0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan9 halaman

Jerman Paska Perang Dingin

Dokumen tersebut membahas latar belakang perubahan budaya strategis Jerman pasca Perang Dingin. Pengalaman masa lalu Jerman yang kelam memainkan peran penting dalam pembentukan budaya strategis Jerman saat ini yang lebih menekankan kerjasama multilateral dan pendekatan kemanusiaan dalam upaya memelihara perdamaian dunia. Perubahan ini mendapat dukungan komunitas internasional karena sejalan dengan nilai-nilai Eropa. Budaya strategis Jerman ter

Diunggah oleh

Nurul
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan9 halaman

Jerman Paska Perang Dingin

Dokumen tersebut membahas latar belakang perubahan budaya strategis Jerman pasca Perang Dingin. Pengalaman masa lalu Jerman yang kelam memainkan peran penting dalam pembentukan budaya strategis Jerman saat ini yang lebih menekankan kerjasama multilateral dan pendekatan kemanusiaan dalam upaya memelihara perdamaian dunia. Perubahan ini mendapat dukungan komunitas internasional karena sejalan dengan nilai-nilai Eropa. Budaya strategis Jerman ter

Diunggah oleh

Nurul
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 9

Latar Belakang Perubahan Budaya Strategis Jerman Paska Perang Dingin

Nurul Hanafiaty
071511233047
Departemen Hubungan Internasional
Universitas Airlangga

ABSTRAK
Adanya pengalaman buruk Jerman di masa lalu meninggalkan bekas yang dalam bagi para
elit pemerintahan Jerman untuk memperbaikinya di masa depan. Selain adanya masa lalu
tersebut, semakin sadaranya Jerman akan identitasnya yang tidak bisa terpisah dari Eropa
dan sebagai salah satu negara kunci di dunia membuat Jerman memiliki rasa tanggung
jawab besar untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia tetap terjaga. Hal-hal tersebut
kemudian membuat Jerman merubah budaya starteginya menjadi strategi yang lebih
mengedepankan kemanusiaan dan kerjasama multilateral agar perdamain dan keamanan
dunia semakin dapat direalisasikan secara efektif. Kerjasama multilateral sendiri penting
bagi Jerman dikarenakan Jerman melihat adanya pola ancaman keamanan dan perdamaian
internasional saat ini yang mana menurut Jerman hanya dapat diciptakan melalui
koordinasi yang kuat antar negara di dunia. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan
Jerman sendiri mendapatkan dukungan dan apresiasi yang baik dari komunitas
internasional, khususnya negara-negara Eropa yang mana memang selalu mengedepankan
kemanusiaan dalam upaya penegakan keamanan dan perdamaian internasional.

Kata Kunci : Budaya Strategis, Jerman, Multilateral, Kemanusiaan, Keamanan

The dark history of Germany left many unhealed scars and burden to the elites of Germany. It
makes the elites of Germany trying the hardest to rebuild the future of Germany which is more
toward softer approach in its efforts to pays the chaoses which Germany made in the past. The
identities of Germany as a part of Europe countries and as on of the key states in international
relations, Germany has the consideration to maintain the international peace and security.
The reasons above made Germany decided to change their strategic culture approach. The
strategic culture of Germany then underlining the significance of humanity and stressing the
important of multilateral cooperation to make the efforts of peacemaking more effective.
Multilateral cooperation is important to Germany, because it sees the changes of pattern of
threats, which then can only be faced by strong multilateral cooperation. The shifting of
Germany’s strategic culture itself are couraged by the internastional community, specially bay
their European partners. The European itself always share the same values which is
prioritized the humanity in order to maintain the international peace and security.

Keywords: Strategic culture, Germany, Multilateral, Humanity, Security

Pengalaman militer Jerman di masa lalu berperan besar dalam pembentukan kebijakan
pertahanan dan keamanan Jerman. Oleh karena itu, masa lalu berperan besar dalam
pembentukan strategic culture Jerman saat ini. Strategic culture Jerman sendiri dapat
dikatakan sebagai apa yang sejarah tuntut terhadap apa yang harus Jerman lakukan. Oleh
karena itu, ditambah dengan keadaan geografis dan politis Jerman, maka Jerman mempunyai
strategic culture yang menarik. Strategic culture Jerman banyak mengalami perubahan setelah
Perang Dunia II (Hoffmann, 1999). Dua hal yang paling berubah dari strategic cuture Jerman
adalah mengenai Bundeswehr yaitu tentara bersenjata federal dan wajib militer (Lantis, 2002).
Strategic culture Republik Gederal sebelumnya juga berperan dalam mempersatukan Jerman,
dan hal tersebut menjadi dasar konteks dalam pembuatan setiap strategic culture yang baru.
Strategic culture tersebut bertindak sebagai dasar tindakan yang harus diambil oleh Jerman.
Pada beberapa peristiwa sejarah Jerman, termasuk Third Reich yang merupakan beberapa
hubungan yang tidak sehat antara sipil dengan militer yang diterapkan, kemudian membuat
militer berperan besar di masyarakat, nation building dan kebijakan luar negeri (Lantis, 2002).

