Birokrasi
Birokrasi
DI SUSUN OLEH :
NUR CHANIFAH
12070521757
LOKAL 3/E
2021
1
BAB 1
2
suatu metode memerintah yang baru. Keluhan terhadap mereka bukanlah karena
bertindak tidak berdasar hukum sepenuhnya, di luar wewenang mereka sebagaimana
mestinya, tetapi bahwa memerintah nampaknya telah menjadi tujuan itu sendiri.
Tambahan untuk tipologi klasik ini, walaupun diidentifikasi sepintas lalu, harus
dipandang sebagai inovasi konseptual yang penting (Albrow, 1989). Alasan kedua
bagi arti pentingnya penemuan de Gournay menurut Albrow (1989) adalah berkaitan
dengan alasan yang pertama, tetapi hampir tidak diperhatikan. Hal itu berkaitan
dengan suatu istilah yang telah diakui umum pada waktu itu. Istilah baru Albrow,
(1989) dengan sangat mudah mengalami transliterasi sama sebagaimana “demokrasi”
atau ”aristokrasi”. Dengan cepat kata tersebut menjadi bagian dari perbendaharaan
istilah politik internasional. Bureaucratie dalam bahasa Perancis menjadi Bureaukratie
dalam bahasa Jerman (yang diubah menjadi Burokratie), burucrazia dalam bahasa
Italia dan “bureaucracy”, dalam bahasa Inggris. Selanjutnya analog dengan kata
turunan ”democracy”, maka”bereaucracy” diturunkan menjadi “bureaucrat”,
”bureaucratic”, ”bureaucratism”, ”bureaucrastist” dan ”bureaucratization”
(birokratiasi”).
3
diperintah. Menurutnya, jika kondisi tersebut tidak terpenuhi maka birokrasilah yang
akan menjadi hasilnya. Birokrasi berhasil “memperluas prinsip subordinasi, yang
menjadi dasar perkembangan birokrasi itu sendiri, dari organismenya sendiri menjadi
manusia yang tunduk, untuk secara bertahap berhimpun ke dalam suatu massa, yang
di dalamnya rakyat hanya dihitung sebagai angka, memperoleh nilai bukan berasal
dari hakikat diri mereka sendiri, tetapi dari kedudukan mereka”.
C. TEORI INGGRIS
Sebagian besar melalui terjemahan-terjemahan dari literatur Jerman kita dapat
menentukan waktu istilah “birokrasi” diterima dalam bahasa Inggris. Karya awal
Gorres, Germany and the revolution (1819) telah selesai diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dalam dua versi yang terpisah pada 1820. Dalam kedua kasus tersebut,
terjemahan langsung dari bureaukratisch menjadi ”bureaucratic” dihindari. Dilain
pihak, terjemahan surat-surat perjanjian seorang ratu Jerman,1832, dilaporkan
berpendapat demikian: “Birokrasi telah menggantikan Aristokrasi dan barangkali akan
menjadi warisan yang sama. ”Dictionary Johnson edisi 1827 tidak memasukkan kata
tersebut. Di pihak lain The Popular Encyclopaedia, 1837 (dengan sendirinya
berdasarkan Conversations Lexicon Jerman raya) berisikan suatu butir tentang “sistem
biro atau birokrasi”.
Teori birokrasi Inggris abad ke-19 paling jelas tersimpul dalam buku
sejarawan Ramsay Muir, 1910 yang berjudul “Bureaucracy in England“. Baginya
birokrasi adalah ”penyelenggaraaan kekuasaan oleh administrator yang profesional.”
sehingga Pengaruh yang paling kuat, kokoh dan dahsyat dalam pemerintahan Inggris
adalah berkenaan dengan pejabat-pejabat permanen besar tersebut. Tetapi ia
mengeritik dengan keras gagasan yang mengatakan, pada dasarnya birokrasi itu bukan
dari Inggris dan pertumbuhannya baru terjadi beberapa tahun terakhir. Lebih dari
tujuh puluh tahun, birokrasi telah tumbuh dengan kokoh. “Terdapat persekongkolan
diam-diam, yang sangat mengherankan, untuk mempertahankan ilusi tersebut, bahwa
sistem Inggris tidak birokratis.
