0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
5 tayangan20 halaman

Birokrasi

Diunggah oleh

hanifahh525
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
5 tayangan20 halaman

Birokrasi

Diunggah oleh

hanifahh525
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 20

RESUME

REFORMASI BIROKRASI DAN PELAYANAN PUBLIK


Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Birokrasi


Dosen Pengampu : WENI PUJI HASTUTI,S.Sos.,M.KP

DI SUSUN OLEH :

NUR CHANIFAH
12070521757

LOKAL 3/E

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021

1
BAB 1

KELAHIRAN KONSEP BIROKRASI

A. ASAL USUL ISTILAH


Baron de Grimm, filsuf Perancis dalam surat tertanggal 1 Juli 1764,
sebagaimana diuraikan oleh Albrow , mengutip; «Kita tergoda oleh gagasan
pengaturan, dan Master of Requests kita menolak untuk memahami bahwa ada sosok
ketidakterbatasan di suatu Negara besar yang dengannya pemerintah itu sendiri tidak
mampu memperhatikan. Almarhum M.de Gournay…pada suatu ketika mengatakan:
‟Di Perancis kita mendapati sebuah penyakit yang jelas-jelas merusak kita; penyakit
ini disebut bureaumania.‟ terkadang ia menggunakan temuannya untuk menyebutkan
bentuk pemerintahan yang keempat atau kelima di bawah judul birokrasi. Satu tahun
setelah itu pengarang yang sama menulis: »Semangat hukum Perancis yang
sesunguhnya adalah birokrasi yang oleh Almarhum M. de Gournay …biasanya sangat
dikeluhkan; inilah para pejabat, para juru tulis, para sekretaris, para inskpektur dan
para intendan yang diangkat bukannya untuk menguntungkan kepentingan umum,
bahkan kepentingan umum itu tampak begitu rupa tidak dapat dipungkiri karena
adanya para pejabat.
Beberapa diantaranya memiliki asal-usul yang terlaluh jauh untuk dilacak.
Menurut Albrow, keluhan-keluhan tentang pemerintahan yang jelek pasti sudah ada
seusia pemerintahan itu sendiri. Pemikiran bahwa penguasa tertinggi harus dilayani
oleh pejabat yang cerdas dan dapat dipercaya telah terbiasa dalam pemikiran politik
jauh sebelum abad ke-18. Gagasan tentang efisiensi adminitrasi tidak juga merupakan
sesuatu yang khas bagi pemikiran modern atau benar-benar pemikiran Barat. Dari
tahun 165 S.M. para pejabat Cina telah dipilih melalui ujian. Gagasan-gagasan
pemerintahan semacam itu tidak harus menunggu hingga dilontarkannya pengamatan
tajam de Gournay karena gagasan-gagasan tersebut telah muncul sebelumnya. Tetapi
ada dua alasan mengapa rumusan de Gournay harus dipandang penting. Dia secara
eksplisit mengungkit klasifikasi pemerintahan Yunani klasik. Dengan mengerjakan
itu, ia menemukan tipe pemeritahan yang lain untuk memperbanyak bentuk-bentuk
pemerintahan yang telah diakui seperti monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Karena
itu, ia tidak memandang pemerintah Perancis abad ke-18 sebagai beberapa bentuk
cacat dari monarki, seperti tirani. Ia mengidentifikasi adanya kelompok penguasa dan

2
suatu metode memerintah yang baru. Keluhan terhadap mereka bukanlah karena
bertindak tidak berdasar hukum sepenuhnya, di luar wewenang mereka sebagaimana
mestinya, tetapi bahwa memerintah nampaknya telah menjadi tujuan itu sendiri.
Tambahan untuk tipologi klasik ini, walaupun diidentifikasi sepintas lalu, harus
dipandang sebagai inovasi konseptual yang penting (Albrow, 1989). Alasan kedua
bagi arti pentingnya penemuan de Gournay menurut Albrow (1989) adalah berkaitan
dengan alasan yang pertama, tetapi hampir tidak diperhatikan. Hal itu berkaitan
dengan suatu istilah yang telah diakui umum pada waktu itu. Istilah baru Albrow,
(1989) dengan sangat mudah mengalami transliterasi sama sebagaimana “demokrasi”
atau ”aristokrasi”. Dengan cepat kata tersebut menjadi bagian dari perbendaharaan
istilah politik internasional. Bureaucratie dalam bahasa Perancis menjadi Bureaukratie
dalam bahasa Jerman (yang diubah menjadi Burokratie), burucrazia dalam bahasa
Italia dan “bureaucracy”, dalam bahasa Inggris. Selanjutnya analog dengan kata
turunan ”democracy”, maka”bereaucracy” diturunkan menjadi “bureaucrat”,
”bureaucratic”, ”bureaucratism”, ”bureaucrastist” dan ”bureaucratization”
(birokratiasi”).

B. Konsep-konsep pada Abad ke-19 Awal


Sejak 1789, Negara, atau yang anda suka menyebutnya La Patrie, telah
menempati kekuasaan tertinggi. Para juru tulis tidak lagi mengambil perintah mereka
secara langsung dari seorang hakim pertama yang sesungguhnya dan karena itu
Birokrasi, kekuasan raksasa yang dipegang oleh para pigmie muncul di dunia. Citra
birokrasi Balzac begitu berhasil dipaparkan, sehingga Le Play mencoba
mempertimbangkan konsep itu secara serius pertama kali dalam bahasa Perancis pada
tahun 1864 merasa wajib membela diri dengan menyatakan, “kata cangkokan ini
diciptakan oleh sebuah literatur yang jelas. ”Kamus Littre edisi 1873 menganggap
istilah birokrasi merupakan kata baru (Neologisme) yang memiliki sedikit kebenaran.
Kutipan yang digunakan oleh Karl Heinzen, radikalis yang melarikan diri dari
negara Prussia. Ia memasukannya ke dalam polikmiknya menentang birokrasi Prussia
pada 1845, tetapi kata ”buralist” digantinya dengan “birokrat” (dan juga dengan
menambahkan penjelasannya sendiri). Johan Gorres seorang wartawan dan pendiri
surat kabar “Rheinische Merkur” ini merupakan seorang yang terkenal sebagai
penentang monarki. Unsur-unsur monarki dan demokratis digabungkan untuk
mewujudkan kerjasama sehingga saling pengertian antara yang memerintah dan yang

