0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1 tayangan37 halaman

BAB II Kajian Teoritik

Demokrasi dan Perkembangannya

Diunggah oleh

Arif assenge
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1 tayangan37 halaman

BAB II Kajian Teoritik

Demokrasi dan Perkembangannya

Diunggah oleh

Arif assenge
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 37

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Demokrasi dan Perkembangnnya

Definisi dan terminologi Demokrasi sangatlah beragam. Dalam sejarahnya

Demokrasi dianggap sudah mulai muncul sejak zaman Yunani Kuno dari capaian

praktisnya disebut dengan Negara Kota (Polis). Polis adalah bentuk demokrasi

pertama yang lahir di Negara Kuno tersebut. Pericles dalam bukunya yang

terkenal, Funeral Oration, menyatakan bahwa pemerintahan Athena disebut

Demokrasi karena administrasinya berada ditangan banyak pihak. Demikian pula

ahli drama Aeschylus dengan bangga berkesimpulan bahwa tidak ada

pemerintahan di Athena karena rakyat adalah pemerintah. 1 Adapun Demokrasi

yang berkembang pada abad XX mengikuti tradisi Schumpeterian mendifinisikan

bahwa sistem politik yang demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif

yang paling kuat dalam sistem itu yang dipilih melalui pemilihan umum yang adil,

jujur, dan berkala.2 Dalam Demokrasi, menurut Herodotus terdapat tiga prinsip

yaitu: Kesamaan dimata hukum (equality), Partisipasi masyarakat dalam membuat

kebijakan (Participation by citizenry) dan Kebebasan (Freedom).3 Sementara

menurut Hobbes Demokrasi merupakan hak individu yang merupakan tujuan

utama manusia, dan bahwa manyarakat harus diatur untuk mempersempit sering

1
Abu Bakar Ebyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Jogjakarta, Ruzz Media2010), h. 261
2
Affan Sulaeman, “Demokrasi, Partai Politik dan Pemilihan Kepala Daerah” ,Jurnal Ilmu
Pemerintahan, Vol.1, No.1 (April, 2015), h, 14.
3
Zainor Ridho, Pengantar Ilmu Politik, (Serang, LP2M 2015), h.48.

1
terjadinya kekerasan terhadap manusia, sehingga menurut Hobbes kekuasaan

dinobatkan untuk seorang raja. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang

paling efektif.

Sistem Demokrasi lahir dan menjadi wacana dunia ketika sistem yang lama

yaitu sistem feodalisme yang berkembang pada abad pertengahan tidak mampu

lagi menjawab tuntutan-tuntutan zaman yang dialektis. Penghancuran sistem lama

yang cenderung disalah gunakan oleh penguasa sebetulnya tidak terjadi pada

abad-abad pertengahan saja. Pada masa dimana Yunani Kuno kekuasaannya

dikendalikan oleh sistem yang menindas budak dan rakyat jelata, perjuangan

untuk merubah satu tatanan pemerintahan yang demokratis telah diperjuangan

dengan gigih. Penyebab utama dan universal dari perasaan revolusioner tersebut

yakni keinginan akan kesetaraan. Ketika manusia berfikir bahwa mereka setara

dengan yang lain yang memiliki lebih dari mereka, atau keinginan akan

ketidaksetaraan dan superioritas, yakni ketika mereka yakin lebih superior mereka

berfikir bahwa mereka tidak memiliki lebih, tetapi sama atau kurang dari

inferioritas mereka, sebuah pretense yang mungkin tidak adil. Para inferior

berjuang agar mereka memiliki hak yang sama dan setara dalam kesempatan

untuk menjadi superior. Ini adalah pola pikir yang menciptakan revolusi.4

Gagasan Demokrasi sebetulnya bukanlah gagasan yang sama sekali baru. Di

Yunani Kuno abad ke-6 sampai ke-3 S.M. sistem Demokrasi telah dipakai dengan

prakteknya yang masih sangat primitif, yaitu demokrasi langsung yang berarti

dimana bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan

politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak
4
Aristotheles, Politik (La Politica), (Cianjur, Visi Media, 2007), h. 231

2
berdasarkan prosedur mayoritas. Baru setelah modernisasi berlangsung sistem

Negara tidak lagi menggunakan demokrasi langsung, tetapi dikonfederasikan

menjadi demokrasi berdasarkan perwakilan (representative demokracy)

Gelombang demokrasi ketiga berjalan secara simultan dan sporadis dibanyak

Negara, dimulai dari Portugal dan Yunani pada tahun 1974 sampai Spanyol,

Amerika Latin, Uni Soviet dan Eropa Timur terus menjalar ke belahan Asia.

Perubahan sistem yang begitu revolusioner tersebut dilatar belakangi oleh

berbagai faktor antara lain: karena Sosial, Ekonomi, Kultur, Budaya dan

Internasional. Secara spesifik, faktor Internasional ini disebut sebagai “efek bola

salju” yang telah merangsang Negara-negara lainnya untuk mengubah rezimnya

yang otoriter menjadi demokratis.

Dalam masa transisi tersebut, Huntington menyebutkan ada tiga proses yang

mendorong perubahan tersebut antara lain yaitu (1) interaksi antara pemerintah

dan pihak oposisi, (2) interaksi antara kelompok pembaharu dan konservatif, (3)

interaksi antara kelompok moderat dan ekstrem dalam kelompok oposisi.5

Ada berbagai macam istilah demokrasi yang kita kenal sekarang ini. Ada

yang dinamakan Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Parlementer, Demokrasi

Terpimpin, Demokrasi Pancasila, Demokrasi Rakyat, Demokrasi Soviet,

Demokrasi Nasional, dan lain sebagainya. 6 Dari sekian banyak aliran pikiran yang

dinamakan demokrasi ada dua aliran kelompok yang paling penting, yaitu aliran

5
Affan Sulaeman, “Demokrasi, Partai Politik dan Pemilihan Kepala Daerah” ,...h, 14.

6
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2015),
h. 105

3
demokrasi konstitusional dan aliran demokrasi yang disandarkan pada

Komunisme.

a. Demokrasi Konstitusional

Ciri khas dari demokrasi konstitusional ini adalah gagasan bahwa pemerintah

yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak

dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-

pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu

sering disebut pemerintah berdasarkan konstitusi (constitusional government).7

Sebetulnya pembatasan kekuasaan dengan konstitusi ini pernah dirumuskan

oleh seorang ahli sejarah Inggris, Lord Acton dengan mendasarkan

argumentasinya pada manusia yang punya kecenderungan untuk menyeleweng

dan berbuat sewenang-wenang. Dalilnya yang kemudian menjadi masyhur

berbunyi sebagai berikut: “Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk

menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak

terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula”.

Sikologi dari munculnya sebuah teori pembatasan kekuasaan dan teori-teori

lain yang lahir dalam akhir abad pertengahan kerena sistem pemerintahan yang

sebelumnya berlangsung adalah sistem monarky absolut yang muncul sejak 1500-

1700 yang menganggap bahwa kekuasaan raja adalah mutlak dan tidak bisa

tergantikan. Akhir abad pertengahan merupakan akhir pula keruntuhan sistem

monarki absolut ini, karena kecaman-kecaman telah banyak dilontarkan terhadap

gagasan absolut ini dan mendapat banyak simpati dari kelas menengah (borjuasi
7
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik...h. 107.

4
kecil) yang mulai berpengaruh berkat majunya kedudukan ekonomi serta

meningkatnya mutu pendidikan.

Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu

teori rasionalistis yang umumnya dikenal sebagai social contract (Kontrak sosial).

Salah satu asas dari gagasan kontrak sosial adalah bahwa dunia dikuasai oleh

hukum yang timbul dari alam (Nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan

yang universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apakah

ia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan hukum alam (Natural

Law, Ius Naturale). Unsur universalisme inilah yang diterapkan pada masalah-

masalah politik. Teori kontrak sosial beranggapan bahwa hubungan antara raja

dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat

kedua belah pihak. Kontrak sosial menentukan disatu pihak bahwa raja diberi

kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan

suasana dimana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (Natural Rights) dengan

aman. Dipihak lain rakyat akan menaati pemerintahan raja asal hak-hak alam itu

terjamin.8

Ilmuan yang mencetuskan gagasan kontrak sosial tersebut adalah John Locke

dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755). Menurut

Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak

untuk mempunyai milik. Gagasan itu kemudian mencoba diontruksi dalam sebuah

sistem oleh Montesquieu untuk diekspresikan dalam politik yang teorinya

kemudian dikenal sebagai Trias Politica.