Peran besar militer dalam pembangunan negara di Jerman dan Prusia telah didokumentasikan
dengan baik. Cordon Craig menyatakan, bahwa semua sejarah Jerman di abad sembilan belas
dan dua puluh sebagai sebuah perjuangan konstitusional yang panjang, yang mana tentara
berperan besar dalam menentukan nasib politik negara. Peran militer dalam kontruksi identitas
juga besar ketika Jerman belum bersatu, setelah peristiwa tahun 1949 yang juga berperan
penting dalam mendefinisikan peran militer di Jerman (Lantis, 2002). Akar dari strategic
culture post-war Jerman telah dibentuk di Jerman Barat pada tahun 1950-an, yang mana telah
dibentuk Bundeswehr yang melambangkan pemisahan identitas Jerman dengan Jerman di
masa lalu dan sebagai pusat identitas baru, rehabilitasi internasional, dan evolusi politik
domestik Republik Federal (Lantis, 2002).

Seperti yang telah disebutkan sebelumya, bahwa Perang Dingin berperan sebagai pondasi
terbentuknya kebijakan luar negeri Jerman era kontemporer. Yaitu ketika Republik Federal
membentuk hubungan luar negeri pro humanitarian yang konsisten. Di saat bersamaaan,
Menteri Luar Negeri, Hand-Dietrich Genscher membangun Verantwortungspolitik, atau politik
tanggungjawab, yang mana berakar dari tema tahan diri, humanitarianisme, dan kerjasama
multilateral (Lantis, 2002). Jerman semakin sejahtera melalu integrasi dengan European
Community (EC), kerjasama dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO), dan kemudian
anggota dari PBB. Di saat yang bersamaan, pelarangan dalam postur militer Jerman yang
cenderung keras menjadi berakar kuat dalam fisik public, tradisi kebijakan luar negeri, dan
dalam Grundgesetz, atau Hukum Dasar Jerman (Lantis, 2002). Para ahli kemudian sepakat
bahwa perkembangan budaya sikap menahan diri Jerman merupakan hasil dari pelajaran
sejarah dan realitas Perang Dingin. Komitmen Jerman mengenai sikap menahan diri dan
multilateralisme menghasilkan keuntungan di akhir tahun 1980-an, yang mana dengan
berakhirnya Perang Dingin, dan muncul hubungan-hubungan baru anatar Barat dan Timur
(Lantis, 2002). Tetapi bahkan setelah unifikasi pada Oktober 1990, dan berakhirnya Perang
Dingin, pemimpin Jerman masih berhati-hati mengenai komitmen kebijakan luar negeri.
Jerman memastikan kepada dunia dan masyarakatnya sendiri bahwa Republik Federal Jerman
yang baru akan tetap bertindak seperti Jerman yang dulu. Menteri Luar Negeri, Genscher
kemudian mengatakan bahwa Jerman tetap menjaga komitmen terhadap tradisi kebijakan luar
negeri, nilai-nilai, dan perhitungan-perhitungan yang membawa kejayaan bagi Republik Federal
di masa lalu, namun tetap dengan pendekatan yang baru yang lebih humanitarian (Lantis,
2002).

Pada tahun 2006, dibawah tekanan dari Uni Eropa dan Perancis, dan melawan pendapat dari
mayoritas masyarakat, Jerman bergabung dalam operasi Kebijakan Pertahanan dan Keamanan
Eropa (ESDP), dan mengirim pasukan ke Republik Demokrasi Kongo (DRC) selama empat
bulan untuk mengawal pemilihan umum. Namun, pada tahun 2007, Jerman menolak untuk
melakukan misi EDSP yang lain di Chad dan Rebuplik Afrika Tengah, yang mana menjadi
kekagetan dan menimbulkan kemarahan bagi sebagian partner Eropa utama Jerman (Schmitt,
2012). Hal tersebut kemudian juga menimbulkan pertanyaan di kalangan akademisi, mengapa
Jerman kemudian seperti menerakan kebijakan yang berkontradiksi dan bagaimana kemuidan
pemimpin Jerman menjustifikasi keputusannya. Para ahli kemudian menemukan bahwa
apabila sedang dalam keadaan tertekan konflik dari lingkungan internasional dan kontituensi
nasionalnya sendiri, para pemimpin politik secara sadar akan menggunakan pertimbangan-
pertimbangan dari strategic culture untuk melegitimasi sebuah keputusan, dibuat untuk
kepentingan nasional, apakah untuk berpartisipasi atau tidak dalam sebuah operasi militer
(Schmitt, 2012). Dasar dari argument tersebut adalah, bahwa strategic culture merupakan
referensi bagi pembuat kebijakan, tetapi dalam kondisi tertentu, para pemimpin politik akan
melanggar strategic culture itu sendiri, oleh karena itu, strategic culture tidak bersifat
menjebak. Ruang untuk melanggar semakin besar ketika pertimbangan terhadap strategic
culture lokal dalam keadaan konflik dengan tekanan dari lingkungan internasional (Schmitt,
2012). Hal tersebut telah ditunjukan oleh sebagian ahli bahwa pembuat kebijakan nasional
dapat menggunakan potensi kerjasama internasional untuk mengatasi opisisi domestic
terhadap kebijakan yang akan diterapkan. Namun, Schmitt (2012), menyatakan bahwa
pemimpin negara tidak boleh hanya menggunakan kerjasama internasional untuk mengatasi
opisis lokal, melainkan juga menerapkan strategi diskursif tertentu dan menjustifikasi strategi
tersebut dengan berdasar pada pertimbangan spesifik mengenai strategic culture lokal negara
tersebut. Hal tersebut kemudian dilakukan Jerman dalam menerapakn kebijakan pertahanan
dan keamanannya, khususnya terhadap kebijakan mengenai intervensi militer.