3
diperintah. Menurutnya, jika kondisi tersebut tidak terpenuhi maka birokrasilah yang
akan menjadi hasilnya. Birokrasi berhasil “memperluas prinsip subordinasi, yang
menjadi dasar perkembangan birokrasi itu sendiri, dari organismenya sendiri menjadi
manusia yang tunduk, untuk secara bertahap berhimpun ke dalam suatu massa, yang
di dalamnya rakyat hanya dihitung sebagai angka, memperoleh nilai bukan berasal
dari hakikat diri mereka sendiri, tetapi dari kedudukan mereka”.

C. TEORI INGGRIS
Sebagian besar melalui terjemahan-terjemahan dari literatur Jerman kita dapat
menentukan waktu istilah “birokrasi” diterima dalam bahasa Inggris. Karya awal
Gorres, Germany and the revolution (1819) telah selesai diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dalam dua versi yang terpisah pada 1820. Dalam kedua kasus tersebut,
terjemahan langsung dari bureaukratisch menjadi ”bureaucratic” dihindari. Dilain
pihak, terjemahan surat-surat perjanjian seorang ratu Jerman,1832, dilaporkan
berpendapat demikian: “Birokrasi telah menggantikan Aristokrasi dan barangkali akan
menjadi warisan yang sama. ”Dictionary Johnson edisi 1827 tidak memasukkan kata
tersebut. Di pihak lain The Popular Encyclopaedia, 1837 (dengan sendirinya
berdasarkan Conversations Lexicon Jerman raya) berisikan suatu butir tentang “sistem
biro atau birokrasi”.
Teori birokrasi Inggris abad ke-19 paling jelas tersimpul dalam buku
sejarawan Ramsay Muir, 1910 yang berjudul “Bureaucracy in England“. Baginya
birokrasi adalah ”penyelenggaraaan kekuasaan oleh administrator yang profesional.”
sehingga Pengaruh yang paling kuat, kokoh dan dahsyat dalam pemerintahan Inggris
adalah berkenaan dengan pejabat-pejabat permanen besar tersebut. Tetapi ia
mengeritik dengan keras gagasan yang mengatakan, pada dasarnya birokrasi itu bukan
dari Inggris dan pertumbuhannya baru terjadi beberapa tahun terakhir. Lebih dari
tujuh puluh tahun, birokrasi telah tumbuh dengan kokoh. “Terdapat persekongkolan
diam-diam, yang sangat mengherankan, untuk mempertahankan ilusi tersebut, bahwa
sistem Inggris tidak birokratis.
D. Teori Kontinental

Pertentangan antara tulisan bahasa Inggris dan Jerman sangat besar mengenai
birokrasi. Para penulis Inggris yang merasa enak mengambil jarak tipe pemerintahan
kontinental, dengan sendirinya mereka tidak mempunyai perhatian pada tetek bengek

4
teknis penyelenggaraannya. Dilihat dari perspektif perbandingan semua negara Eropa
bertipe sama: diperintah oleh pejabat. Di dalam setiap klasifikasi tentang
pemerintahan birokrasi telah muncul sebagai sesuatu yang utama dan secara kebetulan
asing serta aneka rupa. Gagasan tentang birokrasi telah didominasi konsep collegium,
suatu badan jabatan yang memiliki tugas menasihati penguasa dan bertanggung jawab
atas fungsi tertentu yang diberikan pemerintahan, seperti keuangan, dan tatanan atau
undang-undang. Pertanggungjawaban ini bersifat kolektif, dan di dalam collegium ini
terhadap lingkup yang besar untuk terjadinya benturan antara gagasan dan
kepentingan.

E. Tema-tema pokok abad ke-19

Adalah mungkin membedakan tiga konsep pokok tulisan tentang birokrasi


pada abad ke-19. Penulis seperti de Gournay atau Mill memperhatikan birokrasi
sebagai bentuk utama pemerintahan yanng dibedakan dan dipertentangkan dengan
monarki, demokrasi atau aristoraksi. Para teoretisi dan para ahli yang
mempolemikkan administrasi Jerman dengan Heinzen, memusatkan dengan bentuk
khusus pengaturan administrasi Jerman abad ke-19. Von Mohl, Olzewski atau Le Play
berpedoman pada kekecewaan rakyat terhadap pemerintah dan melihat esensi
birokrasi sebagai hasrat dari pegawai negeri yang digaji hanya untuk mencampuri
urusan orang lain. Mosca, Michels dan Max Weber nampaknya mengubah teori
birokrasi serta menyembunyikan asal usulnya. Suatu jawaban ringkas dan tentatif
terhadap teka-teki tersebut dapat diajukan jika kita mengangap betapa tulisan tentang
birokrasi berbeda dengan karya para ideolog politik utama abad ke-19.