8
Miriam Mudiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,... h. 111

5
Dari kerangka teoritik yang dicetuskan oleh kedua tokoh tersebutlah kemudian

meletus Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 serta Revolusi Amerika Serikat

melawan Inggris. Meletusnya Revolusi di dua negara besar tersebutlah Demokrasi

mendapatkan perwujudan yang konkret sebagai program dan sistem politik yang

kedepan merangsang negara-negara lain termasuk Indonesia pasca

kemerdekaannya pada tahun 1945 untuk mengadopsinya.

b. Demokrasi Dalam Terminologi Marxisme

Demokrasi yang telah dicetuskan dan dibakukan menjadi konsepsi bernegara

pasca meletusnya Revolusi Prancis dan Amerika Serikat tidak kemudian diadopsi

secara penuh oleh negara-negara lain. Motifnya tentu saja karena demokrasi yang

lahir dari revolusi tersebut adalah demokrasi liberal yang menghendaki kebebasan

individualisme. Seperti yang telah diulas dalam bab sebelumnya, Revolusi Prancis

mendapatkan dukungan penuh dari kelas menengah (Borjuasi Nasional yang kelak

menjadi Kapitalisme) karena mereka merasa dirugikan tidak saja dalam politik,

tetapi juga dalam kebijakan ekonomi yang mengganggu proses produksi mereka.

Dengan meletusnya Revolusi membawa slogan “Liberte, Egalite and

Frathernite” revolusi borjuis pun mencapai titik kemenangannya yang hanya

memberikan kebebasan politik terhadap rakyat. Dalam persoalan ekonomi tidak

pernah terjadi demokratisasi. Dalam komunisme, Ekonomi menjadi basis struktur

yang paling primer yang harus dipenuhi bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Itu artinya manusia harus melakukan aktifitas produksi sebagaimana dikatakan

oleh Engels “Manusia harus lebih dulu makan, minum, mempunyai perumahan

6
dan pakaian sebelum dapat mengusahakan politik, ilmu, kesenian, agama dan lain-

lain. Tanpa kegiatan berproduksi itu, setiap masyarakat akan binasa, betapa

tinggipun perkembangan intelektual yang sudah dicapai dalam masyarakat itu”. 9

Namun dalam memperoleh kedaulatan demokrasi secara utuh itu tidak serta-

merta diperoleh begitu saja. Umat manusia diharuskan melakukan ˗˗˗ apa yang

disebut Karl Marx sebagai Perjuangan Kelas˗˗˗ dengan mempertentangkan antara

kelas penindas dengan kelas yang tertindas. Dalam analisanya yang terkenal, yaitu

Materialisme Historis, praktek analisa yang termanifestasi dari Teorinya yang

masyhur Materialisme Dialektis, penindasan sudah berlaku sejak ratusan tahun

lalu dengan tingkatnya yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan

masyarakat.

1. Materialisme Dialektis

Pada masa peralihan dari abad 18 ke abad 19, di Jerman diaman

kapitalisme berkembang agak terbelakang, ideologi borjuis berwujud dalam

bentuk yang umumnya kita sebut Filsafat Klasik Jerman. Sebagai puncak

perkembangan aliran filsafat ini adalah Hegelianisme.

Sumbangan ajaran Hegel dalam sejarah perkembangan fikiran umat

manusia besar sekali nilainya, bukan pandangan idealismnya saja, melainkan

ajaran dialektikanya, jiwa filsafatnya. Hegel sendiri pun pernah mengatakan

“yang penting didalam filsafat ialah metode, bukan kesimpulan-kesimpulan

khusus mengenai ini atau itu”.10 Sementara Materialisme yang digunakan dan

disempurnakan oleh Marx, ia terinspirasi oleh Feuerbach. Filsafat ini muncul


9
“Tentang Marxisme” https://www.marxists.org, diakses pada 19 Januari 2020, pukul
16.23 WIB
10
D.N Aidit, Tentang Marxisme, (Jakarta, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1963), h. 25

7
ketika pertengahan abad ke-19, tatkala kapitalisme sudah berkembang pesat,

kekuasaan feodal mulai goncang tetapi masih mampu mempertahankan diri

dengan gigih dan nekat. Dalam keadaan itu munculah materialisme Feuerbach

yang tidak hanya mewakili kepentingan kelas borjuis, tetapi juga borjuis kecil

yang sangat menderita hidupnya pada waktu itu.11

Secara sederhana, Materialisme Dialektika dalam melihat segala realitas

yang ada selalu bertentangan satu degan yang lainnya dan itu terjadi secara

objektif. Untuk memahami lebih jelas tentang teori ini, ada pokok-pokok yang

memaparkan dengan secara gamblang.

a. Pokok-Pokok Materialisme Dialektis

 Dunia Adalah Materi

Dalam filsafat materialisme pertama-tama mengakui bahwa

keadaan atau materi merupakan hal yang primer. Sementara fikiran

atau ide adalah sekunder yang dilahirkan dan ditentukan oleh materi.

Dengan demikian, semua gejala yang ada di dunia ini mempunyai satu

dasar yang sama, yaitu materi. Lantas apa sebetulnya materi itu?

Untuk menjawab pertanyaan demikian, harus dibedakan materi

dalam terminologi filsafat dengan materi menurut terminologi ilmu

alam.

Menurut filsafat, materi berarti segala sesuatu yang berada diluar

dan tidak bergantung pada kesadaran manusia, tidak diciptakan dan

dikendalikan oleh suatu ide apapun. Dan dapat menimbulkan sensasi

serta melahirkan refleksi didalam pikiran manusia. Sementara menurut


11
D.N Aidit, Tentang Marxisme,…h. 27.

8
ilmu alam, materi adalah mengenai susunan (struktur) dan organisasi

daripada segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dengan demikian,

materi menurut ilmu alam didasarkan pada tingkat perkembangan

pengetahuan manusia terhadap alam. Jadi sudah jelas materi dalam

sudut pandang filsafat cakupannya lebih luas, tidak sebatas mengenai

benda-benda atau proses-proses alam saja, tetapi melingkupi juga

gejala-gejala sosial yang berkembang dalam masyarakat.

 Dunia Materil adalah Satu Kesatuan Organik

Ciri terpenting yang membedakan filsafat Marx dengan filsafat-

filsafat sebelumnya ialah tentang cara (Metodenya) dalam melihat

gejala alam atau gejala sosial. Dalam memahami berbagai gejala,

metode yang digunakan oleh filsafatnya ialah Dialektik. Sementara

keterangannya (Interpretasinya) mengenai gejala alam ialah dengan

materialisme.

Yang dimaksud dengan metode dialektis adalah suatu cara

mengenal, mempelajari dan menganalisa segala sesuatu dengan hukum

dialektika, yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan

gejala-gejala yang berlaku secara objektif di dunia semesta ini. Oleh

karena itu, materialisme dialektik memandang dunia materil ini bukan

sebagai suatu tumpukan gejala-gejala yang terjadi secara kebetulan,

tidak ada hubungan tertentu, terpisah satu sama lain, dan berdiri

sendiri-sendiri. Tetapi sebagai satu kesatuan yang organic, yang saling

9
berhubungan satu sama lain, saling mempengaruhi dan menentukan

satu dengan yang lainnya.

 Dunia Materil Senantiasa Berkembang

Tidak hanya sebatas memandang dunia materil ini satu kesatuan

yang organik, materialisme dialektik juga memandang bahwa dunia ini

senantiasa dalam keadaan bergerak dan berkembang. Dunia bergerak,

dipandang oleh materialisme dialektis merupakan gerak sendiri, yang

berarti bahwa gerak tersebut didorong oleh faktor yang terkandung

dari dalam, bukan dari luar.