D. Teori Kontinental
Pertentangan antara tulisan bahasa Inggris dan Jerman sangat besar mengenai
birokrasi. Para penulis Inggris yang merasa enak mengambil jarak tipe pemerintahan
kontinental, dengan sendirinya mereka tidak mempunyai perhatian pada tetek bengek
4
teknis penyelenggaraannya. Dilihat dari perspektif perbandingan semua negara Eropa
bertipe sama: diperintah oleh pejabat. Di dalam setiap klasifikasi tentang
pemerintahan birokrasi telah muncul sebagai sesuatu yang utama dan secara kebetulan
asing serta aneka rupa. Gagasan tentang birokrasi telah didominasi konsep collegium,
suatu badan jabatan yang memiliki tugas menasihati penguasa dan bertanggung jawab
atas fungsi tertentu yang diberikan pemerintahan, seperti keuangan, dan tatanan atau
undang-undang. Pertanggungjawaban ini bersifat kolektif, dan di dalam collegium ini
terhadap lingkup yang besar untuk terjadinya benturan antara gagasan dan
kepentingan.
5
BAB II
RUMUSAN KLASIK
6
yang berbeda seperti negara, partai politik, gereja, sekte dan firma.
”Organisasi”barangkali merupakan yang paling jelas terjemahannya, tetapi di dalam
kasus apa pun, verband memiliki konotasi khusus bagi Weber. Ia diartikan sebagai
suatu tatanan yang memiliki hubungan sosial, dengan mempunyai tugas masing-
masing. Kehadiran seorang pemimpin dan biasanya juga seorang staf administrasi
merupakan suatu ciri tetap suatu organisasi. Di dalam organisasi ala Weber, dengan
mengungkapkan bahwa staf administrasi memiliki fungsi untuk menerima atau
memberi tatanan-tatanan. Struktur organisasi yang dikembangkan Weber adalah
pemberdayaannya antara kekuasaan (Macht) dengan otoritas.
C. Max Weber: Konsep Birokrasi
Konsep suatu birokrasi merupakan teori yang tidak pernah didefinisikan oleh
Weber. Akan tetapi, konsep umum birokrasinya sebagai lawan tipe khusus tersebut,
harus dibentuk melalui kesimpulan dari beberapa bagian-bagian kiasan yang
dibuatnya untuk konsep tersebut. Salah satu petunjuk bagi konsep umum Weber
tampak dalam identifikasinya terhadap jenis birokrasi yang lain yang terpisah dari tipe
paling rasional. Inilah birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial berbeda dengan
tipe rasional terutama karena para pejabat yang bekerja tidak bebas dibanding orang-
orang yang diangkat secara kontraktual. Konsep birokrasi yang diungkapkan Weber
dapat dirangkum dari berbagai defenisi. Birokrasi merupakan suatu bagian
administrasi mengenai pejabat yang diangkat. Pendapat tersebut, relevan dengan
konsep yang diungkapkan oleh Michels dan Mosca. Selain itu, Weber memandang
birokrasi merupakan hubungan kolektif dengan golongan pejabat, kelompok tertentu
yang berbeda, Akan tetapi Weber menekankan mengenai ciri organisasional tertentu,
mengungkapkan bahwa prosedur pengangkatannya merupakan konsep umum
birokrasi bukan hanya merupakan gagasan mengenai kelompok, akan tetapi tindakan
yang berbeda. Konsep ini menurut Weber penting mengenai tipe birokrasi rasional.
Weber memiliki suatu konsep birokrasi yang umum, namun tidak kurang
benarnya bahwa arti pentingnya dikalahkan, baik baginya maupun bagi komentator
berikutnya, oleh variant yang juga disebut rasional. Hal yang paling rasional mengenai
Staf administratif birokratis merupakan birokrasi yang mempersyaratkan proposisi-
proposisi berlandasakan legitimasi dan otoritas, Kesepuluh penciri dari tipe birokrasi
ideal yang diperkenalkan oleh Marx Weber adalah merupakan suatu jenis staf
administratif yang seringkali digunakan dalam suatu birokrasi.