5
BAB II

RUMUSAN KLASIK

A. Mosca dan Michels


Mosca memandang penting untuk menganalisis karya-karya Comte dan
Spencer, karena lingkup perbandingan dan kemungkinan penggunaan bukti-bukti
sejarah yang luas yang terdapat dalam karya kedua penulis tadi. Lebih dari itu, ia
sangat paham dengan tradisi tulisan abad ke-19 tentang birokrasi. Bahan-bahan karya
Mosca tidak baru. Tetapi penggabungan bahan-bahan itu adalah baru, dan
memberikan pembenaran terhadap pembahasannya di luar konteks abad ke-19. Pada
akhirnya konsep birokrasi dan ketidakpuasan terhadap pola tradisional tipe
pemerintahan disatukan menjadi satu analisis perbandingan politik yang utama.
Menurut terminologi logika tradisional, Mosca mencari suatu fundamentum
divisionis yang baru, dan suatu azas klasifikasi, yang menjungkirbalikkan pendapat
para ahli dan menjelaskan realitas proses-proses politik. Ia melihat inti realitas
tersebut dalam kenyataan kekuasaanAda dua hal di dalam analisis Mosca yang
dipandang mengocangkan opini abad ke-19. Penekanannya pada keharusan
pemerintahan minoritas, secara jelas membuat setiap teori tentang birokrasi tidak
relevan. Kedua, pejabat-pejabat pemerintah memiliki otoritas tertinggi terhadap
kekuasaan, yang dilihat bukan yang berkuasa di negara era modern melainkan sebagai
suatu cirinya yang pasti. Mosca hanya mengisyaratkan alasan-alasan untuk
mendudukkan birokrasi dalam kelas yang berkuasa di negara modern. Buku Political
Parties (1911) Michels, membicarakan tema tersebut. Bahwa Ia memiliki pandangan
yang sama dengan Mosca yang mengungkaapkan bahwa birokrasi merupakan suatu
kebutuhan suatu negara modern. Dengan cara ini maka kelas yang dominan menjaga
posisi atau kedudukan mereka, sedangkan kelas atau pada level menengah adalah
kelas yang belum atau tidak terjamin pada saat mencari jaminan atau asuransi
pekerjaan.
B. Max Weber: Teori Oganisasi
Konteks konsep yang lebih relevan bagi eksposisi seperti itu, ditemukan dalam
analisis Weber tentang organisasi. Pada bab pertama Wirtsschaft und Gesellschaft
(W.u.G.), yang didalamnya ia menguji konsep-konsep dasar sosiologi Weber sangat
menaruh perhatian pada gagasan tentang verband. ini jelas merupakan suatu konsep
yang memiliki signifikansi yang sangat luas karena terdiri dari pandangan-pandangan

6
yang berbeda seperti negara, partai politik, gereja, sekte dan firma.
”Organisasi”barangkali merupakan yang paling jelas terjemahannya, tetapi di dalam
kasus apa pun, verband memiliki konotasi khusus bagi Weber. Ia diartikan sebagai
suatu tatanan yang memiliki hubungan sosial, dengan mempunyai tugas masing-
masing. Kehadiran seorang pemimpin dan biasanya juga seorang staf administrasi
merupakan suatu ciri tetap suatu organisasi. Di dalam organisasi ala Weber, dengan
mengungkapkan bahwa staf administrasi memiliki fungsi untuk menerima atau
memberi tatanan-tatanan. Struktur organisasi yang dikembangkan Weber adalah
pemberdayaannya antara kekuasaan (Macht) dengan otoritas.
C. Max Weber: Konsep Birokrasi
Konsep suatu birokrasi merupakan teori yang tidak pernah didefinisikan oleh
Weber. Akan tetapi, konsep umum birokrasinya sebagai lawan tipe khusus tersebut,
harus dibentuk melalui kesimpulan dari beberapa bagian-bagian kiasan yang
dibuatnya untuk konsep tersebut. Salah satu petunjuk bagi konsep umum Weber
tampak dalam identifikasinya terhadap jenis birokrasi yang lain yang terpisah dari tipe
paling rasional. Inilah birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial berbeda dengan
tipe rasional terutama karena para pejabat yang bekerja tidak bebas dibanding orang-
orang yang diangkat secara kontraktual. Konsep birokrasi yang diungkapkan Weber
dapat dirangkum dari berbagai defenisi. Birokrasi merupakan suatu bagian
administrasi mengenai pejabat yang diangkat. Pendapat tersebut, relevan dengan
konsep yang diungkapkan oleh Michels dan Mosca. Selain itu, Weber memandang
birokrasi merupakan hubungan kolektif dengan golongan pejabat, kelompok tertentu
yang berbeda, Akan tetapi Weber menekankan mengenai ciri organisasional tertentu,
mengungkapkan bahwa prosedur pengangkatannya merupakan konsep umum
birokrasi bukan hanya merupakan gagasan mengenai kelompok, akan tetapi tindakan
yang berbeda. Konsep ini menurut Weber penting mengenai tipe birokrasi rasional.
Weber memiliki suatu konsep birokrasi yang umum, namun tidak kurang
benarnya bahwa arti pentingnya dikalahkan, baik baginya maupun bagi komentator
berikutnya, oleh variant yang juga disebut rasional. Hal yang paling rasional mengenai
Staf administratif birokratis merupakan birokrasi yang mempersyaratkan proposisi-
proposisi berlandasakan legitimasi dan otoritas, Kesepuluh penciri dari tipe birokrasi
ideal yang diperkenalkan oleh Marx Weber adalah merupakan suatu jenis staf
administratif yang seringkali digunakan dalam suatu birokrasi.

