Arti Persahabatan
Arti Persahabatan
Arti Persahabatan
Karya: Tafassahu
Nikmatnya bila semua serba tercukupi, semua keinginan bisa terpenuhi sampai barang apapun
bisa dibelinya, itulah riska, seorang anak dari konglomerat yang sangat kaya, Ibu dan Ayahnya
adalah pengusaha besar yang berada di daerah Jakarta. Namun, hal yang sangat baik dari
keluarga itu adalah mereka mampu bersikap dan berperilaku layaknya orang biasa, bersopan
santun, ramah terhadap tetangga begitupun kepada orang-orang yang berkunjung ke rumahnya.
Tak terkecuali dengan Riska, anaknya manis dan tidak pernah manja dengan orang tuanya, dia
bisa bersikap baik terhadap semua orang termasuk teman-temannya sehingga banyak yang betah
ketika bertamu ke rumahnya.
Salah satu sahabat terbaik Riska yaitu Ika, dia berasal dari keluarga sederhana, rumahnya yang
masih satu kecamatan dengan Riska, membuatnya gampang untuk bermain atau sekedar bertemu
dengan Riska. Namun pada hari ini sahabatnya Ika tak pernah keliatan lagi, sudah hampir 3
minggu ini.
“Kok Ika ngga’ pernah keliatan? Kemana ya, biasanya dia selalu masuk sekolah”.
“Kalo begitu coba nanti sore aku pengen ke rumahnya lagi”, kata Riska sangat bersemangat.
Sudah beberapa kali Riska mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban dari dalam rumah, kemudian
tiba-tiba muncul orang dari sebelah rumah.
Alangkah terkejutnya Riska mendengar jawaban dari lelaki itu, jika Ika yang selama ini dia kenal
dan menjadi sahabatnya mengontrak di rumah itu, kemudian kembali ke desanya karena menurut
kabar orang tuanya sudah berhenti bekerja akibat di PHK oleh perusahaannya.
Sekembalinya Riska ke rumah, ia hanya bisa melamun dan tidak bisa berbuat apa – apa. Lantas
ia pun bergegas ingin mencari Ika di desanya. “Mama, aku ingin mencari Ika, biarkan dia bisa
melanjutkan sekolahnya lagi”, tanyanya
“Baiklah kalo itu keinginanmu, mari bergegas dan segera mencari alamat Ika dahulu”, jawab
Mamanya dengan penuh perhatian
Akhirnya keinginan Riska terpenuhi, dan selama beberapa jam bertanya-tanya di tempat
pedesaan yang pernah Riska ketahui, bisa menemukan alamat rumah Ika. Kedatangannya pun
disambut haru dan isak tangis oleh keluarganya termasuk Ika. Pelukan hangat di antara mereka
menjadikan persahabatan semakin erat.
“Ika, kedatanganku sama keluarga ingin mengajakmu kembali bersekolah sekaligus ikut kami ke
Jakarta lagi”, kata Riska.
“Soal sekolah dan biaya apapun, kamu ngga’ usah khawatir biar saya yang menanggungnya”,
lanjut Papa Riska.
“Baiklah bila Riska dan Bapak Ibu menghendaki dan memberikan kesempatan itu pada saya,
saya sangat bersyukur dan banyak mengucapkan terima kasih atas kebaikan Riska dan keluarga”,
jawabnya Ika diselingi haru yang luar biasa.
“Terima kasih banyak Pak, Buk, kami tidak bisa lagi harus memberikan imbalan seperti apa,
karena hanya petani biasa”, lanjut Ibu dan Bapak Ika. Lalu mereka pun kembali berpelukan
untuk kembali menyambut Ika menjadi sahabatnya kembali.
Teman Pertama
Karya: Nadira Erwanto
Pernahkah kalian merasa kesepian, tidak mempunyai teman dan sangat dikucilkan? Aku Shanisa.
