku kenapa aku tak mau
menjadi ceweknya, ku jawab karena aku ingin fokus kuliah. Tapi dia menatapku dan berkata
Belom aku jawab bakso datang menghampiri, otomatis maz Arif berhenti ngoceh yang
aneh-aneh. Dan ia menyodorkan semangkuk bakso dan segelas es teh yang dipesanya
kepadaku. Aku memakannya dia pun juga, dalam waktu sesaat isi dalam mangkuk mas Arif
habis hanya tinggal sedikit kuat. Sementara bakso yang ada dimangkukku masih, kemudian
tanganku dipegang maz Arif, ku biarkan ia mengelus-ngelus tanganku dengan ocehan kesana
kemari. Sedangkan aku sibuk mengunyah satu persatu bakso yang ku makan. Aku tak kuasa
untuk menghabiskan bakso yang ada di mangkuk ku. Aku bilang padanya aku gak habis,
karena aku sudah kenyang, bukannya tidak menghargai makanan tapi berhenti makan
sebelum kenyang sudah menjadi prinsipku. Walaupun sebenernya mubazir tapi mau gimana
lagi. Maz Arif beranjak berdiri dan membayar ke kasir.
Setelah itu diantarlah aku pulang. Aku pulang dengannya di tengah perjalanan maz
Arif kembali mengulang pertanyaanya tentang perasaannya padaku
Entah apa yang membuatku menerima tawarannya untuk menjadi pacarnya, mungkin
rasa simpatiku karena ini yang ketiga kali dia menembakku atau gara-gara semangkuk bakso
yang ia pesankan untukku tadi?. Aku tak tau hatiku merasa senang, mungkin karena ini
adalah kali pertama aku mempunyai seorang pacar. Setelah jadian kini percakapanku dalam
chat chat menjadi berubah mulai dari nama pangilan yang semula aku memangilnya maz
Arif menjadi Sayank, pada akhirnya aku selalu mengiyakan apa yang dia inginkan mulai dari
boncengan bareng setiap ke kampus, makan bareng, main bareng, ngerjain tugas bareng, dan
hal yang tak pernah bisa aku lupakan adalah bercinta bareng di sebuah hotel.
Ohhh…. Tuhaaannnn……
Sungguh aku telah dibuat mabuk oleh yang namanya cinta, sampai aku lupa dosa, lalai akan
siksa neraka, bahkan aku berani mendekati apa yang sangat kau larang, bukan hanya itu aku
telah melakukan zina, bukan sekedar zina mata, zina hati, zina tangan, tapi zina yang
mencangkup semua. Aku akui aku melakukannya. Saat syetan merasuki tubuhku dan akal
terkalahkan oleh hawa nafsu, aku hanya bisa menuruti nafsuku, bercumbu ria diatas ranjang
dan kasur yang empuk yang ada di hotel itu.
Saat itu, aku turun dari sepeda motornya dan dia menemui penjaga hotel yang ada
disana, dan dia menyuruhku untuk masuk ke dalam kamar duluan. Aku masuk dan kuliaht
ada sebuah kamar mandi, dan sebelah nya sebuah ranjang berkasur lebar dengan dua bantal
berwarna biru tua dan satu slimut berwarna merah hati diatasnya ada sebungkus sabun kecil,
sebelah kanan tempat tisur ada meja kecil diatasnya ada sebuah nampan berisi 2 aqua gelas
dan di samping meja ada satu kursi aku duduk di kursi itu, aku sempat merenung sejenak
“apa yang kau akan lakukan di kamar ini?” aku bahkan belom sempat mendapat jawaban
pasti dari pertanyaanku sendiri, maz Arif muncul di hadapanku, meletakkan tas kecilnya di
atas meja, kemudian merebahkan tubuhnya diatas kasur. Suasana hening tanpa ada sepatah
katapun yang terucap dari mulut kami dan hanya terdengar alunan jarum jam yang berputar
10 menit dalam keheningan. Maz Arif mengambil dompet yang ada di saku celananya dan
mengeluarkan uang berwarna merah lima lembar yang masing-masing lembarnya
bernominal seratus ribu rupiah. Dia menyodorkan uang itu kepadakum awalnya aku enggan
untuk menerimanya tapi pada akhirnya aku menerimanya dan dari situ aku mengerti apa yang
di inginkan maz Arif dariku, maz Arif menginginkanku untuk memenuhi kebutuhan
batiniahnya.
Ku lepas sepatuku dan aku mulai memberikan apa yang maz Arif butuhkan. Aku
melakukannya bercinta dan bercumbu mesra layaknya seorang suami istri tanpa merasa
dosa, aku harus melakukannya menerima pelukan dan ciuman darinya sebagai konsekuensi
karena aku telah menerima uang lima ratus ribu darinya, sungguh hari itu menjadi hari
bersejarah bagiku, aku yang selama ini menjaga auratku dari pandangan laki-laki, aku selalu
melaksanakan sholat berjamaah di masjid, aku yang selalu rajin membantu orang tua, bahkan
pernah menjadi orang yang dibanggakan kedua orang tuaku. Telah dengan mudahnya
mengecewakan orang tua dengan melakukan hal seperti itu dengan imbalan uang lima ratus
ribu saja. Sungguh bahkan aku kecewa dengan dirikus sendiri. Mungkin orang tuaku tak
mengetahuinya, sahabatku tak mengetahuinya dan orang-orang yang ada di sekelilingku tak
mengetahui karena aku melakukannya di tempat yang sepi dan hanya aku dan mas Arif yang
ada dalam kamar itu, lantas ku kemanakan Allah?zat yang maha melihat?