7
D. Marx Weber : Batas- batas tentang birokrasi
Weber yakin bahwa teori yang diungkapkan oleh Albrow (1989) mengenai
birokrasi rasional sangatlah penting. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan Weber yang
memiliki seperangkat ciri disiplin, ketepatan, kekerasan (keras), kesinambungan,
keajenan (reliabilitas) yang merupakan bagian dalam suatu bentuk organisasi yang
dilihat bagi para pemegang otoritas dan semua kelompok yang memiliki kepentingan
lainnya. Weber mengungkapkan pandangan tentang birokrasi merupakan suatu proses
harus dijalani dan tidak terhindari. Berkenaan dengan birokrasi yang oleh Weber
diartikan pertumbuhan sepuluh ciri tadi, ia mencatatnya sebagai aspek-aspek birokrasi
rasional. Tetapi sebagai bagian dari proses rasionalisasi pada umumnya, birokratik
rasional juga cenderung memisahkan manusia dari alat produk. Weber
mempertimbangkan sejumlah besar mekanisme untuk membatasi lingkup berbagai
sistem otoritas pada umumnya dan khususnya birokrasi. Mekanisme tersebut
dikelompokkan menjadi lima kategori pokok, yaitu:
1. Kolegialitas
2. Pemisahan kekuasaan
3. Administrasi amatir
4. Demokrasi langsung
5. Representasi (perwakilan)
8
BAB III
9
perubahan sosial dan ekonomi dalam masyarakat, serta sebagai kekuatan pemersatu
bangsa. Akan tetapi, selama ini birokrasi pemerintah selalu memposisikan dirinya
sebagai contoh kekuasaan maka tidak mengherankan apabila dari waktu ke waktu
birokrasi mengalami krisis kepercayaan publik (Dwiyanto, 2007).
B. Reformasi Birokrasi di Persimpangan Jalan
Menurut Dwiyanto (2010) reformasi birokrasi di Indonesia masih
dipersimpangan jalan. Lebih jauh, Dwiyanto (2010) melihat bahwa apa yang
dilakukan oleh pemerintah selama satu dekade terakhir ini tampak bahwa pemerintah
belum memiliki visi yang jelas mengenai reformasi birokrasi. Gambaran tentang
sosok birokrasi masa depan yang ingin dikembangkan, yaitu sebagai kekuatan dalam
mencapai cita-cita bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera, tidak
pernah jelas dan dipahami oleh khalayak ramai. Banyak tindakan pemerintah dalam
membenahi birokrasinya sering kali tidak relevan dan tidak jelas arahnya.
Reformasi birokrasi publik belum menjadi agenda yang penting dalam proses
kebijakan di Indonesia, Reformasi birokrasi yang digaungkan oleh pemerintah selama
ini sebenarnya tidak lebih dari jargon yang digunakan oleh para pemegang kekuasaan
untuk memperkuat basis legitimasi atas tindakannya yang lebih banyak didorong oleh
kepentingan kelompok, birokrasi, dan politik sesaat.
Nilai-nilai yang akan dilembagakan dalam birokrasi pemerintah di Indonesia
penting untuk dilakukan karena selama ini upaya memperbaiki kinerja birokrasi
publik sering kali tidak dituntut oleh nilai-nilai yang menggambarkan cita-cita kita
sebagai bangsa, yaitu mewujudkan Indonesia yang adil, sejahtera, dan demokratis,
serta bagaimana peran birokrasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Nilai –nilai yang
dialokasikan dalam visi reformasi birokrasi haruslah nilai-nilai yang mampu menjadi
birokrasi bukan hanya kondusif tetapi juga berperan aktif dalam percepat.
C. Sosok Birokrasi Pemerintah Masa Depan
Gerakan untuk menjadikan keadilan sosial sebagai salah satu nilai penting
dalam penyelenggaraan pemerintah sudah dimulai sejak lama, yaitu empat dekade
yang lalu. Pada waktu itu ilmuwan muda administrasi publik melahirkan gerakan new
public administration. Mereka menggugat keberadaan ilmu administrasi publik yang
dinilainya gagal dalam menuntut praktik adminstrasi publik untuk peduli pada isu
tentang keadilan sosial, kebebasan, dan demokrasi (Frederickson, 1971).