 Dunia Materil Berkembang Menurut Hukumnya Sendiri

Dalam keadaan gerak tersebut, dunia materil tidak serta merta

bergerak tanpa ada hukum-hukum ilmiahnya. Bagaimanakah hukum

dari dialektika itu? Angels merumuskannya dalam tiga hukum pokok

antara lain:

a) Hukum Tentang Kontradiksi

b) Hukum tentang perubahan Kuantitatif ke Kualitatif

c) Hukum Tentang Negasi daripada Negasi.12

Sementara Materialisme Historis menganalisa sejarah perkembangan

masyarakat dari permulaan zaman hingga masyarakat dimana Marx berada

dengan menggunakan pokok-pokok dari materialisme dialektis nya itu. Dari hasil
12
D.N Aidit, Tentang Marxisme,…h.47.

10
analisanya terhadap sejarah perkembangan masyarakat, bahwa ekonomi

merupakan basis bawah yang harus didahulukan sebelum mengerjakan basis atas

seperti berfikir, berpolitik, beragama, bernegara dan lain-lain.

Ketika meletus revolusi di Uni Soviet tahun 1917 yang diinisiasi oleh

Lenin, ia berhasil membentuk diktator proletariat seperti yang dibayangkan oleh

marx. Undang-Undang dasar 1918 mencerminkan tahap pertama revolusi yang

memusnahkan golongan golongan penindas seperti tuan tanah, borjuasi dan lain-

lain.13 Hal demikian dilakukan demi tegaknya Demokrasi seperti yang Lenin

bilang, “Demokrasi tertinggi adalah pemilikan alat-alat produksi ditangan

rakyat”.14

B. Format Demokrasi Indonesia dan Dinamikanya

Sesudah perang dunia II berakhir muncul beberapa Negara di Asia dan Afrika

yang ingin membangun negaranya dengan sistem pemerintahan yang berlaku di

Negara-negara barat. Ada yang tertarik dengan Demokrasi ala Komunisme seperti

China, Korea Utara, dan lain-lain, namun tak sedikit pula tertarik dengan

Demokrasi Konstitusional meski berlainan corak dengan demokrasi yang telah

digunakan di dunia barat.

Dalam masa-masa kemerdekaannya, Indonesia sendiri menggunakan

demokrasi konstitusional sebagai sebuah sistem Negara yang berlaku dari tahun

1945-1959. Namun pada perkembangannya, sistem tersebut menemui banyak

13
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,…h.146
14
“Mengenal Ajaran Sosio-Demokrasi Bung Karno”, http://www.berdikarionline.com,
diakses pada 20 januari 2020, pukul 10.47 WIB

11
problem yang tidak berkesudahan. Alasan mendasarnya adalah karena sistem ini

tidak cocok dengan kultur masyarakat Indonesia.

Persatuan yang seharusnya dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh

bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan

konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih

demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk didominasi oleh partai-

partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-Undang Dasar 1950

menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri

atas presiden sebagai kepala Negara konstitusional dan mentri-mentrinya

mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik,

setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua partai besar

dengan beberapa partai kecil. Faktanya koalisi kurang mantap dan partai-partai

dalam koalisi tidak segan-segan menarik dukungannya sewaktu-waktu, sehingga

kabinet sering kali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan

demikian, timbul kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam

menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan.

Akibat sering timbulnya gejolak dalam koalisi, kabinet dalam masa pra

pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama

dari rata-rata delapan bulan. Imbasnya tentu saja menghambat perkembangan

ekonomi dan politik oleh karena pemerintahan tidak punya kesempatan banyak

untuk menjalankan programnya. Pemilu di tahun itupun tidak mampu membawa

stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan yang

paling gawat antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.15


15
Mirian Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, …h.129

12
Memang dalam masa-masa awal kemerdekaan Indonesia sampai tahun

1965 pencarian format politik dilakukan tidak kenal lelah agar betul-betul sesuai

dengan corak dan karakteristik bangsa Indonesia. Robert Elson menunjukan

bahwa masalah politik nyata tentang bagaimana membangun konsensus pada

1950-an bukan hanya tentang komposisi Negara, tetapi lebih penting lagi tentang

seperti apakah Negara dan apa yang dilakukan Negara.16

Namun demikian celah budaya, sosial, politik, ideologi yang sangat dalam

bersama dengan kesombongan dan rasa berpuas diri akan kepemimpinan Negara

baru menjadikan pembuatan konsensus menjadi berat dan menantang. Agenda-

agenda berbenturan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok bersaing merupakan

penyebab utama ketidakstabilan politik selama masa Soekarno. Dari situasi ini,

seperti yang dikutip dalam bukunya Hong Liu, M.C. Ricklefs mengatakan

“melihat situasi yang dihadapi pemerintah Indonesia pada 1950-1957, tidak

mengejutkan jika percobaan demokrasi kolaps, oleh karena sedikit sekali pondasi

diatas demokrasi perwakilan bisa dibangun”.17

Salah satu indikasi dari proses mencarinya sebuah sistem politik yang

ideal itu adalah percobaan dan kegagalan demokrasi parlementer gaya barat yang

sejak awal ditolak oleh Soekarno maupun oleh Hatta dalam berbagai risalah yang

ditulisnya.

Pada desember 1949 pasca penyerahan kedaulatan Republik Indonesia

secara penuh, seperti yang telah disinggung diatas, didirikanlah demokrasi

konstitusional yang diadopsi dari Belanda dan Inggris, dimana presiden hanyalah

16
Hong Liu, Sukarno, Tiongkok dan Pembentukan Indonesia (1949-1965),…h.136
17
Hong Liu, Sukarno, Tiongkok dan Pembentukan Indonesia (1949-1965),…h.136

13
sebatas kepala Negara, sementara parlemen dan perdana mentri yang diangkat

oleh parlemen memegang kekuasaan politik tertinggi. Dalam pemilihan umum

pertama di Indonesia pada tahun 1955, 28 partai mendapatkan setidaknya satu

kursi di parlemen, dengan hanya empat partai yang mendapatkan lebih dari

delapan kursi: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Partai Nahdlatul

Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kabinet harus dibentuk

melalui kesepakatan multipartai dan koalisi. Namun kepentingan berbeda dan

sering kali bertentangan yang diwakili oleh partai-partai besar membuat praktik

pembagian kekuasaan ini menjadi sangat sulit yang menghasilkan tingginya

frekuensi pergantian kekuasaan. Setidaknya terdapat enam perdana mentri antara

tahun 1950-1957; kabinet baru dibentuk setiap 12,4 bulan. Kabinet-kabinet

berumur pendek ini sangat bergantung pada kepentingan-kepentingan yang saling

bersaing dari koalisi rekanan partai yang berubah-ubah seperti yang telah

digambarkan diatas.

Disisi lain, konflik sosial dan kemandekan ekonomi menjadi masalah

serius yang mengikis pondasi Negara Indonesia. Walaupun Produk Domestik

Bruto (PDB) Indonesia tumbuh sebesar 5,6% per tahun antara 1950-1955

pertumbuhan rata-rata tahunannya adalah sebesar 1,7% dari tahun 1958-1965. Hal

tersebut menyiratan merosotnya pendapatan per kapita, oleh karena populasi

tumbuh sebesar sekitar 2% per tahun antara 1950-1970. 18 Sementara inflasi juga

meningkat pesat sampai mencapai 100% per tahun dalam masa 1050-1957 dengan

disertai korupsi yang merajalela terutama ditubuh Pegawai Negeri Sipil yang sulit

untuk hidup layak dari penghasilan mereka yang tidak seberapa.


18
Hong Liu, Sukarno, Tiongkok dan Pembentukan Indonesia (1949-1965),…h.137

14
Situasi ini mendorong daerah-daerah lain diluar pulau jawa mengadakan

konfrontasi dengan pemerintah pusat kerena mereka menganggap pemerintah

hanya mengeksploitasi mereka. Konflik ini juga mendapat sokongan dari militer

yang dipusatkan di daerah-daerah. Nyaris, dalam kondisi yang sedemikian rumit

Indonesia baru hancur. Sejak saat itu Soekarno selaku Pemimpin Besar Revolusi

menyatakan keadaan darurat pada maret 1957 dengan didukung penuh oleh

panglima angkatan darat dibawah komando A.H Nasution. Selang dua tahun

berlalu, sistem demokrasi konstitusional ala parlementer dibubarkan dan

didirikanlah demokrasi terpimpin secara formal.