Budaya strategis Jerman semakin menarik untuk dipelajari. Apabila budaya strategis Jerman
berkonsentrasi pada kontinyuiti dan perubahan secara gradual trauma yang diaplikasikan pada
nosi Stunde Null atau jam kosong dan merupakan hasil lanjutan dari budaya strategis Jerman
Barat setelah Perang Dunia II menghasilkan tantangan yang menarik. Signifikansi situasi
Jerman semakin meningkat setelah berakhirnya Perang Dingin yang mana bertindak sebagai
paradigm di dalam pembentukan dan pengembangan budaya strategis di Jerman Barat
(Hoffman, 1999). Militer memiliki peran yang besar dalam inkarnasi masa lalu Jerman sebelum
kemudian menjadi kontruksi penuh dari budaya strategis baru Jerman setelah Perang Dunia II
di Jerman Barat. Profil dari budaya strategis Jerman Barat dan elemen pembentuknya
dihadirkan untuk melihat jejak perkembangan terbaru yang mana terdapat mempunyai dampak
revolusioner pada security thinking di Jerman (Hoffman, 1999). Dua area kebijakan yang secara
spesifik menunjukan perubahan dan area yang tidak berubah yaitu mengenai Bundeswehr dan
wajib militer. Budaya strategis kemudian digunakan sebagai kunci untuk mengerti dan
menjelaskan situasi mengenai militer dan wajib militer. Budaya strategis dari Republik Federal
kemudian yang berkontribusi besar terhadap bersatunya Jerman, tetap berperan dalam
pembentukan kebijakan keamanan. Budaya strategis tersebut kemudian berperan untuk
memfasilitasi dan membatasi variabel dalam tindakan negara dan memfasilitasi kebijakan
tertentu sekaligus melanggar kebijakan tersebut di waktu yang sama (Hoffman, 1999). Dari
adanya perubahan budaya strategis Jerman yang signifikan tersebut, hal yang menarik untuk
dipelajari adalah apakah yang kemudian menjadi latar belakang dari perubahan budaya
strategis tersebut? Pada pembahasan selanjutnya penulis akan menjelaskan mengenai
perkembangan budaya startegis Jerman dan latar belakang yang mandasari perubahan
kebijakan tersebut.

Rasa Bersalah Jerman akan Tindakannya Ketika Masa Perang Dunia II

Trauma berperan besar dalam terbentuknya strategic culture Stunde Null atau zero hour di
Jerman Barat setelah Perang Dunia II. Strategic culture Stunde Null sendiri menjadi titik balik
dari pembuatan strategic culture Jerman yang memiliki pendekatan kemanusiaan. Berakhirnya
Perang Dingin semakin menguatkan perubahan strategic culture Jerman yang lebih humanis,
yang mana memiliki efek revolusioner terhadap cara berikir Jerman mengenai pertahanan dan
keamanan (Hoffmann, 1999). Keamanan pada abad 21, menurut Jerman hanya dapat dicapai
dengan jaringan terintegrasi dengan semua aktor keamanan internasional. Budaya strategis
Jerman kontemporer kemudian menjadi dasar dari instrumen penggunaan semua kebijakan
keamanan yang ada di Jerman. Salah satu yang khas dari budaya strategis Jerman adalah
Bundeswehr, yang mana karakteristik khasnya adalah mampu beradaptasi dengan tantangan
yang ada di masa depan. Tugas dari Bundeswehr adalah memastikan bahwa personel dan
peralatan dalam kebijakan pertahanan dan keamanan Jerman dapat bekerjasama dengan baik.
Budaya strategis Jerman kontemporer juga semakin menunjukan tingkat peranan Jerman di
dunia internasional kepada negara-negara partner dan aliansi Jerman. Budaya strategis Jerman
kontemporer juga semakin memperbesar kesempatan masyarakat Jerman untuk berpastisipasi
secara langsung dalam pembuatan kebijakan keamanan melalui aspirasi yang disalurkan
(Hoffmann, 1999). Dengan pendekatan yang inklusif dan membuka peluang pastisipasi bagi
masyarakat, budaya strategis Jerman kontemporer memiliki pemahaman mengenai
perkembangan startegi yang lebih modern jika dibandingkan dengan startegi yang digunakan
pada budaya strategis Jerman era Perang Dingin dan Perang Dunia (Hoffmann, 1999).
Pemahaman yang lebih modern tersebut terbentuk dari pendapat, kontribusi dan kritik dari
masyarakat sipil, politik negara Jerman itu sendiri, penstudi, industri, kelompok kepentingan
dan partner internasional. Pendekatan inklusif menjadi dasar untuk Jerman dalam
berkontribusi secara penyumbang suara dalam dunia internasional berdasarkan perkembangan
strategi baru yang dimiliki Jerman (Hoffmann, 1999). Identitas dan bagaimana cara Jerman
melihat keamanan dan pertahanan di era kontemporer di pengaruhi oleh pelajaran-pelajaran
yang diambil oleh Jerman dari masa lalu. Sejarah Jerman kemudian menjadi bagian dari
identitas nasional dan ddikukuhkan dalam konstitusi Jerman. Di waktu yang sama, manjadi
bagian dari Eropa merupakan identitas yang tidak terpisahkan dari Jerman. Pada pembukaan
konstitusi Jerman, Jerman menyatakan komitmennya untuk mempromosikan perdamaian
dunia sebagai bagian dari Uni Eropa (Hoffmann, 1999).