Kalau begitu, izinkanlah aku membagi pengalamanku. Hari ini tanggal 11 Januari, dan aku
sangat berharap hari ini pula aku dapat membuat kehidupan di sekolahku lebih baik. Di sekolah
ini, aku tidak punya teman satu pun. Sungguh menyedihkan, bukan? Aku tidak pernah dilirik
oleh siapa pun. Aku dipandang rendah dan sering sekali dihina oleh mereka. Mereka yang
membenciku. Semua ini hanya karena rumor yang sengaja diedarkan oleh seseorang yang amat
memarahiku, dia Revon.
Sekolah ini memang dipenuhi oleh anak orang kaya, yang mungkin dapat setiap hari menikmati
makanan yang enak dan menonton TV layar lebar. Eksistensiku di sekolah ini dikarenakan
beasiswa yang kudapat. Revon menyebarkan berita bahwa aku hanya merupakan anak panti
asuhan yang dulunya dibuang oleh kedua orangtuaku. Rumor itu benar, itu fakta. Aku sangat
tahu diri. Meski begitu, aku sangat kecewa ketika Revon dapat memengaruhi dan menghasut
seluruh siswa untuk tidak berteman
-Oh, bahkan untuk tidak menghiraukan diriku sama sekali. Tentu saja, Revon sang cassanova
yang notabenenya seorang ketua OSIS dan anak direktur terkenal pasti akan dipatuhi oleh semua
warga sekolah. Tidak akan ada yang berani mencari masalah dengannya. Seringkali aku berpikir
mengenai dua hal: Mengapa Revon begitu memusuhiku? Kapan aku dapat mempunyai teman?
Seperti biasa, aku sedang berada di kelas dan duduk di bangku paling pojok belakang. Ruangan
kelas ini dipenuhi murid-murid yang saling mengobrol dan bercanda tawa, sementara aku hanya
diam memperhatikan mereka. Bel telah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Ketika aku hampir
saja memutuskan untuk tidur, mataku menangkap sosok guru yang memasuki ruangan kelas.
Setelah ceramah panjang lebarnya, Miss Leina dengan wajah cerianya memberikan
pengumuman.
“Hari ini, kelas kalian kedatangan murid baru.” Bertepatan dengan perkataan Miss Leina,
sesosok cowok bertubuh jangkung memasuki kelas. Banyak siswi yang berbisik-bisik mengenai
cowok tersebut. Ia berdiri di depan papan tulis, dan senyumnya merekah.
“Halo, nama gue Axel. Pindahan dari SMA Evanthius karena pengen nyoba yang baru. Salam
kenal.” Setelah beberapa siswi cewek yang genit dan centil itu bertanya seputar info pribadi Axel
seperti.
Akhirnya, Miss Leina kembali berujar sebelum topik tersebut benar-benar melenceng.
“Axel, kamu boleh duduk di tempat kosong yang kamu mau.”
Yang kutahu, setelah ucapan Miss Leina tersebut, cowok itu melangkah menghampiri bangku
tepat di sampingku yang membuat seisi kelas bungkam.
Axel selalu saja berusaha mengobrol denganku, meski selalu ku akhiri dengan mengabaikannya
atau pergi menjauhinya. Jujur, aku sangat kasihan kepada murid baru itu jika ia harus berurusan
dengan singa macam Revon. Tapi, kali ini ia menahan lenganku. “Yah, jangan kacangin mulu
dong. Kenapa, sih? Gue ‘kan ganteng, kok muka lo kayak ngeliat setan?”
Entahlah, ia memang sangat pede. Aku hanya memutar bola mata malas, lalu akhirnya
membalasnya.
“Lo gak usah deket-deket gue. Murid lain aja pada ngelihatin sinis,” ucapku sekejam mungkin.
Tampaknya ia belum menyerah, justru nyengir lebar.
“Wah, jahat banget. Gue tahu lo ada masalah sama dia, tapi gue gak peduli.” Aku mengangkat
satu alis. Sepertinya, murid baru seperti dia nyari mati.