Dalam masa-masa krisis Indonesia baik secara politik akibat konflik sipil

dan militer serta krisis ekonomi dengan inflasinya yang begitu besar, Soekarno

lantas keluar negeri pada tahun 1956. Perjalanan tersebut sangatlah penting karena

menyediakannya sebuah contoh praktis dan konseptual tentang pembangunan

bangsa yang pada gilirannya memainkan peran penting dalam merumuskan ulang

visinya sendiri bagi Indonesia. Disebut penting karena perjalanan tersebut

memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk mengamati dan membandingkan

dua sistem sosial utama dunia. Karena problem utama bangsa kala itu sistem

tatanan politik yang harus berkesesuaian dengan kehidupan sosial masyarakat

Indonesia. Usai berkunjung ke Amerika Serikat dan Negara-negara eropa barat

lainnya, Ia melakukan kunjungan lanjutan antara lain ke Yugoslavia,

Cekoslawakia, Uni Soviet, Mongolia dan terakhir ke RRT.

Menurut laporan Soekarno sendiri, perjalannya ke Amerika Serikat lebih

kurang mengecewakan. Walaupun Ia terkesan dengan kemajuan materiilnya,

15
Soekarno menyadari bahwa kedua Negara berada pada tahap pembangunan yang

berbeda dan akan sulit bagi Indonesia untuk mengejar Amerika. Faktor utamanya

mengingat Indonesia merupakan Negara yang baru merdeka dibandingkan dengan

Negara Amerika yang telah ratusan tahun lalu memastikan negaranya sebagai

Negara paling industrialis di dunia. Faktor lainnya tentu saja karena alasan

Ideologi. Sebagai politikus yang pemikirannya banyak disokong oleh pemikir-

pemikir kiri, ia sangat tidak menyukai sistem kapitalisme yang yang tidak akan

bisa menjamin kestabilan sosial.19 Tidak berbeda dengan Amerika Serikat,

Negara-negara lain yang ia kunjungi pun tidak menarik minatnya untuk diadopsi

diimplementasikan di Indonesia kecuali RRT. Masa antara 1956-1958 sangat

penting bagi Soekarno dalam merumuskan kembali cetak biru Indonesia. Dalam

proses ini, ia secara konsisten memanfaatkan Tiongkok sebagai rujukan untuk

memvalidasi seruannya bagi perubahan mendasar. Lebih spesifik lagi,

presentasinya akan citra Tiongkok jelas sekali dikaitkan dengan pandangannya

untuk mengubah masyarakat Indonesia, yang bisa dilihat dari tiga dimensi yang

saling berkaitan: kebutuhan akan perubahan, arah perubahan, dan metode

perubahan.

Pertama, Tiongkok memperkuat kepercayaan Soekarno bahwa Indonesia

harus merestrukturisasi secara mendasar sistem politiknya yang ada saat itu.

Situasi dalam negeri yang kacau sangat bertolak belakang dengan apa yang ia

saksikan di Tiongkok. Segera setelah mendarat di Jakarta pada 17 Oktober 1956,

Soekarno mengatakan bahwa ia "merasa muak melihat kondisi kita di sini" dan ia

sangat terkejut melihat "kemerosotan" partai-partai politik Indonesia. Pada 28


19
Hong Liu, Sukarno, Tiongkok dan Pembentukan Indonesia (1949-1965),…h.224

16
Oktober, dalam pidato publik pertamanya setelah kembali dari perjalanannya ke

luar negeri, Soekarno menyatakan bahwa ia sangat terkesan oleh upaya bangsa

Tionghoa dalam membangun masyarakat baru. Komentar positif ini berfungsi

sebagai alasan untuk mengkritisi situasi yang mengganggu di tanah air: "Kami

telah membuat kesalahan sangat besar pada 1945 ketika kita mendorong pendirian

partai-partai, partai-partai, dan partai-partai." Dua hari kemudian, Soekarno

mengungkapkan bahwa ia telah memiliki "konsepsi" untuk mengatasi masalah

negara. Soekarno mengatakan bahwa ia sudah lama tidak puas dengan cara di

mana partai-partai menjadi kendaraan yang melayani kepentingan pribadi para

pemimpinnya (ia tidak pernah mengungkapkan ketidakpuasan ini secara terbuka

sebelumnya). Perjalanannya ke Tiongkok sepertinya telah menuntunnya pada

perubahan pikiran parsial. "Saya kembali dari kunjungan saya ke Uni Soviet dan

RRT dengan rasa kekaguman yang luar biasa," kata Soekarno, "Saya tidak lagi

bermimpi dan mulai mengusulkan agar para pemimpin rakyat bermusyawarah lalu

memutuskan untuk mengubur semua partai." Dalam pidato yang disampaikan di

Banjarmasin pada 22 Juli 1957, Soekarno melanjutkan serangannya pada

demokrasi parlementer yang dianggapnya tidak sesuai untuk Indonesia dan

mendorong orang Indonesia untuk mengambil pendekatan Tiongkok agar bisa

keluar dari masalah yang ada.

Kedua, Tiongkok yang dipahaminya menyediakan Soekarno sebuah

contoh yang bisa diterapkan bagi arah perubahan. Jika perubahan dianggap perlu,

seperti disepakati oleh mayoritas orang Indonesia, arah mana yang harus diambil

oleh perubahan ini? Soekarno telah menjelaskan bahwa demokrasi gaya Barat

17
tidak bisa diterapkan di Indonesia. Ia menyimpulkan bahwa baik Amerika Serikat

maupun Uni Soviet adalah negara yang terlalu maju sehingga Indonesia tidak bisa

mempelajari pelajaran apa pun dari sana. Sebaliknya, pengamatannya terhadap

kejadian di Tiongkok telah memperkuat pendapatnya bahwa Asia memang

berbeda dan masalah di kawasan ini harus diatasi dengan menggunakan "rumusan

Asia". Sebagai negara Asia yang baru merdeka dan telah membuat pencapaian

mengagumkan, RRT jelas memberikan daya tarik besar kepada Soekarno.

Mengikuti Mao, ia percaya bahwa demokrasi hanyalah "sarana untuk mencapai

tujuan", dan akhirnya menjadi yakin bahwa dua bahan penting bagi sistem baru

yang diusulkannya adalah "kepemimpinan" dan "sosial-demokrasi". Keyakinan

yang berkembang ini sebagian terinspirasi oleh apa yang ia saksikan secara

pribadi di Tiongkok, yaitu peran penting kepemimpinan dan stabilitas dalam

pembangunan bangsa.

Praktik sosial-demokrasi Tiongkok, seperti yang dipahami oleh Soekarno,

meninggalkan jejak pada konten spesifik solusi bagi Indonesia. Pada 3 Juli 1957,

Soekarno menyampaikan apa yang dianggapnya sebagai "salah satu pidato paling

penting sepanjans hidupnya" di hadapan Konferensi Partai Nasional Indonesia d

Bandung. Membedakan sosial-demokrasi dari demokrasi parlementer ("filosofi

borjuis yang sedang bangkit" di Barat), Soekarno berpendapat bahwa Indonesia

harus menerapkan sosial-demokrasi yang akan membawa kemakmuran ekonomi

serta kesetaraan sosial. Untuk tujuan ini, perlu untuk menempatkan konsep

"kebebasan" dalam konteks yang tepat. "Di Amerika Serikat prioritas diberikan

pada kebebasan berbicara, dan kebebasan dari kebutuhan datang belakangan",

18
tetapi praktik ini, menurut pendapat Sukarno, menciptakan ketidakadilan sosial.

Sebaliknya di Uni Soviet dan RRT, "apa yang diberi prioritas adalah apa yang

pertama dicari, yaitu kebebasan dari kebutuhan; kebebasan berbicara, jika

diperlukan, datang belakangan", Ia kemudian menceritakan secara terperinci

percakapannya dengan Madam Soong Ching Ling (janda Sun Yat-sen) di Beijing

beberapa bulan sebelumnya. Ia mengutip persetujuannya atas jawaban Soong

terhadap pertanyaannya mengapa Tiongkok menempatkan kebebasan dari

kebutuhan sebelum kebebasan berbicara: "karena perut tidak mau menunggu." Ia

menyimpulkan bahwa Indonesia harus memiliki sistem sosial-demokrasi, "yang di

dalamnya parlemen memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan politik

dan ekonomi bangsa, seperti di RRT dan Uni Soviet".