7
D. Marx Weber : Batas- batas tentang birokrasi
Weber yakin bahwa teori yang diungkapkan oleh Albrow (1989) mengenai
birokrasi rasional sangatlah penting. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan Weber yang
memiliki seperangkat ciri disiplin, ketepatan, kekerasan (keras), kesinambungan,
keajenan (reliabilitas) yang merupakan bagian dalam suatu bentuk organisasi yang
dilihat bagi para pemegang otoritas dan semua kelompok yang memiliki kepentingan
lainnya. Weber mengungkapkan pandangan tentang birokrasi merupakan suatu proses
harus dijalani dan tidak terhindari. Berkenaan dengan birokrasi yang oleh Weber
diartikan pertumbuhan sepuluh ciri tadi, ia mencatatnya sebagai aspek-aspek birokrasi
rasional. Tetapi sebagai bagian dari proses rasionalisasi pada umumnya, birokratik
rasional juga cenderung memisahkan manusia dari alat produk. Weber
mempertimbangkan sejumlah besar mekanisme untuk membatasi lingkup berbagai
sistem otoritas pada umumnya dan khususnya birokrasi. Mekanisme tersebut
dikelompokkan menjadi lima kategori pokok, yaitu:
1. Kolegialitas
2. Pemisahan kekuasaan
3. Administrasi amatir
4. Demokrasi langsung
5. Representasi (perwakilan)

8
BAB III

AGENDA REFORMASI BIROKRASI:


Membentuk Jati Diri Birokrasi Publik

A. Agenda Kebijakan yang Tertunda


Reformasi birokrasi merupakan upaya dalam melakukan perubahan dan
pembaharuan mendasar suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yakni aspek-
aspek ketatalaksanaan (Business process). Oleh Sedarmayanti (2008) mengemukakan
permasalahan dan kebijakan reformasi aparatur Negara dewasa ini meliputi: (1)
manajemen perencanaan dalam pemerintahan Negara belum diselenggarakan secara
terpadu dan terintegrasi, (2) peranan lembaga pusat sistem administrasi Negara, (3)
kinerja kepegawaian Negara, (4) klasifikasi jabatan, (5) Gender mainstreaming, (6)
Asosiasi professional PNS, (7) Model Desentralisasi terbatas, (8) mobilitas PNS
daerah terbatas, (9) sistem informasi kepegawaian kurang akuat, (10) Program diklat,
(11) sistem penggajian, dan (12) Praktek Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam
penerimaan PNS, penempatan dan promosi pejabat sudah menyebar hampir di semua
jabatan dan sektor.
Menurut Dwiyanto (2011), sebenarnya pemerintah Indonesia belum memiliki
kebijakan reformasi birokrasi yang visioner, holistis, koheren, dan serius untuk
membenahi birokrasinya. Ia menyebut bahwa pemerintah Indonesia gagal
merumuskan kebijakan reformasi birokrasi, padahal telah lebih dari 60 tahun merdeka
dan selama lima dekade memiliki lembaga yang mengurus reformasi administrasi
publik. Banyak di antara nilai, tradisi, peraturan, struktur, dan desain birokrasi publik
sekarang ini sebenarnya merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda, yang tentu
tidak lagi cocok untuk menjawab tantangan birokrasi publik sekarang ini.
Reformasi birokrasi publik di Indonesia merupakan warisan dari birokrasi
kolonial yang telah dirancang berbeda dengan arah dan tujuan negara Indonesia. Akan
tetapi, tidak pernah serius dalam melakukannya maka sampai sekarang pemerintah
Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dalam membenahi birokrasinya (Dwiyanto,
2011) Akibatnya, birokrasi publik di Indonesia selama ini cenderung menjadi
instrumen kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan politis yang sempit, sektoral, dan
berjangka pendek. Birokrasi pemerintah cenderung gagal menjadikan dirinya sebagai
lembaga publik yang mampu melindungi kepentingan publik, mendorong adanya

9
perubahan sosial dan ekonomi dalam masyarakat, serta sebagai kekuatan pemersatu
bangsa. Akan tetapi, selama ini birokrasi pemerintah selalu memposisikan dirinya
sebagai contoh kekuasaan maka tidak mengherankan apabila dari waktu ke waktu
birokrasi mengalami krisis kepercayaan publik (Dwiyanto, 2007).
B. Reformasi Birokrasi di Persimpangan Jalan
Menurut Dwiyanto (2010) reformasi birokrasi di Indonesia masih
dipersimpangan jalan. Lebih jauh, Dwiyanto (2010) melihat bahwa apa yang
dilakukan oleh pemerintah selama satu dekade terakhir ini tampak bahwa pemerintah
belum memiliki visi yang jelas mengenai reformasi birokrasi. Gambaran tentang
sosok birokrasi masa depan yang ingin dikembangkan, yaitu sebagai kekuatan dalam
mencapai cita-cita bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera, tidak
pernah jelas dan dipahami oleh khalayak ramai. Banyak tindakan pemerintah dalam
membenahi birokrasinya sering kali tidak relevan dan tidak jelas arahnya.
Reformasi birokrasi publik belum menjadi agenda yang penting dalam proses
kebijakan di Indonesia, Reformasi birokrasi yang digaungkan oleh pemerintah selama
ini sebenarnya tidak lebih dari jargon yang digunakan oleh para pemegang kekuasaan
untuk memperkuat basis legitimasi atas tindakannya yang lebih banyak didorong oleh
kepentingan kelompok, birokrasi, dan politik sesaat.
Nilai-nilai yang akan dilembagakan dalam birokrasi pemerintah di Indonesia
penting untuk dilakukan karena selama ini upaya memperbaiki kinerja birokrasi
publik sering kali tidak dituntut oleh nilai-nilai yang menggambarkan cita-cita kita
sebagai bangsa, yaitu mewujudkan Indonesia yang adil, sejahtera, dan demokratis,
serta bagaimana peran birokrasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Nilai –nilai yang
dialokasikan dalam visi reformasi birokrasi haruslah nilai-nilai yang mampu menjadi
birokrasi bukan hanya kondusif tetapi juga berperan aktif dalam percepat.
C. Sosok Birokrasi Pemerintah Masa Depan
Gerakan untuk menjadikan keadilan sosial sebagai salah satu nilai penting
dalam penyelenggaraan pemerintah sudah dimulai sejak lama, yaitu empat dekade
yang lalu. Pada waktu itu ilmuwan muda administrasi publik melahirkan gerakan new
public administration. Mereka menggugat keberadaan ilmu administrasi publik yang
dinilainya gagal dalam menuntut praktik adminstrasi publik untuk peduli pada isu
tentang keadilan sosial, kebebasan, dan demokrasi (Frederickson, 1971).
Birokrasi publik secara ideologis, konstitusional, dan keilmuan memiliki
mandat untuk mewujudkan keadilan sosial. Mandat tersebut bukan hanya untuk para