Oleh karena itu, pemahaman Jerman terhadap keamanan dan pertahanan semakin
komprehensif, tidak hanya sebatas tidak adanya perang dan memastikan keamanan bagi
Jerman dan penduduknya saja. Sebagai bagian dari Uni Eropa, Jerman juga berambisi untuk
meningkatkan keharmonisan dalam masyarakat dunia, melalui pendekatan yang lebih halus
dan juga memperkuat norma-norma hak asasi manusia (The Federal Government, 2016).
Jerman berhubungan erat dengan negara-negara lain, tidak hanya karena kekuatan ekonomi,
politik, dan militernya saja tetapi juga karena Jerman juga bertanggung jawab dalam
membentuk tatanan global. Jerman semakin memperkuat peranannya sebagai negara kunci di
Eropa. Dengan kesempatan tersebut Jerman semakin berkesempatan untuk menggunakan
kekuatannya, tetapi di saat yang bersamaan juga tanggung jawab semakin besar. Jerman
mempunyai kekuatan ekonomi yang besar dikarenkaan adanya masyarakat yang stabil,
infrastruktur yang canggih, dan tenaga kerja dengan kemampuan tinggi yang mana bersumber
dari proses imigrasi. Sedangkan secara politik, Jerman dapat mengandalkan jaringan bilateral
yang luas, Eropa, kerjasama multilateral dan institusional yang legitimate (The Federal
Government, 2016). Namun, di masa depan, Jerman dinilai akan kesulitan menjaga
kedudukanya sebagai negara ekonomi terbesar ke empat di dunia. Meningkatnya kekuatan
perekonomian di Asia dan Amerika Latin dinilaiakan mengambil alih Jerman di masa depan
(The Federal Government, 2016). Perekonomian Jerman bergantung pada kondisi stabil baik di
Eropa maupun dunia. Jerman sangat terintegrasi dengan perdagangan internasional dan aliran
investasi, khususnya rute suplai yang mana, pasar yang stabil, sistem infomasi dan komunikasi
yang canggih. Ketergantungan tersebut akan terus meningkat, oleh karena itu persaingan
Jerman sebaai negara industri bergantung pada kepemimpinanya dalam hal inovasi.
Pengetahuan tetap menjadi sumber strategi bagi Jerman (Becker, 2013). Di tingkatan global,
Jerman merupakan negara ukuran sedang, yang mana secara geografis dan demografis adanya
pertumbuhan di Afrika dan Asia, serta adanya perubahan demografis di masa depan dinilai
akan menjadi tantangan bagi Jerman. Hal tersebut dapat diatasi dengan imigrasi yang lebih
selektif, tetapi tidak dapat dihentkan secara penuh. Secara budaya sendiri, Jerman semakin
menarik dalam eerapa tahun terakhir, hal tersebut kemduain menarik minat pelajar asing untuk
belajar di Universitas yang ada di Jerman. Selain eningkatnya pelajar asing, permintaan akan
Bahasa Jerman sebagai bahasa asing juga semakin meningkat. Jerman saat ini menjadi negara
dengan kekayaan budaya yang besar (Becker, 2013).

