Bab Ii Tinjauan Teoretis Judicial Restraint Dalam Pelaksanaan Fungsi Kekuasaan Kehakiman A. Kekuasaan Kehakiman
Bab Ii Tinjauan Teoretis Judicial Restraint Dalam Pelaksanaan Fungsi Kekuasaan Kehakiman A. Kekuasaan Kehakiman
Bab Ii Tinjauan Teoretis Judicial Restraint Dalam Pelaksanaan Fungsi Kekuasaan Kehakiman A. Kekuasaan Kehakiman
A. Kekuasaan Kehakiman
71
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 2,Op. cit., hlm. 44.
72
Ibid.
73
Ibid.
74
Ibid. hlm 45.
75
Douglas V. Verney, “Parliamentary Government and Presidential Government”
dalam Parliamentary versus Presidential Government, edited by Arend Lijphart,
Oxford University Press, 1992,hlm.32-40.
76
Ibid.
31
32
membingungkan.79
77
Philip A. Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in
General Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review No. 695, 1999,
hlm. 697.
78
Ibid, hlm. 699.
79
Ibid, hlm. 701.
80
Aharon Barak, op.cit., hlm. 20.
33
81
Ibid, hlm 21.
82
Ibid, hlm 22.
83
Ibid, hlm. 23.
84
Ibid.
34
89
Ibid, hlm. 36.
90
Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Court in
Asian Case, Cambridge University Press, New York, 2003. hlm. 21.
91
Amerika menjadi salah satu contoh negara yang meletakkan kewenanganjudicial
reviewpadaSupreme courtdan badan peradilan dibawahnya (decentraliced system)
tanpa membentuk lembaga peradilan yang terpisah dari Supreme Court.
LihatMauro Cappelletti, Judicial Review in the Contemporary World, The Bobbs-
Merril Company, New York, 1971, hlm. 46. Dick Howard, “Judicial Independence in
Post-Communist Central and Eastern Europe”, dalam Peter H. Russel, David
O‟Brien, Judicial Independence in The Age of Democracy: Critical Perspectives
From Around The World, University Press of Virginia, Carlotsville and London,
2001. hlm. 92.
36
negara yang baru terlepas dari rezim otoritarian dan menuju rezim
baru.93
92
Pada negara-negara eks-komunis seperti di Eropa Tengah dan Eropa Timur,
rezim komunis dan otoritarian telah mengurangi legitimasi kekuasaan kehakiman di
mata publik, sehingga setelah runtuhnya rezim-rezim tersebut, Pemerintah yang
baru lebih memilih menciptakan sebuah institusi baru sebagai sebuah simbol
perubahan ketimbang memperbaiki institusi kekuasaan kehakiman yang lama.
Lihat Ibid.
93
Bahkan di Perancis yang menganut prinsip supremasi parlemen sekalipun, serta
memiliki ketidakpercayaan publik terhadap lembaga kekuasaan kehakiman,
terdapat sebuah Council Constitutionnel sebagai institusi tersendiri yang
berwenang memeriksa konstitusionalitas sebuah produk legislasi baik berupa
rancangan undang-undang maupun undang-undang. Lihat Ibid. hlm. 91.
94
Ibid, hlm. 94.
37
eksekutif.95
95
Di Bulgaria, Hakim Pengadilan Konstitusi terdiri dari dua belas orang hakim
dengan masa jabatan selama sembilan tahun yang dipilih masing-masing empat
calon dari National Assambly, Presiden dan Mahkamah Agung. Lihat Ibid.
96
Ibid.
97
Di Inggris, meskipun tidak terdapat naskah konstitusi yang tertulis, namun
independensi cabang kekuasaan kehakiman tetap terpelihara, sedangkan Uni-
Soviet yang memiliki konstitusi tertulis yang bagus, demokrasi dan independensi
kekuasaan kehakiman tidak pernah terwujud. Lihat Ibid. hlm. 95.
98
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara Jilid 2,op. cit., hlm. 52.
38
bahwa:
99
Susi Dwi Harijanti, “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”, Makalah peserta
aktif pada Seminar Nasional yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional, Jakarta,
25-26 Agustus, 2008. hlm. 2.
100
Shimon Shetreet, “The Challenge of Judicial Independence in the Twenty-First
Century”,8 Asia Pacific Law Review. hlm. 153.
101
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman op. cit., hlm. 3.
39
102
Aharon Barak, op. cit., hlm. 77.
103
Ibid.
104
Ibid.
105
Susi Dwi Harijanti, op. cit., hlm. 1.
106
Aharon Barak, loc. cit.
40
Barak bahwa “The judge‟s master is the law. The judge has no
107
Ibid.