10
politisi, tetapi juga untuk aparat birokrasi dan warga. Mereka semua harus
berkontribusi terhadap setiap upaya perbaikan keadilan sosial. Untuk dapat
menjalankan mandat tersebut maka sosok birokrasi yang dikembangkan di masa
mendatang haruslah sosok yang mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya
keadilan sosial. Birokrasi dan aparaturnya harus mampu mendorong perubahan
menuju Indonesia yang lebih adil dengan cara mendistribusikan akses terhadap
sumber-sumber mobilitas vertikal, seperti pendidikan, kesehatan, dan sumber daya
ekonomi kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
D. Keunggulan Birokrasi
Dwiyanto (2011) mengemukakan bahwa birokrasi masa depan harus memiliki
keunggulan dibandingkan institusi sosial dan politik lainnya. Keunggulan ini
ditunjukkan oleh sikap, perilaku, dan pelayanan yang diselenggarakannya. Oleh
Sedarmayanti (2008) menyebut ada delapan sifat keunggulan yaitu: kepemimpinan,
otonomi, pengendalian, keterlibatan, orientasi pasar, kembali ke hal dasar dan tinggal
di sana, pembaharuan, dan integritas. Birokrasi dapat menjadi pusat keunggulan
apabila birokrasi mampu memberikan nilai tambah terhadap kegiatan sosial ekonomi
masyarakat. Keberadaan birokrasi publik harus dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Birokrasi publik harus mampu memperbaiki efesiensi, daya saing, serta
daya tahan pelaku sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat. Untuk itu birokrasi
publik harus efisien, efektif, profesional, modern, dan berorientasi pada pelayanan.
E. Birokrasi Transformatif
Transformasi birokrasi hingga ke akar akarnya sangat mendesak untuk
dilakukan mengingat secara diakronis, genetika birokrasi Indonesia merupakan
warisan birokrasi otoriter yang harus didekonstruksi ulang karena keberadaanya sudah
tidak relevan lagi. Karakteristik birokrasi otoriter tidak lagi dapat dipertahankan di era
demokrasi saat ini karena cenderung memposisikan birokrasi sebagai abdi negara
bukan abdi masyarakat. Konsekuensi dari pemahaman birokrasi sebagai abdi negara
adalah terbentuknya birokrasi tanpa empati dan tidak bersifat melayani, perlunya
transformasi birokrasi adalah bahwa paradigma pelayanan publik telah bergeser dari
model administrasi publik tradisional (old public administratiton) ke model
manajemen publik yang baru (new pulic management) dan konsep terakhir telah
menuju model pelayanan publik baru (new public service. Aparat dan pejabat publik
yang mampu menjalin hubungan yang bersifat transformatif dengan warga dan
pemangku kepentingannya tentu akan dapat membentuk pengetahuan kongnitif warga

11
yang positif, membangun hubungan emosional yang kuat dengan mereka, dan
menunjukkan kepada warga tentang kompetensinya dalam merespon kepentingan dan
kebutuhan warganya. Dalam kondisi seperti itu, birokrasi dan aparatnya akan dengan
sendirinya menikmati kepercayaan publik (Dwiyanto, 2011).
F. Birokrasi Profesional
Birokrasi masa depan harus memiliki karakter profesional. Profesionalisme
bukan hanya peningkatan kompetensi birokrasi. Akan tetapi dibutuhkan sumber daya
yang mampu menghadapi tantangan politik. Politik yang terjadi di Indonesia telah
mampu mewarnai birokasi pemerintahan. Seperti halnya dalam pemilihan kepala
daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat telah menciptakan lingkungan politik
yang berbeda pada birokrasi publik.
Untuk mengembangkan profesionalisme maka beberapa hal perlu dilakukan.
Pertama, profesionalisme membutuhkan aparat birokrasi yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi dan pengetahuan yang luas, Kedua memerlukan pelembagaan
nilai, sikap, dan perilaku yang diturunkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta didorong oleh keinginan untuk mewujudkan kehidupan manusia yang
lebih baik dan bermartabat, Ketiga, untuk mempercepat pengembangan
profesionalisme dalam birokrasi, Keempat, profesionalitas aparatur birokrasi
berkembang dengan melakukan inovasi melalui kebijakan diskresi yang tepat.
G. Birokrasi yang Amanah
Pelayanan publik membutuhkan sosok birokasi yang mampu membangun citra
positif masyarakatnya. Oleh karena itu, pejabat birokrasi seyogyanya mampu
dipercaya oleh masyarakat dalam mengembangkan amanah terhadap kewenangan
yang diberikan. Oleh karena itu, sosok birokrasi mampu menyelenggarakan
pemerintahan dengan menerapkan beberapa prinsip seperti:transparansi, akuntabalitas,
keterbukaan, efektivitas dan efisiensi, serta partisipasi. Aparatur birokrasi dinilai
memiliki integritas yang tinggi ketika mereka dapat menjalankan amanah yang
diberikan oleh Negara berupa kekuasaan, kewenangan, dan sumber daya secara jujur,
terbuka dan akuntabel untuk kepentingan publik.
H. Memiliki Visi Kebaruan
Visi kebaruan ini penting untuk dijadikan sebagai salah satu karakteristik
birokrasi Indonesia mengingat salah satu penyebab keterpurukan birokrasi di
Indonesia selama ini adalah kegagalannya untuk melakukan pembaruan terhadap
dirinya dalam merespon dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang sangat tinggi.