Ketiga, RRT menjadi model yang bisa diterapkan tentang bagaimana cara

menghasilkan perubahan politik yang konstruktif. Dengan masalah kebutuhan atas

perubahan dan arah perubahan sudah terjawab, masalah bagaimana menerapkan

transformasi yang dibutuhkan muncul ke muka. Sekali lagi, Sukarno

menggunakan Tiongkok untuk memvalidasi pendekatannya. Ada dua metode

yang sangat menarik perhatiannya: mobilisasi rakyat dan pembentukan sistem

kader. Mobilisasi massa sudah sejak lama menjadi pendekatan favorit Soekarno

bagi perubahan sosial; pengalaman Tiongkok memperkuat keyakinannya atas

efektivitas metode ini. Sebagai contoh, ia menunjukkan bahwa Tiongkok telah

membuat kemajuan luar biasa dalam produksi industri, dan Indonesia bisa meniru

sebagian metodenya. Setelah kembali dari RRT, Sukarno semakin mengelaborasi

opininya bahwa kesuksesan Tiongkok utamanya tidak terletak pada sistem

19
politiknya, tetapi pada rakyat yang dimobilisasi dan bersemangat tinggi. Oleh

karena itu, pertanyaan sebenarnya adalah bagaimana cara memobilisasi rakyat.

Sukarno mungkin teringat akan diskusi panjangnya dengan Chen Yi, yang

menyarankan bahwa unsur-unsur esensial metode kepemimpinan Tiongkok

adalah "menawarkan cita-cita yang menginspirasi dan menggunakan kader- kader

dengan baik". Dalam perjalanannya pulang ke tanah air, Soekarno menyetujui

contoh Tiongkok: "Oleh karena rakyat Tiongkok memiliki sasaran yang jelas dan

semangat tinggi, mereka bisa berhasil melakukan pembangunan masif. Para

pemimpin Indonesia harus menginspiresi rakyat dengan cita-cita sehingga

pertumbuhan ekonomi bisa dicapai. Dalam "Pidato Konsepsi"-nya pada 30

Oktober 1956, ia membenarkan pandangan bahwa mobilisasi Tiongkok yang

masif adalah produk sistem kader yang terorganisasi dengan baik, yang secara

efektif dapat menyatukan bangsa. Ia menyerukan pembentukan sistem serupa

untuk menyalakan semangat rakyat dan memudahkan persatuan nasional. Sukarno

sangat yakin bahwa Indonesia harus mengadopsi pendekatan Tiongkok, yaitu

"mencapai solidaritas melalui kritik konstruktif" dalam upaya untuk keluar dari

masalah politik dan ekonomi yang ada. Dalam sebuah pidato di hadapan

sekelompok perwira militer di Bandung, Soekarno menyebutkan contoh militer

Tiongkok, yang "tunduk pada revolusi dan tidak membuat klik militer" dalam

membenarkan seruannya untuk mempertahankan supremasi sipil terhadap militer.

Ia mendesak pemerintah untuk mengirim sejumlah delegasi ke Tiongkok guna

mempelajari isu tentang bagaimana menyeimbangkan hubungan sipil-militer.

Interpretasi Soekarno tentang pengalaman RRT dan perubahan- perubahan yang

20
dihasilkannya terhadap gagasannya sendiri merupakan satu rasionalisasi penting

bagi pendirian Demokrasi Terpimpin pada 1959. Sistem politik baru ini dicirikan

oleh tiga pengaturan kelembagaan utama. Pertama, berdasarkan Undang-Undang

Dasar 1945, presiden memiliki kekuasaan tertingi terhadap kebijakan dalam dan

luar negeri. Kedua, Kabinet bekerja berdasarkan prinsip Gotong Royong, dan

semua partai utama berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Ketiga,

dewan nasional menggantikan parlemen.20

Pada proses pelaksanaannya, Demokrasi Terpimpin yang terinspirasi dari

Tiongkok ini juga ternyata tidak berjalan dengan mulus. Oleh karena kurang

mendapat dukungan kelembagaan yang kuat, Sukarno harus memainkan peranan

penyeimbang antara Angkatan Darat (Pro Amerika Serikat) dan dan PKI (Pro

Tiongkok) karena memang dua organisasi terbaik ini sudah sejak lama berkonflik

ideologi ditengah situasi internasional saat itu bersitegang perang dingin. Puncak

dari konflik itu adalah peristiwa Gerakan 30 September/G30S yang berimbas pada

sistem pemerintahan Indonesia dengan berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin.

Pasca jatuhnya Soekarno dan kekuasaan Negara ada dibawah kendali

Soeharto, praktik demokrasi konstitusional yang liberal dijalankan kembali yang

dibungkus oleh Pancasila, maka jadilah era Orde Baru ini sistem kekuasaannya

sistem Demokrasi Pancasila. Semasa kekuasaan dipimpin oleh orde baru,

kapitalisme-neoliberal yang oleh Soekarno ditolak betul-betul diberikan karpet

merah seluas-luasnya dengan membawa dampak kesenjangan ekonomi yang

begitu dahsyat. Pun dalam kebebasan politik, elemen-elemen lain yang tidak

bersepaham dengan rezim dibatasi ruang geraknya untuk tidak bisa banyak
20
Hong Liu, Sukarno, Tiongkok dan Pembentukan Indonesia (1949-1965),…h. 236.

21
berbuat. Setelah 32 tahun berkuasa dengan praktik-praktik yang tidak demokratis

dan otoriter baik ekonomi maupun politik, Orde Baru runtuh oleh gerakan pro

demokrasi pada mei 1998.

C. Partai Politik Islam di Indonesia

Ada banyak teori mengenai hubungan antar Islam politik dengan Negara

Indonesia. Seperti dijelaskan dalam bukunya Bahtiar Efendi, setidaknya ada lima

paradigma mengenai ini antara lain: teori dekonfessionalisasi Islam, teori

domestikasi Islam, teori pengelompokan mazhab, perspektif trikotomi, dan teori

Islam kultural.21 Penulis akan menjelaskan secara gamblang teori-teori tersebut.

Dekonfessionalisasi Islam

Teori ini pertama kali dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze. Dalam

artikel yang ia tulis pada tahun 1950-an, ia mencoba menjelaskan hubungan

politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia terutama untuk melihat

peran Islam dalam revolusi nasional dan pembangunan bangsa dalam kerangka

teoritik dekonfessionalisasi. Istilah dekonfessionalisasi sendiri ini pada mulanya

digunakan di belanda untuk menunjukan bahwa untuk mencapai tingkat

kebersamaan tertentu, wakil-wakil dari berbagai kelompok peribadatan harus

bertemu untuk menemukan landasan bersama (yang dirumuskan bersama), yakni

mengenai kesepakatan bahwa implikasi-implikasi dari sejumlah peribadatan

mereka harus dihindarkan sebagai topik perbedaan pendapat.

21
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia,..., h. 23.

22
Hal demikian menjadi jelas dalam konteks kemerdekaan Indonesia, dimana

rumusan bersama seperti yang dijelaskan diatas terjadi yaitu dalam proses

penentuan dasar bagi Indonesia merdeka, Pancasila yang oleh berbagai kalangan

keagamaan diterima meski awalnya menuai polemik yang tajam.

Domestikasi Islam

Teori ini seringkali diasosiasikan dengan karya-karya Hery J Benda mengenai

islam di Indonesia. Teori ini dibangun diatas landaan analisis historis mengenai

Islam di Jawa pada abad ke-16 hingga abad ke-18, terutama pada periode

perebutan kekuasaan antara penguasa-penguasa kerajaan muslim yang taat di

wilayah pesisir-pesisir pulau Jawa, diwakili Demak, melawan kerajaan Mataram

yang terkenal sinkretis di wilayah pedalaman. Ketika kerajaan yang terakhir ini

memeluk Islam, ia berusaha menekan wilayah-wilayah taklukan mereka di pesisir

yang memberontak, dan dalam proses ini menghancurkan bagian-bagian paling

dinamis dari masyarakat Muslim di pulau Jawa.