“Lo bisa ngomong gitu, sampe lo ketemu Revon beneran.” aku menghempaskan tangannya dan
pergi meninggalkannya dengan tatapan mengintimidasi dari murid di sekitarku. Baru saja aku
melangkah ke toilet, seseorang menahan bahuku dan mendorong tubuhku ke dinding tembok
dengan keras. Aku meringis kesakitan, lalu berusaha melihat siapa gerangan orang yang
melakukan hal ini kepadaku. Revon, as usual.
Cowok itu menyeringai, tatapannya membunuh. “Gue denger, lo deketin Axel ya? Lo minta gue
keluarin dari sekolah ini, huh?” ia memberi jeda. “Udah baik dikasih beasiswa, malah
ngelunjak.”
Ia menggertakku dengan keras. Aku hanya bisa memejamkan mata, kekuasannya di sekolah ini
memang bagaikan segalanya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena aku memang bukanlah
siapa-siapa. Namun di saat itu juga, Axel datang.
Ia membelaku, dan menentang segala perkataan Revon. Yang membuatku bingung adalah ketika
Revon tidak mengancam Axel sama sekali dan hanya membalas ucapan Axel dengan dingin.
Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Yang ku tahu, semenjak kejadian itu aku
mempunyai sahabat baru, Axel. Semenjak itu pula, aku tidak lagi merasa kesepian dan Revon
tidak lagi menggangguku.
Entahlah, cerita ini mungkin sudah selesai namun kehidupanku akan terus berlanjut. Aku tidak
tahu apakah akan terjadi hal-hal lain, namun aku tahu bahwa sahabat yang kini ku miliki akan
selalu, selalu ada disampingku. Ini tanggal 11 Januari. Namaku Shanisa Oktaviana, dan kini
kehidupan di sekolahku telah dihiasi oleh warna.
Contoh Cerpen Persahabatan 4
Teman. Teman adalah seseorang yang paling bisa membuat kita tertawa dengan hal konyolnya. Namaku
azzahra biasa dipanggil ajara, aku duduk di kelas 3 SMP. Aku punya 2 temen cowok. Mereka dulu sangat
akrab kepadaku dan dinda sahabatku. Namun, semenjak mereka mempunyai temen cewek baru yang
lebih asik daripada kita. Mereka menjadi sombong, bahkan kalau bertemu pun tidak saling sapa seperti
orang tidak kenal. Mereka seakan-akan melupakan kedekatan kita yang dulu dengan mereka.
Keesokan hari sekolah, jam ke 1 dan 2 gurunya tidak masuk, dan tidak ada tugas dari guru tersebut.
Akhirnya Aulia, si ketua kelas memberikan tugas agar mengerjakan LKS saja.
Yaa kalian tau sendiri, murid-murid kalau dikasih tugas bukan oleh gurunya pasti tidak benar
ngerjainnya. Kelas pun menjadi berisik karena mengerjakan tugasnya sambil ngobrol, bercanda ataupun
bergosip.
Namun,aku dan Dinda berbeda, kita di kelas hanya murung dan sedih melihat teman cowok kita
sekarang asik dengan teman barunya itu. Aku dan dinda pun bercerita,
“Din, gue sedih deh, kesel liat mereka, seru banget bercandanya” kataku dengan lemas. “Iyaya jar,
mereka gak inget apa dulu deketnya ama siapa?” sahut Dinda.
Aku pun menjawab “Iya, padahal dulu apa-apa ke kita, bercanda sama kita, ngerjain tugas aja bareng
kan.” “Ya udah lah jar, mungkin mereka emang udah lupa sama kita”, sambung dinda dengan muka
kesal.
“Gua kangen din, kenapa sekarang berubah? kenapa jadi begini sih?” kataku dengan mata berkaca.
“Sama kali jar, gua juga kangen. Tapi ya mau gimana lagi? Toh pas dia butuh juga entar larinya ke kita”,
jawab Dinda dengan kecewa.
Tak lama pun masuk jam ke-3, kami kurang bersemangat mengikuti pelajaran karena mereka. Namun,
apa daya kita tidak bisa buat apa-apa.