Birokrasi publik secara ideologis, konstitusional, dan keilmuan memiliki
mandat untuk mewujudkan keadilan sosial. Mandat tersebut bukan hanya untuk para
10
politisi, tetapi juga untuk aparat birokrasi dan warga. Mereka semua harus
berkontribusi terhadap setiap upaya perbaikan keadilan sosial. Untuk dapat
menjalankan mandat tersebut maka sosok birokrasi yang dikembangkan di masa
mendatang haruslah sosok yang mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya
keadilan sosial. Birokrasi dan aparaturnya harus mampu mendorong perubahan
menuju Indonesia yang lebih adil dengan cara mendistribusikan akses terhadap
sumber-sumber mobilitas vertikal, seperti pendidikan, kesehatan, dan sumber daya
ekonomi kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
D. Keunggulan Birokrasi
Dwiyanto (2011) mengemukakan bahwa birokrasi masa depan harus memiliki
keunggulan dibandingkan institusi sosial dan politik lainnya. Keunggulan ini
ditunjukkan oleh sikap, perilaku, dan pelayanan yang diselenggarakannya. Oleh
Sedarmayanti (2008) menyebut ada delapan sifat keunggulan yaitu: kepemimpinan,
otonomi, pengendalian, keterlibatan, orientasi pasar, kembali ke hal dasar dan tinggal
di sana, pembaharuan, dan integritas. Birokrasi dapat menjadi pusat keunggulan
apabila birokrasi mampu memberikan nilai tambah terhadap kegiatan sosial ekonomi
masyarakat. Keberadaan birokrasi publik harus dapat dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat. Birokrasi publik harus mampu memperbaiki efesiensi, daya saing, serta
daya tahan pelaku sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat. Untuk itu birokrasi
publik harus efisien, efektif, profesional, modern, dan berorientasi pada pelayanan.
E. Birokrasi Transformatif
Transformasi birokrasi hingga ke akar akarnya sangat mendesak untuk
dilakukan mengingat secara diakronis, genetika birokrasi Indonesia merupakan
warisan birokrasi otoriter yang harus didekonstruksi ulang karena keberadaanya sudah
tidak relevan lagi. Karakteristik birokrasi otoriter tidak lagi dapat dipertahankan di era
demokrasi saat ini karena cenderung memposisikan birokrasi sebagai abdi negara
bukan abdi masyarakat. Konsekuensi dari pemahaman birokrasi sebagai abdi negara
adalah terbentuknya birokrasi tanpa empati dan tidak bersifat melayani, perlunya
transformasi birokrasi adalah bahwa paradigma pelayanan publik telah bergeser dari
model administrasi publik tradisional (old public administratiton) ke model
manajemen publik yang baru (new pulic management) dan konsep terakhir telah
menuju model pelayanan publik baru (new public service. Aparat dan pejabat publik
yang mampu menjalin hubungan yang bersifat transformatif dengan warga dan
pemangku kepentingannya tentu akan dapat membentuk pengetahuan kongnitif warga
11
yang positif, membangun hubungan emosional yang kuat dengan mereka, dan
menunjukkan kepada warga tentang kompetensinya dalam merespon kepentingan dan
kebutuhan warganya. Dalam kondisi seperti itu, birokrasi dan aparatnya akan dengan
sendirinya menikmati kepercayaan publik (Dwiyanto, 2011).
F. Birokrasi Profesional
Birokrasi masa depan harus memiliki karakter profesional. Profesionalisme
bukan hanya peningkatan kompetensi birokrasi. Akan tetapi dibutuhkan sumber daya
yang mampu menghadapi tantangan politik. Politik yang terjadi di Indonesia telah
mampu mewarnai birokasi pemerintahan. Seperti halnya dalam pemilihan kepala
daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat telah menciptakan lingkungan politik
yang berbeda pada birokrasi publik.
Untuk mengembangkan profesionalisme maka beberapa hal perlu dilakukan.
Pertama, profesionalisme membutuhkan aparat birokrasi yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi dan pengetahuan yang luas, Kedua memerlukan pelembagaan
nilai, sikap, dan perilaku yang diturunkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta didorong oleh keinginan untuk mewujudkan kehidupan manusia yang
lebih baik dan bermartabat, Ketiga, untuk mempercepat pengembangan
profesionalisme dalam birokrasi, Keempat, profesionalitas aparatur birokrasi
berkembang dengan melakukan inovasi melalui kebijakan diskresi yang tepat.