Selain perannya sebagai bagian dari Eropa, adanya perombakan militer di Jerman pada tahun
1950-an, juga dipengaruhi dengan bergabungnya Jerman ke NATO. Bundeswehr pada saat itu
dan sampai saat ini tetap diproyeksikan untuk bekerjasama dalam bingkai multilateral
(Hoffmann, 1999). Pada operasinya dalam menjaga keamanan internasional, Jerman sangat
bergantung dapa kerjasama dan koordinasi dengan negara aliansinya. Jerman kemudian
mengadopsi sistem interdepedensi dalam menjalankan tugas keamanan. Hal tersebut termasuk
dengan menjalin aliansi, kerjasama, dan juga komunitas-komunitas dalam bentuk lain, serta
kedekatan khusus Jerman dengan Amerika Serikat. Jerman salah satu negara yang memiliki
senjata militer terbesar di Uni Eropa, yang mana diperlukan dalam operasi multilateral
(Hoffmann, 1999). Untuk menjaga keadulatan, Jerman mengatakan bahwa interdepedensi
harus saling timbal balik. Jerman harus menjadi partner yang dapat diandalkan dalam situasi
keamanan apapun. Ambisi tersebut membutuhkan usaha yang berkelanjutan, begitu pula akna
ketersediaan sumber daya manusia, materi, dan finansial. Pendekatan baru Jerman yang lebih
mengedepankan kerjasama ini di sambut baik oleh komunitas internasional. Komitmen Jerman
juga dapat membangun jalan untuk menemukan solusi bagi segala bentuk permasalahan yang
dihadapi Jerman di masa depan (Becker, 2013). Kebijakan keamanan Jerman sendiri kemudian
dinilai memiliki relevansi yang melampaui teritori Jerman itu sendiri. Jerman sendiir juga
menyatakan komitmennya dalam bertanggung jawab dengan perannya dalam dunia
internasional, yang mana termasuk bersedia untuk berkontribusi dalam mengatasi
permasalahan keamanan dan kemanusiaan baik saat ini masupun di masa depan. Namun,
Jerman juga masih menyadari keterbatasannya, dan mengatakan bahwa perannya yang
semakin meningkat dalam keamanan internasional tidak akan bertentangan dengan nilai dan
kepentingan. Jerman juga tidak akan mengambil peran yang melampaui kekuatannya (Becker,
2013). Perombakan dalam budaya strategis yang dapat dilihat jelas dalam kebijakan pertahanan
dan keamanannya kemudian akan dijelaskan dengan teori Pos-Strukturalis yang mana
menjelaskan identitas negara dalam pembuatan kebijakan luar negerinya.

Identitas Nasional dalam Perspektif Pos-Strukturalis


Aspek-aspek seperti identitas nasional, teori baru mengenai kebijakan luar negeri, keamanan
telah banyak dibahas dalam studi Hubungan Internasional, namun sampai saat ini belum ada
tulisan yang benar-benar mampu menjelaskan hasil dari gabungan ketiga unsur tersebut.
Penjelasan yang berdasarkan dari identitas dan budaya telah mengalami perubahan dalam teori
Hubungan Internasional dewasa ini, yang biasanya dianggap sebagai bagian perubahan teori
konstruktivis, dan terkadang dianggap masih dalam lingkup rasionalis (Waever, 2002).. Tetapi
belum ada persetujuan bersama diantara teori-teori internasional mengenai fokus bersama dari
budaya dan identitas sebagai aspek yang mempengaruhi kebijakan luar negeri itu sendiri.
Namun, apabila ingin melihat pengaruh budaya dan identitas dalam pembuatan kebijakan luar
negeri, maka pemikiran Alexander Wendt dapat digunakan konstruktivis. Pemikiran tersebut
dianggap sebagai pemikiran yang paling menjelaskan adanya ketrkaitan faktor budaya dalam
pembuata kebijakan luar negeri (Waever, 2002).. Meskipun penjelasan tersebut masih dalam
lingkup penjelasan teori kebijakan luar negeri secara umum dan konsep identitas yang
digunakan masih belum merupakan konsep yang matang. Pemikiran konstruktivis Alexander
Wendt sendiri berfokus pada teori sistem internasional, oleh karena itu identitas yang dibahas
merupakan identitas dalam bahasan secara umum dari negara, kedaulatan, dan anarki (Wendt,
1992, 1999 dalam Waever, 2002). Tetapi konstruktivis dianggap belum mampu menjelaskan
tujuan pemahaman yang berasal dari dalam sebuah negara, seperti bagaimana setiap negara,
bangsa, atau unit lain harus menciptakan kondisi dan rasionalitas tertentu, identitas tersendiri,
dan hubungannya dengan kebijakan luar negeri. Teori konstruktivis pemikiran Wendt
mengenai bentuk dari identitas dinilai hanya dilihat dari sudut pandang salah satu pihak saja,
yang mana permasalahan dari bentuk identitas secara terus menerus dilihat dari sudut pandang
sistem dan tidak pernah dilihat sebagai permasalahan yang harus dihadapi oleh sebuah negara
atau seorang petinggi negara (Waever, 2002). Teori konstruktivis dapat menunjukan mengapa
sebuah identitas tertentu dapat berpengaruh, tetapi tidak menjelaskan apa pengertian dari
identitas itu sendiri. Konstruktivis dalam perspektif teoritikalnya dinilai belum mampu
menjelaskan bagaimana negara mengartikan struktur dari politik internasional dan bagimana
menggunakan posisi tsrukturalnya untuk berinteraksi dengan negara lain. Adanya kekurangan
tersebut juga tidak menghasilkan adanya perkembangan teori luar negeri yang lebih umum dan
sitematis, hal tersebut dikarenakan konstruktivisme hanya berkomitmen terhadap pengakuan
adanya pemisahan antara penjalasan material dan idealis. Dikotomi tersebut mendorong
adanya pandangan konstruktivis yang menganggap identitas sebagai faktor ideasional, yang
mana dalam teoritikal desainnya, penjelasan mengenai identitas diukur dari faktor-faktor
material (Waever, 2002). Pada akhirnya, pilihan dari pemikiran konstruktivis adalah apakah
mengintegrasi penjelasan material, atau justru pilihan lain yang lebih buruk yaitu hanya
berfokus pada penjelasan mengenai bagian-bagian dari politik internasional. Sebagai teori
kebijakan luar negeri, konstruktivisme dinilai mudah untuk berubah menjadi terlalu kulturalis
datau kognitivis dalam penjelasan inertia dan kontinyuitasnya. Konstruktivis dinilai tidak
menjelaskan perubahan, tetapi merupakan teori yang tidak berubah, dan akan tetap tidak
terbantahkan sebalum datangnya perubahan yang kemudian dapat digunakan untuk
menjelaskan pentingnya status quo. Konstruktivis tidak dapat menjelaskan dalam cara yang
sistematis mengenai mengapa latar belakang sejarah dan budaya yang sama dapat
menyebabkan kontradiksi kebijkana luar negeri. Konstruktivis juga dinilai tidak dapat
menjelaskan adanya perubahan, terutama perubahan yang tidak berkelanjutan (Waever, 2002).