108
Simon Shetreet, op. cit., hlm. 155.
109
Aharon Barak, op. cit, hlm. 78.
110
Ibid.
41
111
Susi Dwi Harijanti, op.cit., hlm. 4., Lihat juga Simon Shetreet, loc. cit.
112
Ibid.
113
Peter H. Russel, David M. O‟Brien, op. cit. hlm 13.
114
Ibid. Lihat juga Susi Dwi Harijanti, op. cit., hlm 5.
42
wall around the individual judge that will guard against the
115
Aharon Barak mengatakan bahwa “Judges should be protected against
reductions or erosions in their salaries. Further, a judge‟s salary and conditions of
service should not be set by the executive branch. In my opinion, the salaries of
judges should be set by an independent body chosen by the parliament, and not by
the parliament itself”. Aharon Barak, op. cit., hlm 79.
116
Aharon Barak mengkritik makanisme impeachment terhadap hakim di Amerika
yang dilakukan oleh Senat. Menurutnya, pemberhentian hakim harus pula
dilakukan melalui judicial proceeding yang dilakukan oleh hakim. Pengadilan yang
dilakukan oleh lembaga politik telah mencederai prinsip independensi kekuasaan
kehakiman. Lihat Aharon Barak, Loc. cit.
117
Peter H. Russel, David M. O‟Brien, op. cit. hlm 14.
118
Ibid, hlm 19.
119
Ibid, hlm 20.
120
Aharon Barak, op. cit., hlm. 79.
43
lain berupa pengadilan sebagai bagian dari satu sistem politik dan
netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait
manapun.124
123
Jimly Asshiddiqie,Pengantar Hukum Tata Negara Jilid 2 op. cit., hlm. 52.
124
Ibid, hlm. 53.
125
The Bangalore Draft Code of Judicial Conduct 2002.
126
Ibid.
45
suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial
127
Ibid.
128
Ibid.
129
Ibid.
46
1. Konstitusionalisme
130
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi, op. cit., hlm. 19.
131
Kenneth Clinton Wheare, op. cit., hlm. 7.
132
Ibid, hlm 23.
133
William G. Andrews, op. cit., hlm. 13.
134
Charles Frederick Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction To
The Comparative Study Of Their History And Existing Forms, Sidgwick and
Jackson,London,1972, hlm. 12.
47
J. Friedrich adalah:
135
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta,
2008,hlm. 57.
136
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi, op. cit., hlm 23.
137
Indra Perwira, Susi Dwi Harijanti, Budaya Konstitusi (Constitutional Culture)
Dalam UUD 1945 Perubahan Dikaitkan Dengan Gagasan Perubahan Kelima UUD
1945, Hasil Penelitian Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2009,
hlm. 9.
48
terlegitimasi).141
138
Ibid.
139
Ibid, hlm 10.
140
Ibid.
141
Ibid.
142
Tom Ginsburg, op. cit., hlm. 2.
49
143
Ibid.
144
Christopher F. Zurn, Deliberative Democracy and the Institution of Judicial
Review, Cambridge University Press, Cambridge, 2007. hlm. 32.
145
Tom Ginsburg, op. cit., hlm. 3.
146
Pendapat Tom Ginsburg ini didasarkan pada fakta bahwa seiring gelombang
demokratisasi yang melanda dunia, judicial review yang berasal dari tradisi
Amerika telah menyebar ke negara-negara lainnya, mulai Perancis hingga Afrika
Selatan dan Israel. Bahkan di Inggris yang menganut paham supremasi parlemen
sekalipun, terdapat mekanisme untuk melakukan review terhadap produk legislasi
50
2. Protector of values;
yang dihasilkan Parlemen Inggris. Review tersebut dapat dilakukan melalui Council
of Europe dariEuropean Union yang bersifat „supranational law‟ yang mengikat
negara-negara anggotanya, serta mekanisme review melalui konvensi-konvensi
ketatanegaraan yang hidup di Inggris. Selain melalui konvensi ketatanegaraan,
pengadilan di Inggris juga dapat melakukan review terhadap konstitusionalitas dari
produk legislasi Parlemen. Hal ini merupakan konsekuensi diinkorporasikannya the
European Convention of Human Rights kedalam hukum nasional Inggris pada
tahun 1998. Lihat, Ibid, hlm. 3-4.
147
Ibid.
148
Ibid.
149
Ibid.
150
Christopher F. Zurn, op. cit., hlm. 32-39.
51
dari Inggris pada saat itu, Sir Edward Coke menyatakan bahwa
151
Tom Ginsburg, op. cit., hlm. 34.
152
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, American Constitutional Law Volume
I:Sources of Power and Restraint,Thomson Wadsworth, Belmont, 2008, hlm. 36.