Waktu terus berjalan. Aku dan dinda perlahan melupakan mereka, memang sulit rasanya melupakan
teman yang dulu sangat dekat dengan kita tiba-tiba pergi begitu saja. Walaupun kadang teringat lagi,
tapi memang itu yang harus kita lakukan. Daripada kita mengharapkan orang yang mungkin tidak akan
kembali seperti dulu lagi dan juga tidak mempedulikan kita, sebaiknya mencari teman baru yang
mungkin lebih mengerti kita.
Yah benar, sudah satu bulan penuh liburan sebagai bonus bagi guru terutama murid atas proses
pembelajaran dua semester yang telah berlalu. Sekolah sudah kembali merekrut anak kelas tujuh,
syukurnya angkatan kami semua lulus dan naik ke kelas sembilan.
Senin ini buru-buru bersiap sekolah dengan sandangan tas baru, penampilan lebih rapi dan terkhusus
sepatu hitam tanpa campur warna lain. Lengkap dengan dasi dan rok yang belum ganti jadi abu-abu.
Hah, rasanya engga sabar aja untuk menyelesaikan dua semester ini. Tapi setelah dipikir-pikir sangat
menyakitkan pastinya jika wajib pisah sekolah dengan sahabat terpaling-paling sayangnya aku. Namun
kami selalu berdoa untuk satu sekolah lagi nantinya dengan tujuan SMA yang tentu sama dong.
Dengan pagi yang bahagia melenggang menuju mading sekolah, walau bibirku yang tidak senyum tapi
hatiku dari tadi telah berseri-seri tersenyum. Amazing banget, ternyata kami satu kelas lagi. Ah, pengen
banget teriak melompat-lompat, tapi jangan deh, lagi rame soalnya.
“Ya mau gimana lagi yah, kalo aku gak ikut orangtua trus sendiri dong di rumah, ngeri banget kalo
dibayangin, apalagi malam Tir, ihh ogah mah yaww dipeluk hantu” ujar Tania sambil membayangkan.
“Kan bisa Ntan mu nginep di rumahku”, dengan sedikit sebel menjawab Tania.
“Yaa, mu mah enak bilang gitu, yang segan mah aku nya Tir. Masa selama tiga puluh hari numpang hidup
sama keluargamu. Orang tuamu emang gak masalahin tapi kamu tau sendiri lah Fadilah Tania Kiran ini
gimana” ujar Tania membela diri.
“Sok malu, sok segan, sok santun, masih banyak lagi.” ucapku bercanda.
“Iya hadir Ntan, udah ah hayuklah ke lapangan.” bujukku sebelum emosinya memuncak dan berhubung
sebentar lagi jam tujuh tepat.
Berbaris rapi, siap dan tegap untuk mengikuti upacara bendera yang dilakukan pengurus OSIS pagi ini.
Seusai upacara dengan sedikit susah diatur bagi siswa baru yang telah seminggu sudah menyelesaikan
masa pengenalan lingkungan sekolah atau singkatnya MPLS. Seperti biasa di awal masuk pasti bersama
walas dan tak luput dari pengenalan diri. Berhubung kami telah dua tahun bersama tentu tidak ada yang
tidak kenal lagi, ada yang satu organisasi, dikenalkan dari teman satu kelas dulu, dan lainnya.
“Baiklah semuanya kita sudah menyepakati perangkat kelas tanpa debat, berhubung lima menit lagi
istirahat kita cukupkan sampai disini. Pesan Ibu tolong patuhi semua kesepakatan dengan guru mata
pelajaran kalian. Ibu pamit dulu dan silahkan istirahat”, penyampaian arahan berwibawa dari wali kelas
kami Bu Walen, yang biasa dipanggil Bu Wal mengajar seni budaya.
“Baik Bu, siap Bu, oke Bu.” berbagai jawaban kelas dengan tujuan yang sama.
“Jujur deh, seneng banget loh kita sekelas lagi.” Tania. “Iyalah, inget yah kita bukan musuh bukan
saingan, kita satu kelas lagi dan terpenting sahabatan. Jadi harus saling menguatkan terutama kerjasama
yang legal.” ujarku.