G. Birokrasi yang Amanah
Pelayanan publik membutuhkan sosok birokasi yang mampu membangun citra
positif masyarakatnya. Oleh karena itu, pejabat birokrasi seyogyanya mampu
dipercaya oleh masyarakat dalam mengembangkan amanah terhadap kewenangan
yang diberikan. Oleh karena itu, sosok birokrasi mampu menyelenggarakan
pemerintahan dengan menerapkan beberapa prinsip seperti:transparansi, akuntabalitas,
keterbukaan, efektivitas dan efisiensi, serta partisipasi. Aparatur birokrasi dinilai
memiliki integritas yang tinggi ketika mereka dapat menjalankan amanah yang
diberikan oleh Negara berupa kekuasaan, kewenangan, dan sumber daya secara jujur,
terbuka dan akuntabel untuk kepentingan publik.
H. Memiliki Visi Kebaruan
Visi kebaruan ini penting untuk dijadikan sebagai salah satu karakteristik
birokrasi Indonesia mengingat salah satu penyebab keterpurukan birokrasi di
Indonesia selama ini adalah kegagalannya untuk melakukan pembaruan terhadap
dirinya dalam merespon dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang sangat tinggi.
12
Adanya visi kebaruan menurut Dwiyanto (2011) akan mendorong birokrasi untuk
menciptakan ruang yang memadai bagi aparatnya untuk mengembangkan
kreativitasnya dan inovasi. Dwiyanto (2011) mengelaborasi bahwa dengan adanya visi
kebaruan ini diharapkan dapat menciptakan tekanan terhadap aparat birokrasi untuk
mengubah orientasinya yang rule driven. Visi kebaruan diharapkan dapat mendorong
mereka untuk mengembangkan pola pikir baru dalam menyikapi berbagai masalah
dalam birokrasi dan lingkungannya
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam visi kebaruan adalah modernitas.
Birokrasi publik masa depan harus mencirikan modernitas yang tinggi. Visi birokrasi
menggambarkan sosok birokrasi masa depan, yaitu memiliki kompetensi yang tinggi,
mencintai pekerjaannya sebagai sebuah profesi, dan peduli terhadap kepentingan
public.
I. Penataan Kembali Struktur Kelembagaan Birokrasi
Salah satu hal yang sangat mendesak untuk segera dilakukan dalam reformasi
birokrasi publik di Indonesia adalah mengkaji kembali struktur birokrasi yang
sekarang ini sangat hierarkis, panjang, dan kompleks. Struktur ini dicurigai menjadi
salah satu sumber dari berbagai masalah dalam birokrasi selama ini. Dengan adanya
peta jalan yang jelas dapat mencegah munculnya tindakan sporadik yang dilakukan
hanya untuk menjawab kebutuhan dan masalah sesaat, namun dalam jangka panjang
justru dapat merugikan agenda reformasi birokrasi.
Untuk meningkatkan akuntabilitas publik maka reformasi birokrasi harus
mampu menyentuh berbagai agenda penting dalam pemberantasan korupsi, seperti
pelembagaan code of conducts, sistem kepatuhan internal, penegakan disiplin, dan
peraturan kepegawaian. Revitalisasi sistem pengawasan internal yang terintegrasi
dengan sistem kepatuhan internal perlu dilakukan. Revitalisasi harus mampu
memperkuat keterkaitan sistem kepatuhan internal dengan sistem manajemen kinerja.
13
BAB IV
14
kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah perlu membentuk satuan (task force)
yang secara khusus diberi mandat untuk mengelola pelaksanaan reformasi birokrasi di
institusi masing-masing. Satuan itu sebaiknya bertanggung jawab secara langsung
pada menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah. Satuan-satuan yang ada setiap
kementerian, lembaga, dan daerah itu nantinya harus terhubung dengan pusat
pengembangan kebijakan (kementerian PAN dan RB) sehingga koordinasi dan sinergi
dapat dilakukan secara mudah dan efektif.
C. Manajemen Perubahan
Kebijakan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan melibatkan kementerian,
lembaga, dan daerah membutuhkan manajemen perubahan yang efektif dan solid.