Sebagai kritik terhadap konstruktivisme, strukturalis kemudian menyatakan adanya pandangan


mengenai identitas baik secara lebih terstruktur maupun sebagai sesuatu yang lebih tidak stabil.
Sebagian besar pembahasan strukturalis mengenai identitas dalam Hubungan Internasional
berkonsentrasi pada hubungan self/other, yang merupakan hubungan suatu negara dengan
aktor lain. Pandangan strukturalis sendiri berbeda dengan post-strukturalis yang mana dalam
pandangan pos-strukturalis, starting point dari identitas yang terbentuk akibat adanya
hubungan self/other yang bersifat negative. Perbedaan terbesar dari pandangan pos-
strukturalis dengan perspektif Hubungan Internasional mainstream lainnya, salah satunya
konstruktivis terletak pada pandangan diferensial ataupun referensial dari bahasa, yang mana
bahasa dianggap sebagai sistem pemaknaan ataupun sebagai cara untuk menyatakan kenyataan
eksternal (Waever, 2002). Dari beberapa pendekatan makna kata identitas yang berbeda,
identitas membutuhkan sistem yang kompleks dan multidimensional agar dapat dipahami.
Perbedaan kata self dan other menurut pos-strukturalis sendiri memiliki kapasitas yang besar
dan campur aduk. Other dalam pandangan pos-strukturalis dianggap sebagai teman atau aktor
yang saling berhubungan dekat, baik hubungan yang baik maupun buruk. Konstruksi identitas
sendiri serta kaitannya dengan hubungan self dan other oleh satu negara dengan negara lainnya
(Waever, 2002). Identitas nasional dalam kebijakan luar negeri menurut pos-strukturalis
sendiri dibagi kedalam lapisan-lapisan (layered framework) yang menunjukan adanya
hubungan antara kepentingan dan diskursus, yang mana menurut pos-strukturalis kepentingan
tidak dapat direpresentasikan oleh aktor-aktor politik diluar struktur diskursus yaitu negara dan
aktor lain yang berpengaruh (other), dan bahwa argumen yang berdasarkan kepentingan selalu
dibuat berdasarkan distribusi khusus dari identitas yang berlapis (Waever, 2002).

Layer Pertama: Jerman sebagai Salah Satu Aktor Kunci di Eropa


Anti-militer di Jerman Barat dan penyebaran protes akan angkatan bersenjata kembali setelah
Perang Dunia II, membuat Bundeswehr meupakan alat untuk bertahan dibadingkan breperang.
Bundeswehr kemudian dianggap sebagai ala tenting untuk mencegha pecahnya perang di
Eropa, sedangkan wajib militer dianggap sebagai jasa untuk perdamaian. Penolakan akan
perang sebaga alat resmi dari kebijakan luar negeri bahkan diilhami Bundeswehr melalui
pendidikan politis dan dalam dukungan aktif, doktrinasi pasukan, dan pelucutan senjaat secara
umum, dan kenyataan bahwa perang merupakan sebuah kegagalan dari kemanusiaan
(Hoffmann, 1999). Elemen kunci dari budaya strategis Jerman tersebut mendapatkan
tantangan ketika tahun di awal 1980-an. Yaitu adanya sebuah krisis kedaulatan yang kemudian
menjadi kontradiksi dari kebijakan aliansi dalam menjaga pertahanan, ketika negara-negara
Eropa Barat menaruh kapal dan meluncurkan misil, yang mana oelh Jerman kemudian
dianggap sebagai bentuk strategi perang yang sesungguhnya. Debata yang muncul di Jerman
kemudian menjadi keraguan besar mengenai sistem bertahan tentara negara di era nuklir, dan
membuat masyarakat Jerman lebih menakuti perang nuklir daripada Pakta Warsawa. Bahkan
tentara muda Jerman meragukan logika bertahan dalam perang nuklir (Hoffmann, 1999).