Dalam perebutan kekuasaan ini, kelompok aristokrasi Jawa yang mewakili

negara Mataram yang sinkretis, menang besar. Dengan berkembangnya suatu

aliansi antar kelompok aristokrat jawa dan kekuatan-kekuatan kolonial belanda,

proses domestikasi berkembang dalam tingkatnya yang paling luas, ditandai

dengan dimandulkannya “cengkraman politik” Islam jawa. Dalam konteks

pemandulan “cengkraman politik” Islam inilah kita menemukan esensi teori

domestikasi Herry J. Benda.22

22
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia,..., h. 29

23
Pengelompokkan Mazhab/ Aliran

Jika Benda menawarkan analisis mengenai Islam politik di Indonesia sebagai

perebutan kekuasaan terus menerus antara Islam dan Jawa-isme, dimana yang

pertama selalu berhasil dikalahkan, maka teori kelompok aliran meski tidak

langsung dapat dipandang sebagai jawaban atas pertanyaan: mengapa perebutan

kekuasaan seperti itu harus terjadi pada tempat pertama. Tidak diragukan lagi,

teori ini merupakan instrumen paling berpengaruh untuk menjelaskan politik

Indonesia pada periode pascakemerdekaan.

Proses manuver politik yang digerakkan oleh sistem aliran ini segera

membuat persekutuan orientasi abangan dan priyai dalam satu kesatuan yang

berhadapan dengan orientasi santri. Proses persekutuan politik antara kedua varian

ini, untuk satu hal, didorong oleh lembaga politik massa dan logika politik

universal yang mendekatkan kelompok priyai dan abangan. Hal itu juga

disebabkan oleh kenyataan yang kuat diterima bahwa kedua kelompok tersebut

tidak menyukai eksklusivisme kelompok santri.

Menurut konsep aliran, kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi

politik mereka ke partai-partai politik Islam, misalnya Masyumi dan Nahdlatul

Ulama (NU) dua partai terbesar pada masa 1950-an. Pada sisi lainnya, kelompok

abangan dan priyai lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengan

partai nasionalis seperti PNI atau PKI.23

Perspektif Trikotomi

23
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia,..., h. 39

24
Jika paradigma-paradigma terhadulu tampaknya dirumuskan berdasarkan

interaksi antara Islam dan realitas-realitas politik di negeri ini, maka perspektif

trikotomi terutama dirumuskan berdasarkan pertanyaan bagaimanakah para aktivis

politik Muslim memberi respon terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan

kepada mereka oleh kelompok elite penguasa.24

Sebagaimana para teoretikus yang terdahulu, para pendukung pendekatan

ini mengakui obsesi masyarakat politik Muslim dengan gagasan negara Islam.

Mereka juga menyadari antagonisme politik antara kelompok santri dan abangan.

Terlepas dari itu, mereka tidak otomatis mengasumsikan bahwa semua aktivis

politik Muslim memperlihatkan intensitas yang sama sehubungan dengan agenda

negara Islam mereka. Demikian juga mereka tidak menerima pandangan bahwa

varian politik santri dan abangan tidak punya ruang sama sekali untuk

berkompromi. Dengan memusatkan perhatian kepada keragaman dan

kompleksitas politik Islam, mereka menemukan tiga pendekatan politik,

Fundamentalis, Reformis dan Akomodasionis di dalam kelompok masyarakat

Muslim.

Posisi teoritis ini tampak menonjol dalam karya-karya Allan Samson dan

beberapa pengamat lainnya yang melihat bahwa kekalahan partai-partai Islam

disebabkan oleh perpecahan-perpecahan politis dan ideologis internal. Dengan

menganalisis dua partai modern terbesar dalam sejarah Indonesia, yakni Masyumi

dan Permusi yang secara luas diklaim sebagai penerusnya, dan NU yang

tradisionalis, terutama cara mereka bereaksi terhadap watak hegemonik negara

24
Bahtiar Efendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia,..., h. 41

25
dibawah kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, Samson menemukan bahwa

pandangan mereka mengenai politik, kekuasaan dan ideologi tidaklah tunggal.

Lebih dari itu, menurut Samson mereka juga tidak memiliki sudut pandang yang

sama mengenai tindakan dan strategi politik yang secara umum diterima untuk

menyelesaikan cita-cita politik umat Islam.

D. Populisme Islam

Hampir semua literatur nampaknya kesulitan untuk memberikan definisi

mengenai Populisme.Meski sulit, Paul Taggart menganalogikan populisme seperti

(hewan) bunglon yang bisa berubah-ubah warna kulitnya menyesuaikan diri

dengan kondisi lingkungannya.25

Sementara dalam kamus sosiologi, populisme diartikan sebagai suatu bentuk

khas retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak

pada rakyat, memandang kelompok elite yang dominan sebagai korup, dan bahwa

sasaran-sasaran politik akan dicapai paling baik melalui cara hubungan langsung

antara pemerintah dan rakyat, tanpa perantaraan lembaga-lembaga politik yang

ada.

Sementara Azyumardi Azra berpendapat Populisme adalah pendekatan dan/

atau gerakan politik yang mengklaim berbicara atas nama atau mewakili rakyat

biasa dalam penghadapan dengan elite politik dan / atau penguasa politik elite

mapan.26
25
Burhanuddin Muhtadi, Populisme Politik Identitas & Dinamika Elektoral, (Malang:
Intrans Publishing, 2019), h.2.
26
Definisi tersebut diberikannya dalam pengantar buku Populisme Politik Identitas &
Dinamika Elektoral karangan Burhanuddin Muhtadi. Dari segi tersebut, menurutnya, ideologi
populisme politik adalah pemihakan atau pembelaan pada massa rakyat yang selalu dikorbankan
elite politik dan atau rezim penguasa. Dengan ideologi ini, pemimpin populisme politik lazimnya

26
Menguatnya islam politik atau gerakan islam radikal yang marak terjadi

sekarang-sekarang ini telah mengundang banyak pemikir untuk menguak motif

yang melatar belakanginya. Setidaknya, ada beberapa teori mengenai islam

fundamentalisme ini. Pertama, karena gagalnya umat islam menghadapi arus

modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan islam. Ketidak berdayaan

menghadapi arus globalisasi ini, golongan fundamentalis ini mencari dalil-dalil

agama untuk menolak kemajuan zaman yang dinilainya telah menyudutkan islam.

Kedua, menguatnya gerakan tersebut karena didorong oleh rasa solidaritas sebagai

sesama muslim yang menyaksikan saudara seimannya di Palestina, Kashmir,

Afhganistan dan Iraq nyaris tidak henti-hentinya dilanda peperangan. Ketiga,

khusus di Indonesia, lebih disebabkan oleh kegagalan Negara mewujudkan cita-

cita kemerdekaan yang membawa rakyat menuju kemakmuran.27

Istilah “rakyat”, “publik, maupun “orang biasa” melekat penting dalam

setiap diskusi mengenai populisme. Ketiga kata tersebut sebenarnya digunakan

untuk menegasikan adanya praktik demokrasi yang selama ini berlangsung secara

formalistik, legalistik, maupun prosedural. Populisme sendiri dijalankan secara

informal, gerakan ekstra parlementer, dan juga irrasional sebagai bentuk

manifestasi antitesis terhadap kemapanan. Ada semangat demokrasi substansial

yang diusung oleh populisme ini sebagai aksi kuratif dan korektif terhadap

demokrasi yang sebagian besar didominasi kekuatan oligarki. Hal itulah yang

digerakkan figur kharismatik yang fasih dengan retorikanya menyerang elite politik tertentu dan
atau rezim penguasa.
27
Ahmad Syafi’I Ma’arif, dalam Prolog Ilusi Negara Islam, yangditerbitkan atas
KerjasamaGerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute dan Maarif Institute, (Jakarta: PT
Desantara Utama Media, 2009), Cetakan Pertama, h. 8.

27
menyebabkan populisme sendiri berkembang menjadi payung besar atas berbagai

macam ideologi besar yang melatarbelakangi gerakan masyarakat.