Hanya aku yang tau rasanya diperlakukan seperti itu, mengorbankan sebuah harga
diri yang selama ini sangat aku jaga, hanya dengan lembaran uang berwarna merah itu.
Sungguh saat itu aku merasa menjadi wanita murahan, walaupun sebelum aku melakukan
dosa itu aku selalu sangat membenci wanita murahaan dan mengelus dada saat aku melihat
wanita lain berboncengan mesra dengan pacarnyan bahkan pernah aku mengeluarkan
pertanyaan, wanita apaan itu?, ihh kok bisa-bisanya yang melakukan hal itu?, apa gak takut
dosa?. Dan sangat tidak adilnya diriku, saat diriku yang melakukan hal itu, aku tak mau
menghina diriku sendiri, tak terima dikatakan sebagi wanita yang murahan, tak menerima
sebuah ejekan dari kawan, aku akui di teman-temanku masih menganggap bahwa aku masih
seperti dulu. Aku yang setiap hari sholat tahajud, sholat dhuha, sholat sunnah, puasa senin
kamis dan sebagainya. Aku merasa menjadi orang termunafik yang ada di dunia.
Hotel itu menjadi sebuah saksi bisu yang merekam dosa yang aku lakukan bersama
maz Arif, membuatku sadar dan faham apa hukumanku yang akan ku terima di akhirat nanti.
Neraka akankah aku menjadi salah satu manusia yang menjadi penghuni neraka? Tak usah
dipertanyakan seperti itu aku pun sudah menyadari bahwa sebenarnya aku manusia penghuni
neraka yang berselimut surga. Allah sangat begitu baik padaku, ia masih mau menutupi
aibku saat ini. Orang hanya mengomentari apa yang mereka lihat tanpa melihat kenyataan
yang ada, mereka hanya mampu mengeklaim seseoranmg dari penampilannya saja tanpa
mengetahui latar belakang mereka
Riwayat hidup penulis
Alfa Nur Safitri, lahir di Madu, 25 Januari 1999. Pernah mengenjam pendidikan di
TK. Kuntum Mekar, SDN Batur 03 Selongisor, MTS. Sudirman Kopeng, SMK. Diponegoro
Salatiga, dan saat ini masih kuliah di IAIN Salatiga, mengambil jurusan Sejarah Peradaban
Islam, semester 1. Dia menjadi salah satu kakak asuh dipanti asuhan Darul Hadlanah.
Hobinya membaca, menulis, menyanyi dan jalan-jalan. Dia menyukai dunia tulis
menulis sejak duduk di bangku SD. Menjadi seorang dosen adalah salah satu mimpi dari
ribuan mimpinya. Moto hidupnya adalah “Berani mencoba itu luar biasa”, dan sampai saat
ini dia masih berkelana untuk mencari siapa jati dirinya yang sebenarnya
KOPI, PAGI DAN MATAHARI
Guratan yang nampak jelas dan mata panda yang akhir ini senantisa menghiasi wajah
putih gadis belia yang tengah duduk di meja kantin salah satu SMP di daerah Kediri Kota,
keramaian akan tingkah siswa lainnya tak dihiraukannya. Pandangannya kosong tertuju pada
seonggok kayu di sudut kantin. Minuman yang ia pesan sedari tadi hanya dimainkan saja, tak
sedikitpun masuk membasahi tenggorokannya.
“Eh, Alex. Ngagetin aja deh” sambil melempar seulas senyum. Alex terdiam. Senyum
itu...Ah. Bisik Alex dalam hati.
“Kamu kenapa Dyr kok melamun?.” Kata Alex lembut. Lalu duduk disebelah Dyra
sambil menautkan kedua alisnya dan menopang dagu lancipnya dengan kedua tangannya.
“Gak ada kok, aku baik-baik aja. Makasih udah peduli” jawab Dyra singkat.
“Aku tahu kamu lagi ada beban berat. Tatapan kamu tak bisa berbohong.” Tak ada
tanggapan dari Dyra. “Cerita aja ke aku, aku janji akan bantu semampuku Dyr” lanjut Alex.
“Percuma aku cerita, tak akan merubah segalanya.” Jawab Dyra. Karena kamu tak
akan mengerti perasaanku saat ini, Alex. Bisik Dyra dalam hati. Tangan kanannya sibuk
memainkan ujung rambutnya dan yang kiri menopang dagu yang tak selancip milik Alex.
“Hmm baiklah kalo itu mau kamu, aku gak maksa tapi kalo kamu butuh bantuan
bilang aja. Aku siap bantu, Dyr” kalimat tulus dalam hati meluncur dari mulutnya. “Oh iya,
nanti malam kita makan malam di luar yuk? Aku yang traktir!!” ajak Alex penuh semangat.
Dyra memutar bola matanya “Emm... nanti malam aku lagi pengen sendiri. Lain kali
aja , Lex. Maaf” tolak Dyra secara halus.
Alex membuang nafas kasar, “Ya udah, aku ngerti kok. Tapi lain kali harus mau.