Sedangkan sejak berakhirnya Perang Dingin, negara-negara Eropa, bersama dengan Amerika
Serikat membangun tatanan perdamaian yang unik untuk benua Eropa, yang mana semua
negara yang berpartisipasi harus mengajukan diri sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak lain.
Organisasi tersebut kemduian disebut dengan Organization for Security and Cooperation
Europe (OSCE). Organisasi tersebut dibentuk karena kerjasama keamanan Eropa dinilai tidak
dapat dipisahkan antara negara satu dengan negara yang lain. Tatanan tersebut dibangun
berdasarkan kerjasama multilateral, regional, serta pan-Eropa yang kuat (Becker, 2013). Selain
kerjasama antara negara-negara Eropa sendiri, tatanan tersebut juga mengharuskan Eropa
untuk berkejasama dengan pihak ketiga dengan berdasar nilai dan peraturan sama yang
disepakati dalam implementasinya. Meskipun tatanan tersebut belum mampu menangani
permasalahan keamanan secara menyeluruh di Eropa, namun tatanan tersebut menjadi dasar
dari resolusi dan stabilitas yang diinginkan oleh negara-negara di Eropa. Hal tersebut pun turut
berpengaruh terhadap Jerman sebagai salah satu negara kunci di Eropa.

Layer Kedua: Posisi Jerman dalam Komunitas Internasional

Jerman menganggap, bahwa secara politik, ekonomi, dan militer dunia bergerak ke arah
multipolar. Distribusi kekuatan di dunia pun turut berubah. Kekuatan tidak hanya berubah
dalam konteks hubungan nataranegara saja, tetapi juga antar aktor negara dan non-negara.
Seagai hasil dari kemajuan teknologi, jaringan aktor non-negara transnasional menjadi semakin
penting. Aktor-aktor non-negara tersebut juga semakin mmepunyai kekuatan dalam
mempengaruhi kebijakan keamanan internasional. Pertumbuhan pengaruh ekonomi, politik,
dan militer bagi negara-negara khususnya Asia, Afrika, dan Amerika Latin akan meningkatkan
multipolaritas dan perubahan kakuatan geopolitik. Secara dinamis, masyarakat yang
berpengaruh juga turut saling menyatukan kekayaan dan partisipasi dalam ekonomi global
untuk meningkatkan pengaruh mereka dalam hubungan regional dan internasional. Masyarakat
berpengaruh tersebut menkankan ketrlibatan mereka dengan menyumbangkan dana besar
untuk anggaran pertahanan dan melalui kerjasama intensif dengan organisasi baru dan
komunitas negara (The Federal Government, 2016).

Jerman sendiri memperkirakan Tiongkok akan menguasai seperlima dari ekonomi global di
tahun 2030, sedangkan India menguasai seperenam perekonomian dunia di tahun yang sama.
Dalam hal pertahanan pun, Tiongkok dudah mengeluarkan anggaran yang hampir sama dengan
anggaran negara-negara Uni Eropa apabila dijadikan satu. Negara-negara kunci hubungan
internasional lain pun juga akan meningkatkan pengaruhnya. Hal ini kemudian menjadikan
organisasi yang mana terdapat negara kunci menjadi semakin berpengaruh pula. Contohnya
adalah BRICS dan ASEAN, juga organisasi berpengaruh Amerika Latin dan Afrika yang lain
(The Federal Government, 2016). Semakin meningkatnya pengaruh G20, yang mana memang
dibangun sebagai forum penting untuk kerjasama ekonomi dan finansial global, juga
dikarenakan adanya peningkatan pengaruh dari negara-negara kunci di hubungan
internasional. Sebagai hasil dari perubahan tersebut, dimensi keamanan regional juga menjadi
lebih penting. Hal tersebut kemudian dinilai Jerman akan meningkatkan resiko dari paradigm-
paradigma yang saling bersaing di politik internasional semakin meningkat pula. Fragmentasi
dalam sistem regional yang berbeda dan saling berkompetisi akan melemahkan sifat alami dari
pondasi dan institusi dari tatanan internasional yang ada saat ini (The Federal Government,
2016).