12
Adanya visi kebaruan menurut Dwiyanto (2011) akan mendorong birokrasi untuk
menciptakan ruang yang memadai bagi aparatnya untuk mengembangkan
kreativitasnya dan inovasi. Dwiyanto (2011) mengelaborasi bahwa dengan adanya visi
kebaruan ini diharapkan dapat menciptakan tekanan terhadap aparat birokrasi untuk
mengubah orientasinya yang rule driven. Visi kebaruan diharapkan dapat mendorong
mereka untuk mengembangkan pola pikir baru dalam menyikapi berbagai masalah
dalam birokrasi dan lingkungannya
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam visi kebaruan adalah modernitas.
Birokrasi publik masa depan harus mencirikan modernitas yang tinggi. Visi birokrasi
menggambarkan sosok birokrasi masa depan, yaitu memiliki kompetensi yang tinggi,
mencintai pekerjaannya sebagai sebuah profesi, dan peduli terhadap kepentingan
public.
I. Penataan Kembali Struktur Kelembagaan Birokrasi
Salah satu hal yang sangat mendesak untuk segera dilakukan dalam reformasi
birokrasi publik di Indonesia adalah mengkaji kembali struktur birokrasi yang
sekarang ini sangat hierarkis, panjang, dan kompleks. Struktur ini dicurigai menjadi
salah satu sumber dari berbagai masalah dalam birokrasi selama ini. Dengan adanya
peta jalan yang jelas dapat mencegah munculnya tindakan sporadik yang dilakukan
hanya untuk menjawab kebutuhan dan masalah sesaat, namun dalam jangka panjang
justru dapat merugikan agenda reformasi birokrasi.
Untuk meningkatkan akuntabilitas publik maka reformasi birokrasi harus
mampu menyentuh berbagai agenda penting dalam pemberantasan korupsi, seperti
pelembagaan code of conducts, sistem kepatuhan internal, penegakan disiplin, dan
peraturan kepegawaian. Revitalisasi sistem pengawasan internal yang terintegrasi
dengan sistem kepatuhan internal perlu dilakukan. Revitalisasi harus mampu
memperkuat keterkaitan sistem kepatuhan internal dengan sistem manajemen kinerja.

13
BAB IV

MENGELOLA KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI

A. Memanfaatkan Kesempatan Emas


Menurut Dwiyanto (2011) bahwa reformasi birokrasi sekarang ini sebenarnya
adalah kesempatan emas (golden opportunity) bagi pemerintah untuk membenahi
birokrasi. Kesempatan itu harus dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah untuk
melakukan perubahan mendasar terhadap kehidupan birokrasi. Mengapa merupakan
kesempatan emas? Pertama, reformasi birokrasi telah menjadi kebutuhan bagi
pemangku kepentingan baik yang berada di dalam ataupun di luar birokrasi publik.
Sebagian besar warga pengguna layanan birokrasi, pelaku usaha, serta penggiat sosial,
dan antikorupsi menginginkan pemerintah segera melakukan reformasi birokrasi.
Kedua, menurut Dwiyanto (2011) adalah keinginan pemerintah untuk memperbaiki
remunerasi menciptakan peluang bagi pemerintah untuk membenahi birokrasi tanpa
harus mengelolah konflik dan resistensi yang hebat dari aparatur birokrasi dan
pemangku kepentingan lainnya. Ketiga, masih menurut Dwiyanto (2011) adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil selama lima tahun terakhir dan kemampuan
finansial yang cukup baik memungkinkan pemerintah untuk memperbaiki struktur
penggajian dan sistem insentif bagi aparaturnya. keempat, menurut Dwiyanto (2011)
adalah kesempatan emas juga muncul karena dalam kurun waktu yangtidak lama akan
ada sejumlah besar PNS, konon mendekati satu juta orang, yang segera memasuki
pension Kelima, menurut Dwiyanto (2011) bahwa reformasi birokrasi selama ini
relatif telah menjadi agenda nasional.
Program reformasi birokrasi yang digunakan oleh pemerintah sekarang adalah
kesempatan emas karena momentumnya sangat tepat untuk melakukan perubahan
dalam birokrasi.
B. Membangun Persepsi yang Sama tentang Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi di Indonesia juga perlu dilakukan untuk memperkuat
peran birokrasi publik dan aparaturnya sebagai alat pemersatu bangsa. Implementasi
kebijakan reformasi birokrasi yang menyeluruh, seperti yang akan dilaksanakan di
Indonesia yang melibatkan kementerian, lembaga nonkementerian, dan pemerintah
daerah, tentu membutuhkan dukungan kelembagaan yang kuat sebagai motor
penggerak dan pengendali reformasi birokrasi (engine of reform). Untuk mempercepat
pelaksanaan reformasi birokrasi di kementerian, lembaga dan daerah maka setiap