Oke!” timpal Alex tak menyerah. “Iya. Janji” dengan senyum yang dipaksakan. Namun tetap
terlihat cantik di mata Alex.
Great! Just great Dyra! Why do you look like stupid girl when meet him. Pikir Dyra
dalam otaknya yang tak bisa diajak berpikir jernih.
“Aku pegang janji kamu. Ya udah aku masuk dulu udah jam 1 nih, ada bimbel siang.
Bye.” Pinta Alex sambil berjalan menuju kelas hingga tak terlihat lagi siluet punggungnya
dalam pandangan Dyra.
Dyra hanya tertegun mengingat apa yang telah ia ucapkan. Hatinya berkata
sebaliknya, kenapa ia harus menyembunyikan masalah ini. Apa salah jika Alex
mengetahuinya? Toh Alex juga tak akan marah. Justru ia akan merasa lega jika ada seseorang
yang mau mendengar isi hatinya yang sedang kelabu. Kopi, aku membutuhkanmu.
Tatapannya kembali kosong. Bayangan gelap memenuhi pandangannya. Tubuh mungilnya
tak kuat menahan beban berat di kepalanya yang seakan ingin jatuh. Semua orang tedengar
memekakkan di telinganya. Dunia berubah hitam. Hal terakhir yang Dyra ingat.
Perlahan mata sipit Dyra mulai terbuka sambil memegang dahinya menggunakan
sebelah tangan, pemandangan di luar jendela sudah terlihat gelap. Dyra terkejut dan langsung
menengok ke jam dinding. Apa... pukul tujuh lewat tiga puluh menit? Berarti aku tidur lebih
dari enam jam!. Pikir Dyra lalu langsung bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.
Tubuhnya terasa lebih ringan. Aroma segar dari tubuh Dyra menyeruak di kamar yang
bernuansa pastel.
“ An empty street. An empty house. A hole inside my hert. I’m alone. The rooms are getting
smaller. I wonder how. Wonder why. I wonder where they are. But I can’t stop to keep
myself from thinking...” lirik My Love milik grup band Westlife mengalun keras dari
handphonenya.
“Halo... Dyra?” terdengar suara lelaki yang tak asing bagi Dyra.
“Iya Lex... kok tumben malam-malam telvon. Ada apa?” tanya Dyra penasaran.
“Hehehe... gak boleh? Aku Cuma mau nanyain keadaan kamu? Gimana udah
baikan?” rentetan pertanyaan Alex mengalir penuh rasa khawatir.
Dyra menyipitkan matanya meski tak kan terlihat oleh Alex, “Hmm.. udah kok Lex,
ini juga habis mandi. Seger. Hehehe...” jawab Dyra asal. “Loh emang kamu tahu apa yang
terjadi denganku?” tanya Dyra penuh selidik.
“Oh iya aku lupa. Begini, tadi sehabis kita ngobrol tak lama kamu jatuh pingsan.
Untung aku masih disitu dan langsung aku samperin dan bawa kamu pulang ke rumah. Tentu
sesudah izin dari sekolah.” Alex terdiam, menarik napas pelan dan melanjutkan
penjelasannya. “tadi aku bertemu dengan Mama kamu, setelah meletakkanmu di kamar
beliau menyuruhku pulang. Yaudah, akhirnya aku pulang. Aku berfikir kamu pasti tidur
makanya aku telvonnya malam.” Jelas Alex panjang lebar, membuat Dyra diam terpaku.
“Iya, sebisa mungkin aku akan melindungimu, Dyr. Kamu tuh kebanyakan pikiran
manding sekarang kamu tidur gih. Good ninght princess” Pinta Alex.
Dyra mendesah, “emmhh... iya ini juga mau tidur. Night too, Lex”
Tuutt...tuutt...tuutt...
Terdengar suara telvon diputuskan. Tanpa berfikir panjang Dyra kembali melanjutkan
tidurnya. Ia merasa harus mengistirahatkan tubuh dan otakya.
Malam semakin larut. Biarlah gadis mungil ini larut dalam mimpi indahnya.
“Dyra, kamu melamun?” tanya Melly, wanita paruh baya berkulit putih, dengan
tatanan rambut potong pendek.
Dyra tersentak dan mengalihkan pandangan ke arah Mamanya, “Enggak kok Mam”
jawab Dyra acuh.
“Pasti kamu sedang memikirkan keputusan Ayah. Udahlah Nak, Mama tahu apa yang
sedang dirasakan putri kecil Mama ini.” Kata Melly penuh kasih.
“Bohong..!!” pekik Dyra. “Mama bohong, kalau Dyra memang putri kecil kesayangan
mama, Mama gak mungkin membiarkan Dyra harus menuruti permintaan Ayah.” Sebutir air
mata jatuh bergulir di pipi merah milik Dyra. “Mama tahu keinginan Dyra dari kecil untuk
bisa melanjutkan sekolah di SMA favorit di kota kelahiran Dyra. Bukan di kota orang lain!”
lanjut Dyra dengan nada tinggi. Pagi, ada apa denganku?