153
Ibid, hlm. 35.
154
Ibid.
52
memiliki derajat yang lebih tinggi.155 Lebih jelas, Sir Edward Coke
mengatakan:
parliamentary enactment.157
berlaku “…to say what the law is” demi menjaga konstitusi yang
155
Ibid.
156
Dauglas E. Edlin, Judges and Unjust Law: Common Law Constitutionalism and
the Foundation of Judicial Review, The University of Michigan Press, United States
of America, 2010, hlm. 53.
157
Ibid.
158
Ibid, hlm. 38.
53
159
Ronald C. Den Otter, Judicial Review In an Age of Moral Pluralism, Cambridge
University Press, New York, 2009, hlm. 23.
160
Ibid.
161
Ibid.
162
Ibid.
54
2. Judicial Restraint
163
Philip A. Talmadge,op. cit., hlm. 711.
164
Ibid.
165
Aharon Barak, op. cit., hlm. 156.
55
166
Ibid, hlm. 159.
167
Philip A. Talmadge, loc. cit.
56
168
Lihat Aharon Barak, op. cit., hlm. 267.
169
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, op. cit., hlm. 49.
170
Ibid.
171
Philip A. Talmadge, op. cit., hlm. 706.
172
Ibid, hlm. 707.
57
Constraints)
173
Ibid.
174
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, loc. cit.
175
Susi Dwi Harijanti, op. cit., hlm. 10.
176
Ibid.
58
177
Court. ChiefJustice Hughes mengatakan bahwa yang
Hughes mengatakan:
177
Kern Alexander, David Alexander, American Public School Law, Thomson
West, Belmont, 2005. hlm. 9.
178
Ibid.
179
Ibid.
59
yakni : 182
government);
180
Constitutional question adalah mekanisme mempertanyakan konstitusionalitas
sebuah peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh hakim kepada
Supreme Court. Di Jerman, constitutional question mencakup tiga kondisi yakni:
pertama, jika suatu pengadilan menganggap bahwa suatu undang-
undangbertentangan dengan konstitusi negara bagian (Land) ataupun konstitusi
Federal (Bundesgesetz). Yang kedua, jika suatu pengadilan menganggap bahwa
suatu undang-undang negara bagian tidak sesuai dengan undang-undang Federal
dan yang ketiga, suatu pengadilan selama berlangsungnya persidangan dalam
suatu perkara merasa ragu apakah suatu ketentuan hukum internasional
merupakan bagian dari undang-undang Federal dan apakah ketentuan hukum
internasional itu secara langsung melahirkan hak dan kewajiban pada individu.
Lihat Prasetya Online Humas UB, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Constitutional-
Question-di-Indonesia-2887-id.html, diunduh pada tanggal 9 Oktober 2011 pkl.
22.00 wib.
181
Susi Dwi Harijanti, loc. cit.
182
Philip A. Talmadge,op. cit., hlm. 713.
60
adalah:184
183
Lihat Kern Alexander, David Alexander, op. cit., hlm. 5. Lihat juga Susi Dwi
Harijanti, loc. cit.
184
Ibid.
61
yakni:
konstitusional lainnya.185
185
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, op. cit., hlm. 51.
62
norma tersebut.186
democratic system).187
186
Ibid.
187
Ibid, hlm. 52.
63
terpenuhi, yakni:194
potensial;
191
Ibid.
192
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, op. cit., hlm. 26.
193
Ibid, hlm. 27.
194
Maruarar Siahaan, op. cit., hlm. 80.
65
atau dipulihkan.
195
Philip A. Talmadge, op. cit., hlm. 719.
196
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, loc. cit.
197
Ibid.
66
yakni:
198
Kern Alexander, David Alexander, op. cit., hlm. 10.
199
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, op. cit. hlm. 28.
200
Kern Alexander, David Alexander, loc. cit.
201
Philip A. Talmadge,op. cit., hlm. 718.
67
putusan akhir.203
202
Otis H. Stephens Jr., John M. Scheb, loc. cit.
203
Ibid, hlm. 29.
204
Ibid, hlm 705.
205
Philip A. Talmadge, op. cit.,, hlm. 698.
68
206
Aharon Barak, op. cit., hlm. 183.
207
Philip A. Talmadge, op. cit., hlm. 705.
208
Ibid.
69
hukum di pengadilan;
non-judicial;
209
Frank B. Cross, Decision Making in The U.S. Courts of Appeals, Stanford
University press, California, 2007, hlm. 181.
210
Philip A. Talmadge, op. cit., hlm 706.
211
Frank B. Cross, loc. cit.
212
Philip A. Talmadge, loc. cit.