“Contohin dong yang ilegal tuh kayak mana.” canda Tania. “Yaelah, kayak mu yang minta contekan ujian
waktu itu loh.” ujarku sok serius.
“Yah, sok lupa dia”, ujarku sambil tertawa dan Tania beneran mikir kapan dia nyontek, padahal kan
emang gak pernah, setauku.
“Udah-udah ah, janji dulu kita akan terus saling menguatkan, membantu dan kerjasama sesuai
kemampuan kita”, kata Tania serius.
“Iya, janji, janji, janji.” ucap kami mode serius saling menautkan kelingking dan serentak mengucapkan
“SAH.” lalu tertawa terbahak-bahak.
Sebulan ini telah berlangsung kegiatan kami seperti biasa. Tiba-tiba Jiji naik ke atas mejaku. “Tania,
Tiara, Kalian kenapa sih selalu aja makan, cerita, pulang pun berdua.” interogasinya.
“Emang kenapa? Apa mu terganggu Ji? Yang lain masalah juga kah?.” tanyaku sedikit emosi. “Apa
pernah kalian dengar kami gibahin kalian, trus apa dong masalah buat kalian? Ngapain kamu nanya gitu
Ji. Kesan mu ngomong gitu sedikit menyentil loh Ji. Dan maaf aja yah soal bercerita sama kalian belum
bisa, ku gak tau apa kalian ini ember apa bukan, apa kalian peduli dengan ceritaku yang mungkin gak
sefrekuensi dengan kalian.” Tania ikut terbawa emosi dengan kelakuan Jiji.
“Oh satu lagi, tolong sedikit sopan yah, untung gak ada guru ngelintas depan kelas” ucap Tania memukul
meja lumayan keras.
“Bentar ada lagi, privasiku hanya orang tertentu yang boleh tau. Jadi tolong mengerti aja, kita satu kelas,
kita semua teman, jadi mending kita saling memberi kesan yang baik aja yah.” jelasku yang memang gak
pengen bikin masalah dan biar tidak ada yang merasa didiskriminasi.
Keesokan pagi jam pertama sama walas, Bu Wal bertanya soal masalah kami kemarin. Ternyata
probleman kami kemaren sampe ke telinga Bu Wal.
“Salah satu dari kalian tolong jelaskan rinci keributan di kelas kemarin. Ibu tidak ingin ada keributan
antar anak asuh Ibu. Tidak ada pengelompokan dan geng-gengan.” jelas Bu Wal.
Setelah mendengar penjelasan dariku tidak ada sanggahan dari teman karena yang kusampaikan seperti
adanya. “Oke Bu Wal simpulkan, kalian pengen Tiara dan Tania terbuka, transparan dengan kalian,
benar?” Bu Wal. “Iya Bu, benar.” jawab mereka sebagian.
“Dulu Bu Wal juga pernah remaja seperti kalian, memang benar kita bercerita lebih sering pada teman
yang kita percaya seperti seorang sahabat. Tapi Tiara sama Tania jangan berdua aja terus, kalian
semuanya harus bersosialisasi antar satu sama lain, ngumpul bareng-bareng, saling mencurahkan. Bukan
berarti Bu Wal meminta pada anak didik Ibu membicarakan masalah pribadi ya. Seperti status keluarga,
tapi biasakan mengangkat topik umum yang dibahas siswa remaja, supaya suasana kelas ramai hingga
nantinya tercipta rasa kekeluargaan. Kalian saling dekat satu sama lain, damai dan ramai. Bu Wal sebagai
walas pun senang, bisa dimengerti dan laksanakan ya nak.” terang Bu Wal memberi pengertian. “Iya bu,
mengerti.”
Saat pulang sekolah kami saling meminta maaf dan bertekad akan membangun suasana kelas lebih
hidup dan menghindari pertengkaran. Setelah kejadian di kelas suasana kelas memang lebih ramai, lebih
banyak canda tawa, lebih toleran antar teman karena semua telah sadar, suatu hubungan yang baik
dimulai dari kerjasama yang lebih baik.