“Stop Dyra!” pekik Melly tak kalah keras. “Iya, Mama tahu apa yang kamu inginkan
sayang, tapi kamu juga harus memikirkan keinginan Ayah dan Mama. Kalau kamu sekolah
disini, kamu tak akan bisa berkembang. Justru Ayah mengirim kamu ke luar kota agar putri
kesayangan kami bisa lebih maju. Toh disana kamu tinggal dengan Om Athur dan Tante
Susan kan mereka belum punya anak pasti mereka sangat senang dan mempersilahkan kamu
untuk tinggal di rumahnya, sayang.” Jelas Melly panjang, membuat Dyra tambah pusing.
Tak ada respon, hanya suara kicuan burung kenari yang bermain di antara rimbunnya
dedaunan. “Maafkan Mama tak bisa membantu kamu, semua keputusan ada di Ayah. Jadi
bicaralah dengannya. Mama masuk duluan dan pikirkan sekali lagi keputusan dan resiko
yang kamu ambil, sayang” sambil berlalu dari samping Dyra.
“Hallo?”
“Dyra, kamu dimana? Ada waktu luang nggak?”suara berat khas Alex terdengar di
ujung sana.
“Kamu mau jalan sama aku siang ini sepulang dari pekerjaanku?”
Tuutt...tuutt...tuutt...
Ck! Dyra medecak sebal, ia teringat akan janjinya kemaren siang terhadap ajakan
Alex. Wahai pagi, aku merindukan damaimu. Ia beranjak dari balkon rumah menuju
kamarnya. Dan masalah terbesar dalam hidupnya adalah harus memilih baju apa yang akan ia
kenakan. Tanpa berpikir panjang. Ia mengambil kaos abu-abu polos dan celana jeans straight
dari almari. Terlihat bagitu cocok ia kenakan. Tak lupa Dyra memoles wajah putih merahnya
dengan bedak tipis dan menguncir rambut hitam pajang kesayangannya seperti ekor kuda.
Terlihat begitu simple. Oke girl. You can do it. Don’t miss your chance for today. Seulas
senyum terukir manis di bibirnya.
Tiinn...tiinn...
“Mama, Dyra izin keluar sama Alex!.” Teriak Dyra sambil berlari menuju pintu
depan. Tak terdengar suara mamanya. Ia langsung melenggang keluar tanpa menghiraukan
apakah Melly mendengar atau tidak karena masih sebal dengan kejadian beberapa menit lalu.
Ketika sudah berjalan menuju sebuah cafe yang sering mereka datangi. Alex sengaja
memelankan laju motornya untuk mengulur waktu bersama gadis di belakangnya. Karena
Alex berfirasat ia akan kehilangan gadis yang bukan siapa-siapanya kecuali hanya teman
dekat. Namun, Alex merasa ia harus melindungi gadis ini apapun yang terjadi. Mungkin
karena cuaca yang dingin Dyra merangkul pinggang dan bersandar di bahu Alex. Nyaman.
Kata Dyra dalam hati. Tak lama merasakan kenyamanan, mereka sampai di cafe cappucino.
Alex memakirkan montornya lalu menggandeng Dyra memasuki cafe. Aroma kopi langsung
memenuhi rongga hidung mereka. Kedua pasang mata itu menyusuri setip sudut ruangan
mencari tempat duduk yang masih kosong. “Dapat! Satu kursi di pojok dekat jendela. Kita
disana aja.” Alex menarik Dyra menuju kursi tersebut.
“Terimakasih” ucap Alex kepada pelayan toko yang sudah akrab dengannya. Kini
secangkir coffee latte dan moccacino terpajang indah di meja bundar berkeramik coklat. Asap
masih mengepul. Aroma kesukaan sepasang sahabat itu menyeruak ke dalam hidung,
membuat siapa saja yang mencium aromanya ingin segera menikmati bersama dinginnya
cuaca siang itu yang mendung. Dyra menyandarkan tubuhnya di sofa dan memijat-mijat
pelipisnya. Tangannya meraih secangkir moccacino yang menggoda, lalu menyeruput sedikit
dan menaruhnya kembali. Air mukanya terlihat seperti orang yang penuh beban.
Kali ini Alex yang membuka suara, “Baiklah, sekarang kamu ceritakan apa yang
sedang terjadi padamu?” sambil ikut menyandarkan pungungnya di sofa.
“Hmmm...” Dyra mendengus pelan. “Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan.
Sebelum aku mulai kuharap kamu tak terkejut dan jangan coba-coba untuk berteriak disini
hingga membuat semua orang melihat kita. Karna aku tak suka itu.” tutur Dyra dengan suara
datar.
“Pasti, aku akan diam dan setia mendengarkan ceritamu.” Alex mengukir senyum dan
menerawang mata hitam Dyra mencoba menebak-nebak apa yang terjadi.
Dyra menghela napas pelan “Semua ini berawal saat Ayah mendapat info dari teman
akrabnya yang berasal dari Jogja. Ia seorang kepala sekolah dan menyarankan aku untuk
melanjutkan sekolah disana.” Dyra berhenti sejenak dan mengambil moccacinonya sebelum
ia bercerita kembali.
“Lalu Ayah menyuruhku untuk sekolah disana. Apapun yang terjadi aku harus
menuruti keputusannya. Padahal kamu tahu sendiri, bukan? Aku udah berusaha untuk bisa
masuk ke SMA favorit kota. Akupun berhasil lolos seleksi dan diterima di sekolah itu.
