Menjawab si Umbuik Mudo, “Duhai Amai denai, denai tidak mau ke sawah ke ladang, umur denai baru setahun jagung, darah denai baru setampuk pinang, belum sanggup membawa cangkul, apalagi menarik bajak dengan kerbau.”
Mendengar kata demikian, hilanglah akal amai si Umbuik, lalu bertanya kembali, “Jadi apa Buyung hendaknya, maukah Buyung jadi penghulu?”
Menjawab pula si Umbuik Mudo, “Bukan mudah jadi penghulu, penghulu harus cerdik pandai, tahu di adat dan pusaka, tahu di ereng dengan gendeng, tahu mengira menyampaikan, katanya kata berlipat, yang kalah dimenangkannya.”
Bertanya jua amai si Umbuik, “Maukah Buyung menjadi dubalang?”
Menjawab si Umbuik Mudo, “Duhai Amai denai, tidaklah mudah jadi dubalang, dubalang harus kuat kebal, berdirinya di pintu mati, yang keras ditakiknya, yang lunak disudunya, yang jauh ditempuhnya, yang tinggi dijoloknya, yang bengkok diluruskannya.”
“Jadi apa Buyung hendaknya, maukah buyung jadi pegawai?” kata amai si Umbuik Mudo.
“Bukan mudah jadi pegawai, harus cepat kaki ringan tangan, banyak bangun pada tidur, malam berselimut embun, siang bertudung awan, berjalan tidak berkaki lelah, kalau kelam bersuluh, kalau hujan bertudung, yang terbalik disampaikan jua,” katanya si Umbuik Mudo.
“Maukah Buyung jadi jawara, berdiri di tengah gelanggang?” kata amainya.
“Duhai Amai denai, bukan mudah jadi jawara, harus tahu di tuah ayam, pandai membulang dan mengukur,” kata si Umbuik Mudo. Berkata pula amainya, “Maukah Buyung pergi mengaji, jadi orang alim saja?”