Perkembangan ini memiliki perngaruh langsung maupun tidak langsung terhadap Jerman
sebagai negara yang terkoneksi secara global, dan juga sebagai negara yang bergantung pada
akses rute informasi, komunikasi, suplai, tranportasi, dan perdagangan global. Untuk
menghadapi resiko tantangan adanya fragmentasi di tingkat global, Jerman beranggapan
multipolaritas harus dicerminkan dengan baik dalam United Nations System. Di dalam dunia
yang multipolar, Amerika Serikat akan tetap memberikan pengaruh dalam kebijakan keamanan
internasional. Di tahun-tahun sebelumnya, Amerika Serikat menuntut negara-negara
partnernya untuk semakin meningkatkan tanggung jawab akan keamanan internasional. Hal
tersebut dinilai Jerman juga akan terus terjadi dalam pandangan perkembangan ekonomi dan
politik Amerika Serikat. Sebagai negara partner Amerika Serikat di Eropa, Jerman akan
semakin menujukan nilai-nilai yang sama yang dituntut oleh Amerika Serikat, yaitu untuk
semakin bertanggung jawab dalam perdamaian dan keamanan internasional. Hal tresbeut
dikarenakan Jerman telah menjadi partner Amerika Serikat sejak adanya jaminan Amerika
Serikat terhadap keamanan di Eropa pada tahun 1945 (The Federal Government, 2016). Hal
tersebut juga telah tertanam kuat dalam masyarakat Jerman dan terefleksi dalam spectrum
yang luas dari kepentingan keamanan bersama antara Jerman dan Amerika Serikat. Jerman
melihat bahwa kerjasama keamanan lintas negara akan semakin produktif ketika negara-negara
Eropa lebih mempersiapkan tanggung jawab yang besar, dan apabila Amerika juga melakukan
hal yang sama dalam proses pengambilan kebijakan kemanan dunia. Jerman juga
mengaplikasikan nilai bersama dari sistem nilai Euro-Atlantic (The Federal Government, 2016).

Kesimpulan

Jerman sebagai negara yang tidak pernah melepaskan diri dari identitas sebagai negara Eropa,
yang mana mengedapankan kemanusiaan dan multilateral dalam implementasi kebijakan dan
keamanan turut membuat Jerman melakukan hal yang sama dalam kebijakan pertahanan dan
keamanannya. Hal tersebut membuat Jerman harus merubah budaya strategisnya dengan
pendekatanyang lebih humanis. Selain adanya identitas yang tidak terpisahkan dari Eropa,
adanya pengalaman buruk masa lalu Jerman membuat Jerman merasa bersalah atas kerugian
yang telah diciptakannya pada era Perang Dunia II. Sehingga Jerman merasa memiliki
tanggung jawab besar terhadap terciptanya keamanan di lingkungan internasional. Jerman
kemudian berjanji untuk tidak melakukan tindakan militer dan tidak akan angkat senjata dalam
upayanya menjaga perdamaian dunia. Sedangkan militer sendiri menjadi latar belakang yang
kuat dalam pembuatan budaya strategis Jerman. Namun, di era dewasa ini, Jerman menjadikan
Bundeswehr, yaitu angkatan bersenjatanya sebagai alat deterrence dan alat untuk mencegah
adanya peperangan baik di Eropa maunpun di dunia. Selain, sebagai negara dengan masa lalu
traumatis dan identitasnya sebagai negara Eropa, Jerman yang mana menjadi salah satu negara
besar dan salah stau negara kunci di dunia, juga turut merasa memiliki tanggung jawab yang
besar dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara dan dunia. Karena bekerja secara
multilateral, Jerman mendukung negara-negara partnernya, terutama Amerika Serikat yang
menjadi partner terbesar dan terkuat Jerman untuk selalu meningkatkan dan mengingatkan
negara-negara lain tetap bertanggung jawab dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia.
Jerman sendiri masih bergantung pada Amerika Serikat yang mana diyakini Jerman, meski
dunia semakin multipolar, Amerika Serikat tidak akan kehilangan pengaruhnya. Budaya
strategis Jerman sendiri telah bergeser jauh paska Perang Dingin dibandingkan dengan ketika
era Perang Dunia. Yang mana ketika Perang Dunia, Jerman menjadi agresif dalam penggunaan
militernya dan bersifat menaklukan negara lain untuk menyerakan pengaruhnya. Hal tersebut
berbeda dengan Jerman saat paska Perang Dingin, yang kemudian karena kesadaran akan
identitasnya membuat Jerman semakin mengrrti pentingnya kemanusiaan dan kerjasama
secara multilateral dengan negara-negara lain. Jerman sendiri yang kekuatannya bergantung
pada akses ekonomi, teknologi, transport, maupun perdagangan internasional tentunya juga
hrus mengerti pentingnya menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Hal tersebut
punjuga berhasil menjadi pemikiran tidak hanya elit pemerintahnya saja tetapi juga masyarakat
dari Jerman sendiri, bahwa kemanusiaan memang hal utama yang harus dikedepankan Jerman
dalam usahanya untuk berhubungan dengan negara lain dalam dalam usahanya untuk
menciptakan perdamaian serta keamanan dunia untuk menebus keslahan Jerman di masa lalu.

Sumber
Becker, Sophia. 2013. Germany and War: Understanding Strategic Culture under the Merkel
Government. IRSEM: Ministere de la Defense.
Hoffmann, Arthur & Kerry, Longhurst. 1999. “German Strategic Culture in Action”,
Contemporary Security Policy, 20: 2.
Lantis, Jeffrey. 2002. “The Moral Imperative Force: The Evolution of German Strategic Culture
in Kosovo”, Comparative Strategy, 21: 1.
Schmitt, Olivier. 2012. “Strategic Users of Culture: German Decisions for Military Action”,
Contemporary Security Policy, 33: 1.
The Federal Government. 2016. White Paper on Germany Security Policy and the Futuer of
Bundeswehr. The Federal Government of Germany.

Anda mungkin juga menyukai