Namun, semua impianku pupus saat aku mendapat kabar dari Ayah tentang itu. ” Dyra
terdiam. Ia tidak melanjutkan ceritanya.
Alis Alex berkerut samar, “Lalu apakah kamu mau menurutinya, Dyr?” tanya Alex
cemas.
“Dengan terpaksa aku harus menerimanya. Karena Ayah mengancamku kalau aku
tidak mau maka Ia juga takkan mau membiayai kebutuhanku lagi. Aku tahu sifatnya seperti
apa. Jadi sekali ia membuat keputusan ya apa boleh buat.” Dyra berhenti sejenak, matanya
fokus ke luar jendela, “kamu tahu sendiri sifatku? Aku sulit bersosialisasi. Aku takut trauma
masa lalu yang masih menghantuiku. Aku takut mereka akan memperlakukanku yang....ah..
lupakan..” Dyra mendesah frustasi.
Mata sipit Alex berhasil membulat sempurna. “Kau yakin?” tanyanya tidak percaya.
“Iya, Lex”. Dyra tidak kuat, dia jatuh di pelukan Alex. Air mata kembali membasahi
pipi merahnya. Alex membelai lembut rambut panjang Dyra dan mengelus lembut
punggungnya mencoba menenangkan. Isakan Dyra bertambah nyaring. Membuat sebagian
pengunjung menatap mereka penuh tanda tanya. Namun Alex tak menghiraukan. Kilauan
mata hitam Dyra yang dulunya selalu meneduhkan hati Alex sekarang berubah menjadi
kelabu.
Tanpa beranjak dari posisi awal, tangis kali ini membuat dadanya sesak. Dyra
mengangkat tangannya ke kening dan memejamkan mata, berusaha menormalkan napasnya
kembali. Anehnya ia merasa sangat nyaman di pelukan Alex. Perlahan Alex mengurai
pelukannya, membuat Dyra menggeliat pelan. Rona pipinya bertambah merah. Senyum
tersungging dari bibir tebal Alex.
“Hm.. maaf” ucap Dyra salah tingkah saat ditatap oleh mata biru Alex yang dapat
meluluhkan setiap gadis. Bodohnya Dyra baru menyadari setelah sekian lama berteman
dengan Alex. Tatapan mata itu... sehangat kopi di siang yang dingin ini.
“Minum dulu moccacinonya” Alex menyodorkan secangkir kopi pada Dyra. Ia pun
juga menelan habis coffeelattenya yang sudah mulai dingin. “Sudah baikan?” tanya Alex.
“Kau masih beruntung ketimbang aku Dyr. Sejak berumur 12 tahun aku sudah harus
mandiri. Orangtuaku pindah ke Jepang untuk mengurus perusahaan kakek, mereka berjanji
akan menjengukku setahun sekali. Namun, hingga saat ini aku belum sekalipun bertemu
dengan mereka.” Alex berhenti sejenak, mengubah posisi duduknya. Kedua tangannya
menopang dagu lancipnya. “Meskipun begitu mereka rutin mengirimiku uang yang
menurutku sangat besar untuk anak seusiaku. Sebagian besar uang itu aku tabung, sisanya
untuk kebutuhan sehari-hari. Karna aku sadar, aku takkan bisa mandiri jika terus
menengadahkan tangan pada mereka. Ya, bekerja. Aku awali bekerja menjadi waiters di
sebuah cafe. Karena kualitas kerjaku yang payah, akhirnya pemilik cafe mengeluarkanku.
Mungin Dewi Fortuna berpihak padaku, karena kepiawaianku menulis tak lama setelah itu
aku mendapat kerjaan sebagai editor hingga sekarang. Hasilnya aku buat untuk kredit montor
itu. Meskipun aku mempunyai banyak tabungan namun tak kugunakan sedikitpun. Dan aku
bangga. Karena keadaan dan kesadaran yang mendidikku jadi lelaki yang mandiri.” Tutur
Alex panjang lebar. “Meski usiaku masih tergolong muda, tapi bagiku bukan sebuah aib. Aku
bnagga. Dengan kemandirian aku bisa mendapatkan apa yang aku mau dengan jerih payahku
sendiri.”
Dyra menghela napas dalam-dalam dan menatap lekat wajah Alex. Ia tidak percaya
ternyata dibalik sifat Alex yang menyebalkan dan terkadang perhatian. Tersimpan begitu
banyak kisah hidupnya yang ia sembunyikan.
“Maafkan aku, telah membuatmu menceritakan hal yang menjadi beban hidupmu,”
tutur Dyra merasa bersalah.
Alex balik menatap mata hitam Dyra, “Tidak, justru aku bercerita tentang hidupku
untuk memberimu sebuah pilihan.” Senyum tersungging di bibir Alex.
“Iya, dari kisah hidupku ku harap kamu dapat mengambil intinya. Pertama, apakah
kamu akan tetap bertahan di kota kelahiranmu dengan segala fasilitas yang tersedia yang
membuatmu manja. Kedua, akankah kamu mengambil satu keputusan merubah hidupmu
untuk tumbuh menjadi gadis mandiri dan kuat di kota orang lain.” Jawab Alex.
Dyra tersentak dan tatapannya kembali menerawang jauh menembus kaca jendela.