Setiap perubahan selalu akan menciptakan resistensi dari berbagai pihak yang
nasibnya dipengaruhi oleh kebijakan reformasi birokrasi, dengan alasan yang
berbeda-beda. Selain perubahan yang terjadi sebagai akibat reformasi, manfaat dari
perubahan birokrasi juga memerlukan waktu yang lama untuk dapat dirasakan.
Sementara resistensi dan kendala yang mengiringi proses reformasi selalu muncul
dengan cepat dan berpengaruh terhadap kehidupan aparatur birokrasi, pejabat
,anggota DPR/D, para pemangku kepentingan lainnya.
D. Monitoring, Evaluasi, dan Pengelolaan Pengetahuan
Sistem monitoring dan evaluasi (monev) perlu dikembangkan untuk menilai
kapasitas dari program-program reformasi birokrasi dalam mewujudkan perubahan-
perubahan (outcomes) pada birokrasi publik. Sistem monev harus dikembangkan di
setiap kementerian, lembaga, dan daerah, namun harus pula terintegrasi secara baik
dengan sistem monev yang ada di kementerian PAN dan RB. Sistem monev dirancang
untuk mendokumentasikan semua perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
pelaksanaan program reformasi birokrasi, baik yang diharapkan ataupun yang tidak
diharapkan sebelumnya. Untuk dapat mengembangkan sistem monev yang efektif,
setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah harus mengembangkan indikator
kinerja kunci ( key performance indicators) dari program dan kegiatan reformasi
birokrasi yang dilaksanakannya di institusi masing-masing
15
BAB V
16
lainnya. Lebih dari tiga puluh model pengukuran kepercayaan publik dikajinya untuk
mengidentifikasi variabel yang penting dalampengukuran kepercayaan publik. Kim
sampai pada kesimpulan bahwa kepercayaan publik setidaknya bisa diukur dari lima
variabel, yaitu komitmen yang kredibel, ketulusan, kejujuran, kompetensi dan
keadilan.
C. Komitmen yang Kredibel (Credible Commitmen)
Ada beberapa penjelasan yang biasanya digunakan untuk menjelaskan
komitmen yang kredibel. Hardin ( dalam Kim, 2005) menjelaskan komitmen kredibel
sebagai “encapsulated interest of government actor to honor her agreement or to act
according to certain standard”. Komitmen yang kredibel, menurut Hardin, memiliki
dua unsur, yaitu adanya encapsulated interest dan konsistensi. Pemerintah dinilai
memiliki komitmen yang kredibel apabila warga percaya bahwa ada encapsulated
interest antara dirinya dan aktor-aktor dari institusi pemerintah, yaitu apa yang telah
menjadi kepentingan warga juga menjadi kepentingan para pejabat birokrasi
pemerintah, atau setidaknya mereka percaya bahwa tindakan para lembaga pemerintah
dan pejabatnya selalu didasarkan pada keinginan untuk mewujudkan kebaikan
bersama (common good) atau melindungi kepentingan dan harta benda warga.
D. Baik Hati (Benevolence)
Keyakinan penuh warga bahwa para institusi pemerintah dan pejabatnya
memiliki niat baik dan kepedulian yang tulus (genuine) terhadap semua kepentingan
warga sering menjadi penjelasan mengapa warga memiliki kepercayaan penuh
terhadap pemerintah. Pemerintah dinilai tulus ketika para pejabatnya tidak akan
melakukan tindakan yang merugikan kepentingan warga walaupun warga tidak
mengontrolnya. Hal itu terjadi apabila pemerintah dan para pejabatnya bersedia
membantu warga walaupun sebenarnya mereka tidak harus melakukannya dan ketika
melakukan itu mereka tidak didorong oleh motivasi ekstrinsik. Melayani dan
memenuhi kebutuhan warga sudah semestinya menjadi panggilan hati mereka sebagai
pejabatnya publik.
E. Kejujuran (Honesty)
Pentingnya kejujuran sebagai variabel yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kepercayaan publik juga telah banyak dikutip oleh para peneliti. Berman
(1997) dan Nye (1997) menggunakan kejujuran sebagai variabel yang penting untuk
menjelaskan perubahan kepercayaan publikPersepsi tentang kejujuran para institusi
pemerintah dan pejabanya dapat terbentuk karena adanya penilaian terhadap perilaku
17
para pejabat publik ketika mereka menyelenggarakan pelayanan publik atau dari
berbagai sumber informasi termasuk dari media yang memberitakan perilaku para
pejabat dalam menjalankan kekuasaan dan mandat dari rakyatnya.
