Ganra, Soppeng
Ganra | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Sulawesi Selatan | ||||
Kabupaten | Soppeng | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | Andi Amri Andi Nongki, SE, M.SI, Ak | ||||
Populasi | |||||
• Total | 11,441 jiwa jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 73.12.07 | ||||
Kode BPS | 7312031 | ||||
Luas | 57 km² | ||||
Kepadatan | - jiwa/km² | ||||
Desa/kelurahan | 4 desa | ||||
|
Ganra adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, Indonesia. Kecamatan Ganra terdiri atas 4 (empat) desa, diantaranya ; Desa Ganra, Desa Belo, Desa Lompulle dan Desa Enrekeng. Dengan ibu kota kecamatan di Desa Ganra.
Asal Mula Penamaan Ganra
[sunting | sunting sumber]Ganra menurut tokoh lokal H. Badaruddin Andi Abd. Rahman yaitu berasal dari kata Anra, dalam bahasa bugis bermakna (perangkap ayam hutan), manganraa (menangkap ayam hutan dengan menggunakan perangkap). Menurutnya Ganra dulu merupakan hutan belantara. Olehnya itu anak Arung Ganra saat itu sering memanfaatkannya sebagai suatu kegemaran untuk menangkap ayam hutan dengan cara memasang Anra tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa Ganra sebenarnya berasal dari kata Ganra itu sendiri, dalam bahasa bugis kuno Ganra diartikan sebagai alat pemintal benang yang berbentuk melingkar. Menurut Bapak Hamruddin Laide, awal penamaan Ganra bermula pada saat Datu Luwu melewati wilayah itu dan melihat seorang nenek tua sedang memintal benang.menggunakan Ganra, selanjutnya Datu Luwu menanyakan dari kayu apa engkau membuatnya ?, nenek tua kemudian menjawab saya membuatnya dari Kayu Cenrana yang kuambil dari barat. Sebagai buah tangan, Datu Luwu kemudian dihadiahi selembar kain/sarung hasil tenun dari nenek tua. Datu Luwu kemudian berjalan ke arah timur dan orang-orang di sana terkesima melihat corak kain/sarung yang digunakan oleh sang Datu dan memujinya dalam bahasa bugis "Kanja'pa Belo-na Tennungta' Puang". Maka sejak itulah ketiga wilayah itu dinamakan Ganra, Cenrana dan Belo.
AbbanuangE, yang berada di sebelah timur Ganra saat ini, diyakini sebagai pemukiman awal masyarakat Ganra dan juga sebagai pusat kerajaan yang saat itu masih menganut kepercayaan Bugis kuno. Wilayah PattunungE yang berada di sebelah selatan dijadikan sebagai tempat pengabuan (kremasi) jenazah keluarga Arung dan warga kerajaan. Menurut Alm. H. Halide, setelah penyakit mematikan (Zai) sejenis kolera mewabah di wilayah AbbanuangE, Arung Ganra kemudian mengeluarkan titah untuk membuka hutan yang berada di sebelah barat untuk dijadikan sebagai pemukiman baru. Sampai saat ini informasi mengenai sejarah Ganra masih mengandalkan sumber lisan, sehingga untuk mengurai secara detail sejarah Ganra mengalami kendala.
Ganra secara geografis diapit oleh dua sungai (Salokaraja dan MallanroE) membentang dari barat ke timur yang menjadikan Ganra sebagai wilayah subur untuk pertanian. Kondisi ini mengakibatkan Ganra sering menjadi objek persengketaan antara kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya. tercatat dalam sejarah Bone bahwa La Madderemmeng MattinroE ri Bukaka (Raja Bone ke-13) pernah berseteru dengan Wajo yang mengakibatkan gugurnya La Sigajang To Bunne (Raja Wajo ke-19) dalam perebutan wilayah Ganra, Cenrana dan Pallime [1] Diarsipkan 2023-07-28 di Wayback Machine.. Kerajaan Bone dan Kerajaan Soppeng juga diyakini pernah memperebutkan wilayah Ganra, namun konflik ini hanya mengandalkan kekuatan diplomasi kedua belah pihak sehingga tidak menimbulkan peperangan akibat kepiawaian Kajao Laliddong pihak Bone dan Arung Bila pihak Soppeng.
Ganra memiliki tokoh patriotik seperti Petta TellariE yang telah berjuang mempertahankan teritorial kerajaan pada saat terjadinya perang saudara antara Arung Ganra dengan Datu Mari-Mari atau yang umum dikenal Musu Belo (Perang Belo). Dikisahkan dalam peperangan, pertahanan Ganra hampir saja dibobol oleh musuh setelah mereka berhasil menyeberangi sungai Belo, maka tampillah seorang komandan perang yang tak kenal takut, bahkan mengubur dirinya sedalam betis untuk membuktikan bahwa dirinya tidak akan mundur dari peperangan. Maka untuk mengenang jasanya orang Ganra kemudian menyebutnya Petta TellariE (Tuan yang Tidak Mau Lari).
Selain itu Tokoh kharismatik yang religius seperti H. Katu, yaitu seorang Panrita yang pernah menetap di Ganra, beliau dikenal sebagai seorang Ulama yang aktif melakukan da'wah, sebagian masyarakat meyakini Tokoh ini adalah seorang wali.
Ganra saat ini dikenal sebagai suatu wilayah pedesaan yang sangat kental akan pengetahuan agamanya, sering juga disebut sebagai "wanua panrita" di Kabupaten Soppeng. Beberapa ulama yang pernah lahir di daerah ini. seperti AG. KH. Yusuf Usman, AG. KH. Abd. Rahman Pakkanna, AG. KH. Abd. Muin, AG. KH. Muh. Said, AG. K. Muh. Amin Battang, AG. KH. Muh. Natsir.
Keagamaan
[sunting | sunting sumber]Masjid Besar Taqwa Ganra dan Yayasan Perguruan Islam Ganra (YPIG) merupakan media pengembangan intelektualitas masyarakat Ganra. Masjid Taqwa Ganra sejak dulu digunakan sebagai tempat pengajian oleh para Anre Gurutta untuk pengembangan ilmu agama. sedangkan Yayasan Perguruan Islam Ganra (YPIG) merupakan lembaga pendidikan bentukan masyarakat yang sangat berperan terhadap pengembangan ilmu agama dan ilmu formal lainnya
YPIG merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Sulawesi Selatan yang berdiri sejak tanggal 1 Agustus 1940. Berdirinya YPIG tak bisa dilepaskan dari jasa beberapa tokoh masa itu diantaranya; Andi Hasan (Sulewatang Ganra), H. Ahmad Andi Adam (Imam Lompo Ganra) dan Muh Aras (Tokoh Masyarakat).[1] Dalam lembaga pendidikan ini terdapat Pondok Pesantren YPIG yang secara khusus membina santri dan santriwati terhadap pengembangan ilmu agama seperti pelajaran kitab kuning, tafsir dan hafidz al-Qur'an.
YPIG telah menelorkan alumni yang berprestasi seperti; Prof. Dr. H. Abd. Rahim Yunus, MA (Guru Besar UIN Alauddin dan Ketua FKUB Sul-Sel) dan Prof. Dr. H. Jalaluddin Rahman, MA (Guru Besar UIN Alauddin Makassar).
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-30. Diakses tanggal 2019-01-31.