Perkataan Alex benar. Aku harus memperbaiki kualitas hidupku. Dyra menghela napas
panjang. Setelah mengigit bibirnya sejenak, lalu ia memalingkan wajahnya menatap Alex dan
berkata, “Aku akan ambil pilihan kedua. Aku yakin!” tukas Dyra tegas.
“Tentu saja.” Terukir senyum manis yang menampakkan deretan gigi putihnya.
“Apakah kamu memikirkan hal yang sama denganku?”
Aroma masakan Mama yang bersumber dari dapur memenuhi setiap sudut rongga
hidung Dyra. Ia tergoda dan ingin cepat keluar untuk sarapan bersama keluarga kecilnya. Ini
saat yang tepat untuk bicara. Dyra bergegas bangkit dari kasur yang selalu menemaninya
sejak dia berumur 8 tahun.
Ruangan dapur yang sengaja dibuat minimalis. Empat kursi dengan satu meja makan
bundar di tengah, menghadap ke arah utara tepat di depan jendela dan terdapat nakas kecil
disampingnya. Perkakas dapur yang tertata rapi di atas rak, di samping kirinya terdapat
kulkas kecil yang terlihat manis.
“Pagi Ayah.. pagi Mama..” sapa Dyra riang. Ia menarik kursi yang terpajang tepat di
depan tempat Ayahnya duduk. Tak ada respon apapun dari Ayahnya, Ia sibuk dengan koran
paginya. Matanya terfokus pada rentetan kalimat berita di koran.
“Pagi juga putri cantik.” Balas Mamanya membawa semangkuk sup ayam. Makanan
kesukaan mereka.
Pagi, semoga hari ini sang matahari berbaik hati menawarkan pesona sinarnya.
“Ayah?”
“Hm.. Apa?”
Ayah tak berkomentar. Ia hanya menurunan korannya dan menatap Dyra lekat.
Merasa resah di tatap seperti itu, Dyra mendesah dan meneguk kopi yang telah
dibuatkan Mama. “Baiklah, langsung saja. Ayah, Mama. Dyra bersedia melanjutkan sekolah
di Yogyakarta seperti permintaan Ayah.” Dyra terdiam sejenak, meneguk kopinya lagi, “Dyra
udah memikirkan matang-matang dan Dyra yakin kalau Dyra tetap berdiam diri di kota ini
maka Dyra takkan bisa bangkit. Namun benar kata Ayah, Permata akan tetap menjadi
permata sekalipun berada dalam kubangan lumpur.” Perkataan yang meluncur dengan lancar
dari bibir strawberrynya.
Ayah menautkan kedua alisnya lalu bertanya, “kamu yakin dengan keputusanmu
menerima perintah Ayah?”
Mamanya pun juga ikut bahagia mendengar keputusan dari putrinya. Dyra memeluk
hangat keluaga kecilnya yang tak lama lagi akan Ia tinggalkan untuk merantau jauh. Kopi,
pagi merindukanmu.
Tak sampai 10 menit, Alex sudah berada di depan Dyra. “Malam tuan putri”.
Dyra tersentak kaget. “Alex! Aku mau memberitahumu sesuatu.” Dyra menarik
lengan Alex untuk duduk di sofa. Sudah tersaji secangkir coffelatte dan secangkir moccacino
kesukaan mereka berdua. Nuansa punch menghiasi cafe favorit mereka membuat suasana
malam menjadi slow.
Alex mengerutkan alisnya ragu, dan perlahan tercetak senyum di bibirnya. “Oh itu...
sama-sama tuan putri. Aku kan udah bilang aku akan membantumu sebisaku.” Ucap Alex.
Meski aku akan jauh darimu. Namun, moccachino ini akan mengobati rasa rinduku padamu
kelak.
“Dua hari lagi aku berangkat. Aku janji akan mengunjungimu saat libur panjang.”
Bulir-bulir air matanya mulai berjatuhan. Namun kali ini tangis harunya saat menikmati
detik-detik akhir bersama Alex.
Alex tak menjawab, Ia menggenggam tangan Dyra lalu memeluknya erat seakan tak
mau kehilangan.
So I say a little prayer. And hope my dreams will take me there. Where the skies are blue. To
see you once again. My Love....
TAMAT
Tentangku:
Seorang anak manusia bernama Khasna Athiurobbi. Gadis kelahiran Kediri pada bulan Juni
1999. Merupakan mahasiswi amatir yang berusaha menepis rasa khawatir. Ingin tahu lebih
kurang? Hubungi 085649595020 atau cek ig: khasnaatt (follow yes). Heuheu...
CERITA
PENDE
K
Oleh: Febrian Al Fani
Ruang Kebodohan
...
...
Tentang bunga yang nampak malu atas pujian yang dicurahkan kepadanya
Pergilah...
Segala upaya dalam bekas yang mungkin hilang terbawa arus kesombongan
Bersabar...
Sederhana...
Sekalipun...
Seketika hari menyadarkan diri untuk tetap berjalan dengan kaki sendiri
Saya Yudha Febrian Al Fani, salah satu mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (SPI) sekaligus
anggota Lingkar Pena Sejarah (LPS). Saya terlahir 18 tahun lalu di Magelang, alamat tinggal
sekarang bertempat di Ma’had Al-Jami’ah Putera. Ketiga puisi diatas saya buat berdasarkan
amanah dari kepenulisan Antologi Puisi dan Cerpen tahun baru 2018.