F. Kompetensi
Penilaian warga tentang kompetensi institusi pemerintah dan para pejabat
publik sering bersifat subjektif karena tergantung pada harapan mereka terhadap
kapasitas peemrintah. Harapan warga terhadap pemerintah yang berlebihan atau
terlalu tinggi cenderung membuat mereka memiliki penilaian yang negatif terhadap
institusi peemrintah dan para pejabatnya terutama ketika mereka mengetahui
pemerintah ternyata tidak dapat memenuhi harapannya.
G. Keadilan (Fairness)
Ketika pemerintah dan para pejabat publik menyelenggarakan pelayanan
publik secara adil dan transparan, warga dengan sedirinya akan menilai para pejabat
publik tersebut memiliki integritas yang tinggi. Sebaliknya, ketika pemerintah dan
para pejabatnya gagal mencegah praktik diskriminasi dalam penyelenggaraan layanan,
warga akan menilai pemerintah gagal memenuhi rasa keadilan masyarakat.
H. Pentingnya Kepercayaan Publik Penting dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Kepercayaan publik pada tingkat tertentu sangat penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan, (Dwiyanto, 2011). Pertama, kepercayaan publik
terhadap pemerintah dapat mengurangi biaya transaksi dalam penyelenggaraan
pemerintah. Kedua, adanya kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dapat
mendorong warga untuk lebih menghormati otoritas yang dimiliki para pejabat publik
sehingga dalam proses kebijakan dan kegiatan pemerintahan tidak lagi harus terus-
menerus menjelaskan dan menjustifikasi keputusan-keputusan yang diambilnya.
Ketiga, kepercayaan publik dapat meningkatkan keharmonisan hubungan antara
pemerintah dan warga.
Hubungan yang harmonis dan saling menghormati sangat penting dalam
pengembangan suatu sistem pelayanan publik yang efisien dan efektif. Keempat,
kepercayaan publik publik juga sering kali sangat diperlukan untuk mendorong kerja
sama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan
kegiatan pelayanan dan pemerintahan.
I. Krisis Kepercayaan Publik di Indonesia?
Krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum dapat dipahami secara
mudah karena, sebagaimana telah di jelaskan di depan, kepercayaan publik terhadap
18
lembaga pemerintah dan para pejabatnya sangat di pengaruhi oleh kompetensi,
kredibilitas ,dan kejujuran. Krisis kepercayaan dapat terjadi karena faktor-faktor yang
melekat pada pemerintah ataupun faktor-faktor yang di luar kontrol pemerintah.
Faktor-faktor yang ada di bawah kendali pemerintah di antaranya adalah kinerja
pemerintah, ketidakpuasaan terhadap pemerintah dalam merespons isu-isu tertentu
yang menjadi perhatian publik, skandal politik, dan perubahan budaya poilitik.
Kinerja para pemerintah yang buruk dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
melakukan penegakan hukum dapat menjadi salah satu penjelasan mengapa
kepercayaan publik terhadap pemerintah begitu rendah. Salah satu dimensi penting
dari kepercayaan publik adalah penilaian terhadap perilaku pemerintah.
J. Reformasi Birokrasi untuk Meningkatkan Kepercayaan Publik
Keterkaitan antara reformasi birokrasi dan peningkatan kepercayaan publik
terhadap pemerintah dapat dilihat dari seberapa besar kontribusi reformasi birokrasi
terhadap perubahan dimensi-dimensi kepercayaan publik sebagaimana di jelaskan
sebelumnya. Setidaknya terdapat tiga dimensi penting untuk dijadikan kepercayaan
publik, yaitu: kompetensi, integritas, dan ketulusan. Apabila reformasi birokrasi di
tujukan untuk membangun sosok birokrasi yang profesional, peduli terhadap
kepentingan publik, memiliki integritas yang tinggi, dan mampu memberikan
pelayanan yang unggul maka keterkaitan antara reformasi birokrasi dan kepercayaan
publik menjadi keniscayaan.
19
Referensi Buku:
20