Namun, mengapa respons terhadap ketidakadilan sosial mesti mengambil

wujud politik populis yang beridiom Islam? Jawaban terhadap pertanyaan ini

cukup lugas: populisme selalu berarti ‘spesifik secara kultural dalam hal bahwa ia

niscaya menggunakan pijakan yang memiliki referensi dan simbolisme yang

bermakna’ dalam konteks tertentu. Dalam artian inilah observasi Wickham sangat

tepat bahwa agen-agen sosial politik islam berhasil berkat kemampuan mereka

mengadaptasi ‘khazanah budaya yang dihormati untuk tujuan-tujuan baru’. Lebih

jauh, seperti yang disarankan Halliday , Islam memiliki khazanah nilai, simbol

dan gagasan yang memungkinkan untuk diturunkan menjadi sistem politik dan

sosial kontemporer.28

Lepas dari berbagai analisa seperti dikemukakan diatas, masa-masa

keruntuhan Orde Baru merupakan momentum penting bagi kebangkitan Islam

Politik di Indonesia, yang menjadi prakondisi bagi munculnya berbagai kelompok

gerakan Islam baru, termasuk gerakan Islam radikal. Dalam atmosfer kebebasan

inilah bermunculan aktor gerakan Islam baru, yang berada di luar kerangka

mainstream Islam Indonesia yang dominan, semisal NU, Muhammadiyah, Persis,

al-Irsyad, al-Wasliyah, Jamiat Khair dan sebagainya. Organisasi seperti Gerakan

Tarbiyah (yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI),

Laskar Jihad dan sebagainya merupakan representasi generasi baru gerakan Islam

28
Vedi R Hafiz, Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah, (Depok: LP3ES 2019),
h.63.

28
di Indonesia itu.29. Seperti yang diketahui bahwa munculnya gerakan ini tidak

serta merta berdiri sendiri, tatapi merupakan gerakan transnasional yang

berafiliasi dengan Negara-negara lain yang ada di Timur Tengah sana.

Memang tindakan-tindakan demikian cukup mengkhawatirkan, namun

gerakan tersebut harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda hingga di era

globalisasi yang sedemikian pesat muncul gerakan-gerakan sporadis yang

mengganggu keamanan dan kedamaian sebuah Negara.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal itu, pada tahun 2003, di

Jakarta untuk pertama kalinya diselenggarakan apa yang dinamakan sebagai The

Jakarta Internasional Islamic Conference dengan tema “Strategi Dakwah

Menuju Ummatan Wasathon dalam Menghadapi Radikalisme”. Konferensi

tersebut diprakarsai oleh Majelis Tabligh dan Dakwah Muhammadiyah

bekerjasama dengan Lembaga Dakwah NU, pada tanggal 13-15 se-ASEAN. Hasil

dari konferensi tersebut kemudian terbentuklah Center For Moderate Moslem

(CMM) yang dikomandoi oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk

mengusulkan resolusi “Islam Sebagai Jalan Tengah”.30

Uapaya tersebut memang harus didukung oleh elemen-elemen lain

ditengah Indonesia mayoritas penduduknya sebagai pemeluk agama islam.

Memang, Paham radikal sangat sulit ditekan. Para penggiatnya bebas melakukan

doktrin di masjid yang sepi dan tempat yang terpencil. Paham ini mempunyai

beberapa tingkatan. Ada yang sifatnya soft, hard hingga experties. Paham radikal

29
Eka Prasetiawati, “Menanamkan Islam Moderat Upaya Menanggulangi Radikalisme di
Indonesia”, dalam FIKRI, Vol.2, No.2, (Desember 2017),.h. 525
30
Eka Prasetiawati, “Menanamkan Islam Moderat Upaya Menanggulangi Radikalisme di
Indonesia”,….h. 526

29
ringan (soft) cenderung masih bisa dilakukan dialog untuk proses deradikalisasi.

Namun paham yang sudah mencapai berat (hard) dan ahli (experties), mereka

cenderung menolak dialog untuk deradikalisasi. Alasannya mereka sangat

meyakini kebenaran paham yang mereka anut. Maka dari itu, tidak jarang

kelompok ini akan mudah mengkafirkan golongan yang tidak sepaham (takfiri).

Dan dasar pemikiran inilah yang dijadikan motivasi untuk melakukan gerakan

jihad yang berorientasi pada kekerasan.

Gerakan radikal yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting

umat Islam dewasa ini. Isu ini menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan

menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun

anggapan itu salah, namun faktanya pelaku teror bom di Indonesia adalah seorang

muslim garis keras. Hal ini sangat membebani psikologi umat Islam secara

keseluruhan. Keterlibatan dari berbagai pihak dalam menangani masalah

radikalisme dan terorisme sangat diharapkan, dengan tujuan mempersempit ruang

gerak radikalisme dan terorisme, bila perlu menghilangkannya. Dalam konteks

ini, peran lembaga pendidikan sangat penting dalam menghentikan laju

radikalisme.

Pendidikan dan lembaga pendidikan sangat berperan menjadi penyebar

benih radikalisme dan sekaligus penangkal Islam radikal. Studi-studi tentang

radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya lembaga pendidikan Islam tertentu

(non-formal) telah mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada para

peserta didik. Belakangan ini, sekolah-sekolah formal juga mulai mengajarkan

elemen-elemen Islam radikal, misalnya mengajarkan kepada murid untuk tidak

30
menghormat bendera Merah Putih saat upacara yang berlangsung setiap hari

senin.31

Namun perlu juga kiranya kemunculan gerakan yang akhir-akhir ini marak

dilihat dari perspektif lain, yaitu perspektif kesejahteraan. Upaya-upaya yang telah

diambil dalam memajukan sektor ekonomi untuk membawa masyarakat dari

belenggu kemiskinan tidak pernah tuntas untuk diselesaikan oleh bangsa ini.

Meski pernah ada resolusi progresif yang dirumuskan oleh Soekarno pada era

Indonesia masih menjadi bangsa yang muda. Berbagai konsepsi dan programatik

dirumuskan pasca keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan

ditandai berakhirnya Demokrasi Liberal dan beralih ke Demokrasi Terpimpin

dengan merumuskan tiga program kerja antara lain: Melengkapi sandang pangan

rakyat dalam waktu yang singkat, menyelenggaraan keamanan rakyat dan Negara

serta melanjutkan perjuangan melawan imperialisme ekonomi dan politik. 32

Namun hal itu tidak mampu dijalankan dengan tuntas lantaran adanya peristiwa

G30S.

Sebetulnya kebangkitan populisme islam bukanlah hal yang baru di

Indonesia. Seperti yang diuraikan dalam bab sebelumnya, lahirnya gerakan ini

motif dasarnya karena hegemoni kapitalisme terhadap Negara-negara lain

termasuk Indonesia yang membawa dampak kesenjangan sosial yang begitu

nyata.

31
“Sekolah Larang Siswa Hormat Bendera”,https://m.mediaindonesia.com, diakses pada
20 januari 2020, pukul 16.50 WIB.
32
”Kabinet Pertama Setelah Dekrit Presiden Soekarno” https://elshinta.com, diakses pada
20 Januari 2020, pukul 23.37 WIB

31
Perlu diingat, pada masa kolonialisme-imperialisme melakukan eksploitasi

dan ekspansi kapitalnya di Nusantara, kelompok islam sudah melakukan gerakan

anti kolonial pada dekade pertama abad ke-20 seperti Pan-Islamisme dan lahirnya

kelompok-kelompok organisasi Islam yang terorganisir. Perlu diketahui, Islam

yang terorganisir di Indonesia telah lama bersifat politis.33 Bisa dilacak

kebelakang, bangkitnya islam yang terorganisir merupakan respon kelas borjuasi

lokal, khususnya berkaitan dengan pertumbuhan wilayah-wilayah urban di Jawa,

yakni mereka yang menyadari posisi sosial dan ekonominya berada dalam

ancaman di era kolonial Hindia Belanda, termasuk dari pesaing-pesaing Cina yang

mereka yakini mendapat keistimewaan dari penguasa. Itu sebabnya, secara

historis warisan gagasan-gagasan keadilan sosial, sering begitu kuat hubungannya

dengan sentimen nasionalis dan anti-kapitalisme – apapun perubahannya – tetap

menandai politik Islam di Indonesia secara umum.

Namun ada yang menarik untuk diulas bangkitnya populisme Islam era

kolonial dengan populisme yang sekarang meski latar belakang lahirnya sama-

sama atas kesadaran sosial ekonomi yang tidak merata. Era kolonial, bangkitnya

populisme Islam yang direpresentasikan dengan Sarekat Islam (SI) menjadi

peristiwa lumrah untuk bersekutu dengan kelompok-kelompok sayap kiri

(direpresentasikan oleh Partai Komunis Indonesia) yang juga menjadi kekuatan

dominan dalam masa-masa pembebasan nasional, meski sama-sama diketahui,

pada dasarnya kelompok yang kemudian menjadi PKI tersebut lahir dari tubuh SI

sendiri. Pada masa-masa pembebasan nasional tersebut, bersekutunya dua

33
Vedi R Hafiz, Radikalisme Islam di Indonesia Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis,
(Jakarta: Indoprogress, 2016), h.12.