Oleh: Suci Rohma Ayu Sholihah
Ibu…
Ibu…
Di jalanku pilih
24 November 2017
Suci R.
SANG FAJAR
Suci R.
MEMORI 2013
Saat aku tak tau harus ku goreskan pena ini dengan kata apa
Suci R.
Profil: Suci Rohma Ayu Sholihah,Lahir di Jombang 02 Maret 1999 . Alumni dari RA Asy-
Syaro’ah Made,MI Nurul Hidayah Jati Pandak, MTsN Bakalan Rayung Jombang, MA Al-
Muhajirin Mojosari,dan sekarang di IAIN Salatiga Jurusan Sejarah Peradaban Islam.
Oleh : Saputri Lestari Ningsih
Penggembaraan Diri
Dilayari…
Menyeberangi mencapai seberang penuh peluh
PALSU
Sehingga rasanya, matamu dan tubuhmu tak bisa menjadi pondasi untuk kehidupan
sederhanaku
Manakala kuasa diam mu menghilang begitu saja tanpa ada kata permisi yang sempat ia ucap
dari mulutmu
Basi,…
Memang sudah tak berarti lagi bagimu akan kehadiranku di puing-puing hatimu
Tolak ukur tuhan memang tak seindah apa yang ku bayangkan
Kehancuran hati hidupku telah menunggu di titik pojok dinding persegi itu
SELINTAS PERASAANKU
Dalam bait puisiku yang semu, tersimpan sejuta gambarmu yang kaku
Tolol,..
Bodoh, …
Itulah diriku
Bibir ini tak bergerak, hanya gara-gara sapaan sederhana dari mulutmu
Aku mengagumimu,…
Sejuta tanya yang telah bertahun-tahun kupendam seakan ingin berhamburan dari bibirku
Namun ku bungkam semua kata-kata itu
Tuhan,…
KEGELISAHAN
Sunyi,…
Sepi,…
Entah, mengapa?
Dicambuki hari-hari
Gemetar,…
Aku tak sanggup jikalau disuruh menyulam cinta dalam gemuruh roda yang mengeras dengan
menggilas nasib
Tatapan kosong
BIODATA PENULIS
Nurul Afidah adalah seorang gadis yang berkelahiran pada tanggal 07 agustus 1999 di kota
Oleh: Ghassani Iryan
Eksperimen
Entah tumbukan
redoks percepatan
Lurus beraturan
29Nov2K17
Sajak Hati
Atau sebaliknya
Kisah lampauku
Sepotong Hati
Kekasihku
Bagaimana anak buah kapalmuu, pelayaranmu, dengan peradaban yang kau hasilkan
Yang dengan mengebu-ebu kau ceritakan kepada hati yang antusias lagi lemah
Duhai kekasihku,
Dengan kisah yang membuatku berkhayal tentang kehidupan baru diluar jangkauanku
Profil: Ghassani Iryan Hanifati Adanya, itulah nama yang dicantumkan dalam akte
kelahiranku. Aku mengambil program study Sejarah Peradaban Islam. Alasannya karena
sejarah mampu membuat kita menyamankan dan dibuat nyaman oleh seseorang. Sajak ini
kupersembahkan untuk Capt. Argo Budi Santoso yang mengajarkan berbagai kehidupan yang
belum pernah ku jalani dann saya temukan di negeri ini
Oleh : Firdan Fadlan Sidik
Hambakah Aku?
Biografi Penulis :
Firdan Fadlan Sidik adalah remaja pecinta sastra asal Ciamis yang aktif
berorganisasi. Ia dapat dihubungi lewat email [email protected] ,
facebook : Firdan Fadlan Ash-shidiq, HP/WA : 085231181100
Oleh: Eriko Dwi Saputro
GAGAL FAHAM
Kalaupun ada yang salah, saya rasa itu timbul dari rasanya sendiri
Perkataan yang jelek bukanlah ia yang berkata anjing, banjiangan maupun cancok
Pun perkataan yang baik bukanlah ia yang berkata Subhanallah, Alhamdulillah, La Ilaaha illa
Allah
Nmaun semua sudaj mentradisi dan menjadi barometer setiap manusia yang mendiami
semesta raya
Semua ciptaan baik maupun buruk di mata kita ternyata juga ciptaan-Nya
Identitas Diri
Eriko Dwi Saputro yang menyebut dirinya sebagai brandal lahir di Grobogan, 18 November
1995. Dalam kebrandalannya, Pernah bernaung di bawah lembaga-lembaga pendidikan, di
antaranya TK Aisiyah Bustanul Athfal Wolo, MI HIdayatus Syar’iyah Wolo, KMI Assalam
Bangilan-Tuban, dan sekarang di IAIN Salatiga Jurusan Sejarah Peradaban Islam. Karya
pertama yang diterbitkannya adalah sajak si brandal pada tahun 2017.
Oleh: Dina Arini Fitri
Ada apa?
Ada apa?
Dina Arini Fitri lahir di Sleman, 19 Februari 1997. Satatusnya saat ini mahasiswi semester
lima Program Studi Sejarah Peradaban Islam di IAIN Salatiga. Tinggal di Sleman
Yogyakarta. Menulis adalah pilihan hatinya sejak SD dengan suka membuat karya komik
cerita dan menulis kisah hidupnya pada buku harian. Saat ini ia bergelut di sebuah komunitas
kecil dengan nama Lingkar Pena Sejarah. Puisi yang dikirim ini adalah salah satu puisi dari
mata kuliah menulis kraetif di kuliahnya
Oleh: Alfa Nur S
DILEMA RASA
Ya Tuhan...