14
kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah perlu membentuk satuan (task force)
yang secara khusus diberi mandat untuk mengelola pelaksanaan reformasi birokrasi di
institusi masing-masing. Satuan itu sebaiknya bertanggung jawab secara langsung
pada menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah. Satuan-satuan yang ada setiap
kementerian, lembaga, dan daerah itu nantinya harus terhubung dengan pusat
pengembangan kebijakan (kementerian PAN dan RB) sehingga koordinasi dan sinergi
dapat dilakukan secara mudah dan efektif.
C. Manajemen Perubahan
Kebijakan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan melibatkan kementerian,
lembaga, dan daerah membutuhkan manajemen perubahan yang efektif dan solid.
Setiap perubahan selalu akan menciptakan resistensi dari berbagai pihak yang
nasibnya dipengaruhi oleh kebijakan reformasi birokrasi, dengan alasan yang
berbeda-beda. Selain perubahan yang terjadi sebagai akibat reformasi, manfaat dari
perubahan birokrasi juga memerlukan waktu yang lama untuk dapat dirasakan.
Sementara resistensi dan kendala yang mengiringi proses reformasi selalu muncul
dengan cepat dan berpengaruh terhadap kehidupan aparatur birokrasi, pejabat
,anggota DPR/D, para pemangku kepentingan lainnya.
D. Monitoring, Evaluasi, dan Pengelolaan Pengetahuan
Sistem monitoring dan evaluasi (monev) perlu dikembangkan untuk menilai
kapasitas dari program-program reformasi birokrasi dalam mewujudkan perubahan-
perubahan (outcomes) pada birokrasi publik. Sistem monev harus dikembangkan di
setiap kementerian, lembaga, dan daerah, namun harus pula terintegrasi secara baik
dengan sistem monev yang ada di kementerian PAN dan RB. Sistem monev dirancang
untuk mendokumentasikan semua perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
pelaksanaan program reformasi birokrasi, baik yang diharapkan ataupun yang tidak
diharapkan sebelumnya. Untuk dapat mengembangkan sistem monev yang efektif,
setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah harus mengembangkan indikator
kinerja kunci ( key performance indicators) dari program dan kegiatan reformasi
birokrasi yang dilaksanakannya di institusi masing-masing

15
BAB V

MEMBANGUN KEPERCAYAAN PUBLIK TERHADAP PEMERINTAH

A. Konsep Kepercayaan Publik


Pada dekade terakhir ini kepercayaan terhadap pemerintah menjadi perdebatan
yang penting di beberapa Negara terkait dengan berbagai krisis domestik yang terjadi
di masing-masing Negara. Fenomena menurunnya kepercayaan publik terhadap
pemerintah bahkan kemudian cenderung menjadi fenomena global. Karena, itu krisis
kepercayaan publik sangat penting untuk dikaji secara lebih mendalam agar kita dapat
memahami kompleksitas dari fenomena itu dan juga upaya untuk memperbaikinya.
Kepercayaan publik pada tingkat organisasional dan individual sangat
tergantung pada kredibilitas dalam pengambilan kebijakan (Blind, 2007). Ketika
institusi pemerintah dan para pejabatnya memiliki kredibilitas yang tinggi dalam
pengambilan kebijakan maka kepercayaan publik akan dapat dipertahankan dan
ditingkatkan keberadaannya. faktor-faktor yang memengaruhi perubahan kepercayaan
publik, keterkaitan antara kepercayaan publik dan praktik tata pemerintahan, dan
bagaimana reformasi birokrasi dapat memengaruhi perubahan kepercayaan publik,
keterkaitan antara kepercayaan publik dan praktik tata pemerintahan, dan bagaimana
reformasi birokrasi dapat memengaruhi perubahan kepercayaan publik terhadap
pemerintah.
B. Dimensi Penting Kepercayaan Publik
Dalam persektif psikologi, kepercayaan publik melibatkan penilaian warga
tentang nilai-nilai moral dan karakteristik yang dimiliki oleh tertentu pemerintah
lembaga politik, atau para pejabat publik tertentu penilaian tersebut tentusangat
tergantung pada persepsi warga tentang kejujuran dan kredibilitas pemerintah,
institusi politik, dan para pejabatnya.
Sementara dalam ilmu ekenomi, kepercayaan seseorang cenderung dapat
dilihat dari harapan yang bersifat kalkulatif dan rasional terhadap hasil yang diberikan
oleh suatu organisasi atau pihak lain (Klim, 2007; Williamson, 1993). Kepercayaan
akan terbentuk ketika harapan seseorang terhadap sebuah institusi pemerintah dapat
terpenuhi. Sedangkan menurut pandangan para sarjana sosiologi, kepercayaan publik
merupakan kondisi yang di dalamnya terdapat dua karakteristik yaitu karakteristik
kolektif dan institusi (Kim, 2007), ketika banyak orang memiliki kesamaan atribut,
sikap, dan perilaku maka mereka cenderung saling percaya antara satu dengan

16
lainnya. Lebih dari tiga puluh model pengukuran kepercayaan publik dikajinya untuk
mengidentifikasi variabel yang penting dalampengukuran kepercayaan publik. Kim
sampai pada kesimpulan bahwa kepercayaan publik setidaknya bisa diukur dari lima
variabel, yaitu komitmen yang kredibel, ketulusan, kejujuran, kompetensi dan
keadilan.
C. Komitmen yang Kredibel (Credible Commitmen)
Ada beberapa penjelasan yang biasanya digunakan untuk menjelaskan
komitmen yang kredibel. Hardin ( dalam Kim, 2005) menjelaskan komitmen kredibel
sebagai “encapsulated interest of government actor to honor her agreement or to act
according to certain standard”. Komitmen yang kredibel, menurut Hardin, memiliki
dua unsur, yaitu adanya encapsulated interest dan konsistensi. Pemerintah dinilai
memiliki komitmen yang kredibel apabila warga percaya bahwa ada encapsulated
interest antara dirinya dan aktor-aktor dari institusi pemerintah, yaitu apa yang telah
menjadi kepentingan warga juga menjadi kepentingan para pejabat birokrasi
pemerintah, atau setidaknya mereka percaya bahwa tindakan para lembaga pemerintah
dan pejabatnya selalu didasarkan pada keinginan untuk mewujudkan kebaikan
bersama (common good) atau melindungi kepentingan dan harta benda warga.
D. Baik Hati (Benevolence)
Keyakinan penuh warga bahwa para institusi pemerintah dan pejabatnya
memiliki niat baik dan kepedulian yang tulus (genuine) terhadap semua kepentingan
warga sering menjadi penjelasan mengapa warga memiliki kepercayaan penuh
terhadap pemerintah. Pemerintah dinilai tulus ketika para pejabatnya tidak akan
melakukan tindakan yang merugikan kepentingan warga walaupun warga tidak
mengontrolnya. Hal itu terjadi apabila pemerintah dan para pejabatnya bersedia
membantu warga walaupun sebenarnya mereka tidak harus melakukannya dan ketika
melakukan itu mereka tidak didorong oleh motivasi ekstrinsik. Melayani dan
memenuhi kebutuhan warga sudah semestinya menjadi panggilan hati mereka sebagai
pejabatnya publik.
E. Kejujuran (Honesty)
Pentingnya kejujuran sebagai variabel yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kepercayaan publik juga telah banyak dikutip oleh para peneliti. Berman
(1997) dan Nye (1997) menggunakan kejujuran sebagai variabel yang penting untuk
menjelaskan perubahan kepercayaan publikPersepsi tentang kejujuran para institusi
pemerintah dan pejabanya dapat terbentuk karena adanya penilaian terhadap perilaku