32
kelompok yang amat bertentangan secara ideologis bukanlah suatu keanehan

sosiologis sebagaimana kenyataannya sekarang di Indonesia dan di negara negara

Asia Tenggara lainnya.

Namun masa-masa tatkala Orde Lama akan hancur, dan kekuatan-

kekuatan kiri progressif yang direpresentasikan oleh PKI dan PNI dihancurkan,

sentimen anti komunis menjadi sesuatu yang gencar dikampanyekan oleh

pemerintah. Sejak saat itu, kelompok Islam menjadi kekuatan tunggal yang massif

melakukan oposisi terhadap pemerintah. Keadaan demikian disikapi oleh

pemerintah lewat kebijkan yang amat keras. Bagaimanapun Islam yang kala itu

menjadi kekuatan tunggal yang memiliki basis akar rumput yang kuat jelas

menentang logika dasar Orde Baru yang sedang memulai pembangunan kapitalis

diatas basis stabilitas sosial yang muncul melalui politik demobilisasi masyarakat

secara luas. Bahwa Islam menjadi sasaran utama Orde Baru bisa dilihat dari

kebijakan yang diambil pemerintah yaitu melalui penolakannya terhadap wadah

pemilu kaum muslim, Permusi pada akhir 1960-an.34

E. Moderasi Islam

Hingga sekarang dimana era keterbukaan berlangsung dan Negara membuka

ruang dengan luas untuk setiap ekspresi masyarakat atau kelompok yang ada di

dalamnya, gerakan Islam ekstrimis ini semakin pula terbuka menunjukkan

eksistensinya. Dalam konteks politik, demokrasi memang menjamin setiap orang

untuk menyalurkan aspirasinya secara bebas, tanpa tekanan, termasuk

34
Vedi R Hafiz, Radikalisme Islam di Indonesia Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis,…
h. 16.

33
mengusulkan “negara Islam” atau “formalisasi syariat Islam dalam negara”,

asalkan dilakukan melalui jalur konstitusional dan prosedur demokratis. Dalam

demokrasi, bahkan kaum anti-demokrasi sekalipun harus tetap mendapat jaminan

keamanan dan perlindungan atas aspirasi politiknya.35

Dalam sejarah Islam sendiri, sikap ekstrem bukanlah merupakan hal yang

baru. Sejak periode yang paling dini, sejumlah kelompok keagamaan telah

menunjukkan sikap ekstrem ini. Yang paling menonjol adalah kelompok

Khawarij, saat mereka mengkafirkan sebagian umat Islam yang bersebrangan

pemahaman dengan mereka.36 Seperti telah panjang lebar diuraikan dalam

pembahasan-pembahasan diawal, beberapa konflik bernuansa keagamaan dan

ketegangan dalam masyarakat juga muncul di Indonesia yang dipicu oleh

perbedaan pemahaman atau pandangan keagamaan antar kelompok dalam Islam,

seperti dihancurkannya basis Ahmadiyyah dan lain-lain. Konflik itu memang

tidak berdiri di atas perbedaan pandangan keagamaan semata, tetapi akumulasi

dari beberapa persoalan dan kepentingan, baik politik, ekonomi, sosial, dan

lainnya. Namun, terlepas dari ada tidaknya faktor kepentingan, baik yang bersifat

internal maupun eksternal, perbedaan pemahaman atau pandangan keagamaan

menjadi salah satu penyebab adanya konflik antar kelompok, bisa menjadi

penyebab utama atau penyebab perantara. Sebuah perbedaan jika dapat dikelola

dengan baik, maka tidak semua akan berujung pada konflik dan kekerasan.

35
Yenny Zannuba Wahid, dkk., (ed) Agama dan Konstestasi Ruang Publik: Islamisme,
Konflik dan Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institut, 2011), h. 2
36
Iffati Zamimah, “MODERATISME ISLAM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
(Studi Penafsiran Islam Moderat M. Quraish Shihab)”, Jurnal Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ)
Jakarta Vol 1, No.1,( Juli 2018), h. 76.

34
Dalam melihat problematika diatas, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai

kelompok Islam terbesar dan tertua setelah Muhammadiyah yang ada di Indonesia

menawarkan gagasan Wasathiyyah/Moderat sebagai sikap untuk memilih jalan

tengah. Konsepsi ini pertama-tama lahir karena terinspirasi dari kandungan surat

Al-Baqarah ayat 143:

‫ُأ‬
‫َوَكَذِلَك َجَعْلَناُكْم َّمًة َوَس ًطا ِلَتُكوُنوا ُش َهَداَء َعَلى الَّناِس َوَيُكوَن الَّر ُس وُل َعَلْيُكْم‬

‫َش ِهيًدا‬

Artinya:Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat

yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan

agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (QS al-Baqarah

[2]: 143).

Al-Ashafaniy mencoba memberikan interpretasi “Wasathan” dengan

“sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua batas, atau dengan keadilan, yang

tengah-tengah, atau yang standar, atau yang biasa-biasa saja. Wasathan juga

bermakna menjaga dari bersikap ifrath dan tafrith.

Sementara Ibnu Asyur mendefinisikan kata “wasath” denan dua makna.

Pertama, definisi menurut etimologi, kata Wasath berarti sesuatu yang ada

ditengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.

Kedua, definisi menurut terminologi bahasa, Wasath berarti nilai-nilai Islam yang

dibangun atas dasar pola piker yang lurus dan pertengahan dan tidak berlebihan

dalam hal tertentu. Adapun makna “Ummatan Wasathan” pada surat Al-Baqarah

diatas adalah umat yang adil dan terpilih. Maksudnya, umat Islam ini adalah umat

35
yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya.

Allah SWT. telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan

kebaikan yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi

”ummatan wasathan”, umat yang sempurna dan adil yang menjadi saksi bagi

seluruh manusia di hari kiamat nanti.37

Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa konsep Moderat ini ingin

membumikan Islam sebagai agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam.

Setidaknya Representasi teologis dari sikap moderasi ini minimal tercermin dari

lima sikap, yaitu:pertama; sikap moderat dalam masalah sifat-sifat Allah antara

meniadakan sifat-sifat Allah (ta’thil) dan menyerupakan sifat-sifat Allah, kedua;

disamping itu juga moderat dalam masalah pengkafiran tidak mudah

mengkafirkan atau memurtadkan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum

khawarij, juga tidak menafikan sama sekali pengkafiran seperti kaum Murji’ah,

Ketiga; Sikap moderat dalam masalah takdir dengan menghindari sikap

kemandirian penuh perbuatan manusia yang jauh dari campur tangan Tuhan

seperti kaum Qadariyah atau manusia sama sekali tidak memiliki kehendak

sebagaimana golongan Jabariah, keempat; Moderat dalam sikap terhadap

pemerintah yaitu sikap antara memberontak (bughot) dan acuh tak acuh dalam

menasehati pemerintah dalam undang-undang dan kebijakan public (control of

government rule and public policy), Kelima; Moderat dalam menyikapi karomatul

awliya’ (karomah atau derajat kemuliaan para wali) dengan barokahnya dengan

37
Afrizal Nur dan Mukhlis, “Konsep Wasathiyyah Dalam Al-Qur’an”, Jurnal An-Nur
Vol. 4 No. 2, 2015, h. 208

36
membenarkannya namun tidak juga berlebihan sampai memuja kuburan

kuburannya.38

Sementara implementasi nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin

adalah menciptakan hubungan yang harmonis antar sesama umat beragama

dengan saling menghargai dan menghormati ritualitas setiap agama masing-

masing dan sikap toleransi sebagaimana tercermin dalam Q.S. al-Kafirun ayat 1-6,

dimana sebagai umat Islam perlu ditahui bahwa di sekelilingnya ada keyakinan

dan kepercayaan atau iman orang lain yang dihormati dengan pemahaman dan

penghormatan yang wajar sebagaimana mereka lakukan pada yang lain.

38
Alamul Huda, “Epistemologi Gerakan Liberalis, Fundamentalis, dan Moderat Iislam di
Era Modern”, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 2 No. 2, (Desember 2010), h. 189.

37

Anda mungkin juga menyukai