Ya Tuhan...
Jagalah hatiku hanya untuk suamiku
(Katanya) Mahasiswa
Hai sanubariku
Katanya Mahasiswa?
Hanya membusung....
Katanya Mahasiswa?
Miskin toleransi
Kritis provokasi
Modal dengkul
Modal suara
Katanya mahasiswa
Elok cendekia
Hmm... La la la
Satu
Dua
Agent of Change
Mari
Mari
Untaian Majemuk....
Oh...MELAS
Terlihat bugar
Elok nampaknya
Seperti
Sempurna !
Pada Ku
JAZ MERAH...
Sejarah
Rekahkan dia
Kobarkan dia
Jiwa kebangsaan
Jiwa kegotongroyongan
Gugurkan dia
Demi kodifikasi
Apa Hakekat-Mu?
Derai tawa
Menggilis luka
Mengilhami upaya
Penulis bernama asli A’isyah Churil A’ini lahir pada bulan Maret 1997. Gadis asal Magelang
ini sedang menempuh S1 Sejarah Peradaban Islam (SPI) Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga. Motto hidupnya ialah “Bermimpi dan Berupaya, dan Berdoa”.
Oleh: Ahmad Fajar
Dan aku tiba-tiba terbayang tentang hari yang tak pernah ingin manusia cicipi
Aku tak tahu, apakah aku masih bisa mengenang saat bersamamu
Doaku, semoga saja aku tak menjadi tua yang renta dan tak berguna
Keinginan Rasa
Tak berhenti, mesti ku tak kuat lagi memikirkan suatu yang fana ini
Tanya
Saat tergopoh-gopoh coba mencapai damai yang tak pernah mampu kugapai
Seolah kau selalu memihak mereka dan tak adil dalam membagi sebuah hak
Bahwa memang tak ada manusia yang mampu mencipta sebuah bahagia
Jangan Salahkan
Rasa tak boleh didapat dari tangan menadah dan mulut berkeluh kesah
Tentang Penulis
Ahmad Fajar, lahir di Kab. Semarang, 17 Agustus 1998. Saat ini tercatat sebagai
mahasiswa jurusan Sejarah Peradaban Islam di Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Anggota Lingkar Pena Sejarah. Mempunyai hobi mendengarkan musik dan menonton film.
Sekarang tinggal di Dusun Galangan RT/RW 01/05, Desa Gentan, Kec. Susukan, Kab.
Semarang. Anak terakhir dari 2 bersaudara.
Nurul Attin
Kau harus siap kawan! Izinkan aku Rabb meraih cita dan asaku.
Tentang gelisah...
Menyesalnya diriku
Aku ingin cepat pergi dari samudera yang terlihat indah ini.
Entah... aku harus percaya kepada hidup ini atau pada diriku sendiri? Aku tak percaya kepada
yang kulihat.
Aku sungguh hanya percaya dengan balik kuasa_Nya dalam kehidupan ini
Mahasiswa Spi semester 3. Mendapat pencerahan melalui membaca saat kuliah sehingga hati
ini terus mencari dalam kebenaran tersebut.
Puisi ini saya tulis di akhir tahun 2017. Atas kegelisahan saya terhadap diri saya sendiri dan
orang-orang disekitar saya. Sulit sekali membedakan mana yang benar maupun salah secara
hakikat, Karena djri ini yang masih labil. Pastinya butuh sebuah bimbingan rohani yang suci
dariNya.
Apalagi godaan yang terus melanda,Membuat nafsu yang besar sulot dikalahkan jika iman
tak kuat. Berbagai cara harus aku tempuh, Agar hati ini suci dan kuat. Hanya tujuanku
menempuh dijalanNya yang lurus. Dengan cara ikut alim ulama maka kita bisa menentukan
mana yang buruk dan mana yng baik.
Terdiam
Aku dimana?
Aku hampa
Aku hilang
Tapi
Tuhan
Haaayyy!!!!!!!!
Nafasmu ada digenggamanku kawan
Mata hatimu akan selalu menjadi pemburu
Berlarilah, untuk menemukan kebencian yang sejati
Sampai saatnya kamu terbangun dalam kebisuanmu
Jendela Harapan
Senja waktu itu disaat matahari di atas mega
Kupandangi sebuah seni lukismu untuk diriku
Alangkah bahagianya diriku
Meskipun tubuhku sedang berselimut dengan kawat berduri
Aku tak sanggup menahan air mataku
Untuk melihat waktu lalu berdua
Di hamparan lautan awan
Oh kekasih...
Tapi sekarang
Hanyalah tersisa artefak-artefak kita berdua
Dan aku berjanji akan selalu berdiri di bawah jari kelingkingku
Meskipun kita di dunia terpisah
Akan tetapi kita akan bersama kelak di surga nanti
Oleh: Muhammad Sam’ani
Pagi ini aku kembali terbangun
Dengan membuka mataku dan penuh keyakinan
Kutatap mentari dengan penuh harapan
Tentang sulaman sutra untukku dari tuhan