17
para pejabat publik ketika mereka menyelenggarakan pelayanan publik atau dari
berbagai sumber informasi termasuk dari media yang memberitakan perilaku para
pejabat dalam menjalankan kekuasaan dan mandat dari rakyatnya.
F. Kompetensi
Penilaian warga tentang kompetensi institusi pemerintah dan para pejabat
publik sering bersifat subjektif karena tergantung pada harapan mereka terhadap
kapasitas peemrintah. Harapan warga terhadap pemerintah yang berlebihan atau
terlalu tinggi cenderung membuat mereka memiliki penilaian yang negatif terhadap
institusi peemrintah dan para pejabatnya terutama ketika mereka mengetahui
pemerintah ternyata tidak dapat memenuhi harapannya.
G. Keadilan (Fairness)
Ketika pemerintah dan para pejabat publik menyelenggarakan pelayanan
publik secara adil dan transparan, warga dengan sedirinya akan menilai para pejabat
publik tersebut memiliki integritas yang tinggi. Sebaliknya, ketika pemerintah dan
para pejabatnya gagal mencegah praktik diskriminasi dalam penyelenggaraan layanan,
warga akan menilai pemerintah gagal memenuhi rasa keadilan masyarakat.
H. Pentingnya Kepercayaan Publik Penting dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Kepercayaan publik pada tingkat tertentu sangat penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan, (Dwiyanto, 2011). Pertama, kepercayaan publik
terhadap pemerintah dapat mengurangi biaya transaksi dalam penyelenggaraan
pemerintah. Kedua, adanya kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dapat
mendorong warga untuk lebih menghormati otoritas yang dimiliki para pejabat publik
sehingga dalam proses kebijakan dan kegiatan pemerintahan tidak lagi harus terus-
menerus menjelaskan dan menjustifikasi keputusan-keputusan yang diambilnya.
Ketiga, kepercayaan publik dapat meningkatkan keharmonisan hubungan antara
pemerintah dan warga.
Hubungan yang harmonis dan saling menghormati sangat penting dalam
pengembangan suatu sistem pelayanan publik yang efisien dan efektif. Keempat,
kepercayaan publik publik juga sering kali sangat diperlukan untuk mendorong kerja
sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan
kegiatan pelayanan dan pemerintahan.
I. Krisis Kepercayaan Publik di Indonesia?
Krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum dapat dipahami secara
mudah karena, sebagaimana telah di jelaskan di depan, kepercayaan publik terhadap

18
lembaga pemerintah dan para pejabatnya sangat di pengaruhi oleh kompetensi,
kredibilitas ,dan kejujuran. Krisis kepercayaan dapat terjadi karena faktor-faktor yang
melekat pada pemerintah ataupun faktor-faktor yang di luar kontrol pemerintah.
Faktor-faktor yang ada di bawah kendali pemerintah di antaranya adalah kinerja
pemerintah, ketidakpuasaan terhadap pemerintah dalam merespons isu-isu tertentu
yang menjadi perhatian publik, skandal politik, dan perubahan budaya poilitik.
Kinerja para pemerintah yang buruk dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
melakukan penegakan hukum dapat menjadi salah satu penjelasan mengapa
kepercayaan publik terhadap pemerintah begitu rendah. Salah satu dimensi penting
dari kepercayaan publik adalah penilaian terhadap perilaku pemerintah.
J. Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan Kepercayaan Publik
Keterkaitan antara reformasi birokrasi dan peningkatan kepercayaan publik
terhadap pemerintah dapat dilihat dari seberapa besar kontribusi reformasi birokrasi
terhadap perubahan dimensi-dimensi kepercayaan publik sebagaimana di jelaskan
sebelumnya. Setidaknya terdapat tiga dimensi penting untuk dijadikan kepercayaan
publik, yaitu: kompetensi, integritas, dan ketulusan. Apabila reformasi birokrasi di
tujukan untuk membangun sosok birokrasi yang profesional, peduli terhadap
kepentingan publik, memiliki integritas yang tinggi, dan mampu memberikan
pelayanan yang unggul maka keterkaitan antara reformasi birokrasi dan kepercayaan
publik menjadi keniscayaan.

19
Referensi Buku:

Judul Buku : REFORMASI BIROKRASI DAN PELAYANAN PUBLIK

Penulis : DR. H. Dahyar Daraba, M.Si

Penerbit : Leisyah: jalan kesatuan 3 no. 11 kelurahan maccini Parang

20

Anda mungkin juga menyukai