Lompat ke isi

Ad hominem

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ad hominem (bahasa Latin dari "tertuju pada orangnya"), merupakan singkatan dari argumentum ad hominem, adalah sebuah strategi retorikal ketika seseorang menyerang kesalahan tulis, kesalahan istilah, kesalahan pemilihan kata, karakter, motif, atau beberapa atribut dari orang yang membuat argumen ketimbang menyerang substansi dari argumen itu sendiri. Penalaran ad hominem biasanya dipandang sebagai kesesatan logika atau logical fallacy.[1][2][3] atau bisa juga sebagai suatu bentuk cacat logika ketika lawan debat kita atau lawan bicara kita menyerang hal-hal di luar substansi dari tujuan utama sebuah debat maupun pembicaraan itu sendiri ataupun justru menyerang kepribadian kita. Hal itu bisa meliputi gender, jenis kelamin, orientasi seksual, suku, ras, agama, warna kulit, bentuk mata, dan lain semacamnya sehingga debat menjadi tak substansial serta cenderung menjadi perundungan, penghinaan, caci maki dan penghujatan. Ad hominem biasanya digunakan oleh seseorang ketika mereka dalam kondisi tersudut sehingga mereka tidak bisa berargumen sesuai dengan topik utama. Dalam perdebatan yang sehat, perhatian seharusnya difokuskan pada isi argumen, bukan pada hal-hal pribadi dari orang yang menyampaikannya.

Contoh dari ad hominem adalah:

  • Carl Sagan adalah seorang pemakai ganja, maka karya-karyanya ngawur.
  • Jimi Hendrix meninggal karena overdosis, jadi musiknya jelek.
  • Karena dia hanya murid, maka semua pernyataannya pasti salah.
  • Otak kamu pas-pasan, tidak mungkin bisa memahami perkataan saya.
  • Komentar sendiri, like sendiri, apa Anda gila.
  • Masa gitu aja gatau? Orang miskin, makanya harus sekolah.
  • Kamu bahkan bukan seorang ilmuwan, jadi tidak usah bicara soal perubahan iklim
Aristoteles (384-322 SM) adalah filsuf pertama yang membedakan antara argumen yang menyerang tesis atau menyerang orang lain.[4]

Berbagai jenis argumen ad hominem telah dikenal di Barat setidaknya sejak zaman Yunani kuno. Aristoteles, dalam karyanya Sophistic Refutations, merinci tentang kekeliruan saat seseorang menyerang si penanya, bukan argumennya.[5] Banyak contoh argumen ad hominem kuno yang tidak salah (non-fallacious) dalam karya seorang filsuf beraliran Pyrrhonist, Sextus Empiricus. Dalam argumen ini, konsep dan asumsi lawan digunakan sebagai bagian dari strategi dialektis melawan lawan untuk menunjukkan ketidakseimbangan argumen dan asumsi mereka sendiri. Dalam ad hominem non-fallacious, argumen ditujukan kepada orang (ad hominem), tetapi tanpa menyerang sifat individu yang membuat argumen.[6]

Jenis lain dari penalaran ad hominem

[sunting | sunting sumber]

Ketika argumen ad hominem dilakukan terhadap sebuah pernyataan, penting untuk menarik perbedaan apakah pernyataan tersebut merupakan argumen atau pernyataan fakta (kesaksian). Dalam kasus terakhir isu kredibilitas orang yang membuat pernyataan tersebut mungkin penting.[7]

Doug Walton, akademisi dan penulis Kanada, menyatakan bahwa penalaran ad hominem tidak selalu keliru, dan bahwa dalam beberapa kasus, pertanyaan mengenai perilaku pribadi, karakter, motif, dll, adalah sah dan relevan dengan masalah ini,[8] seperti ketika secara langsung membicarakan kemunafikan, atau tindakan bertentangan dengan kata-kata subjek.

Filsuf Charles Taylor berpendapat bahwa penalaran ad hominem adalah penting untuk memahami isu-isu moral tertentu, dan menganggapnya sebagai lawan dari penalaran apodiktis naturalisme filosofis.[9][butuh klarifikasi]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Walton, Douglas (2008). Informal Logic: A Pragmatic Approach. Cambridge University Press. hlm. 190. 
  2. ^ Bowell, Tracy; Kemp, Gary (2010). Critical Thinking: A Concise Guide. Abingdon, Oxon: Routledge. hlm. 210–213. ISBN 0415471834. 
  3. ^ Copi, Irving M. (1986). Informal Logic. Macmillan. hlm. 112–113. ISBN 0023249404. 
  4. ^ Walton 2001, hlm. 208; Tindale 2007, hlm. 82.
  5. ^ Tindale 2007, hlm. 82.
  6. ^ Walton 2001, hlm. 207–209; Wong 2017, hlm. 49.
  7. ^ Curtis, Gary N. "Argumentum ad Hominem". Fallacy Files. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-20. Diakses tanggal 2007-09-10. 
  8. ^ Walton, Douglas (2008). Informal Logic: A Pragmatic Approach. Cambridge University Press. hlm. 170. 
  9. ^ Taylor, Charles (1997). "Explanation and Practical Reason". Philosophical Arguments. Harvard University Press. hlm. 34–60. 

Bacaan terkait

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]